Raja Jawa Kuno Punya 'Pegangan' untuk Cegah Pemungut Pajak Berulah

By Muflika Nur Fuaddah, Minggu, 25 Agustus 2024 | 14:00 WIB
Dalam kitab Negarakertagama yang memberi keterangan bahwa raja Hayam Wuruk dihadap untuk memperoleh paripuja dari para pejabat. (Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id—Tahukah Anda bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Jawa menyimpan banyak sejarah yang menarik untuk diulik? Melalui kitab-kitab dan berbagai prasasti, kehidupan kita di masa lalu dapat terungkap melalui pembacaan yang menyeluruh.

Tak hanya sistem religi dan ekonomi, tatanan dan sistem sosial dalam kerajaan yang pernah berdiri di Jawa dapat dilacak kembali hingga menjadi historiografi yang lengkap.

Boechari, pakar epigrafi dan sejarah kuno Indonesia, dalam bukunya Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti mengungkap bahwa kerajaan-kerajaan kuno sudah mempunyai aparat pemerintahan yang mengurusi pemasukan-pemasukan dan pengelolaan sumber penghasilan kerajaan.

"Berita dinasti Song menyebutkan adanya pejabat-pejabat yang mengurusi perbendaharaan kerajaan, di samping pejabat yang mengurusi lumbung-lumbung padi," ungkapnya.

"Sedang Xin Tangshu memberi keterangan bahwa di Jawa ada 32 pejabat tinggi kerajaan dan yang pertama di antara mereka itu ialah dazuogaxiong."

Berita itu menggambarkan keadaan di pusat kerajaan. Data prasasti memberi keterangan kepada kita bahwa di tingkat pusat ada pejabat-pejabat tinggi kerajaan, termasuk putra mahkota dan putra raja lain, dengan bawahan masing-masing, dan abdi dalem kraton.

Pada zaman Mataram kuno (717-929 M), ada enam belas pejabat tinggi yang hampir selalu disebut dalam berbagai prasasti, termasuk putra mahkota. Beberapa yang diperkirakan mengurusi perbendaharaan kerajaan ialah pankur, tawan, dan tirip.

Berbagai prasasti memberi keterangan bahwa pajak ditetapkan untuk tiap tahun, misalnya prasasti Sugih Manek tahun 837 Saka dan masih banyak lagi prasasti yang memuat keterangan serupa.

Ada kalanya disebutkan nama bulan tertentu untuk menyerahkan pajak atau pungutan yang lain. Misalnya prasasti Turun Hyan A dari masa pemerintahan raja Dharmawamsa Airlangga yang menuliskan bulan September-Oktober: “madrawya haji pangihin ma su 8 mijil ankan asuji masa.”

Selain itu ada juga prasasti Padlegan I tahun 1038 Saka, memberi keterangan bahwa pajak harus diserahkan pada bulan Kartika (Oktober-November: “mapanastangya.. su 1 ma 4 mwan sarwwawija caturwarnna tahilaknanya rin papucanan anken karttika masa.” Jadi, dapat dibayangkan bahwa para penguasa daerah setahun sekali menghadap raja untuk mempersembahkan drawya haji.

Drawya haji sendiri secara harfiah berarti ‘milik raja,’ bisa berupa pajak tanah/ hasil bumi, pajak perdagangan/ penjualan dan pajak atas usaha kerajinan dan denda-denda atas segala tindak pidana yang dijatuhkan di dalam sidang pengadilan.

Baca Juga: Jejak Tanah Leluhur Para Raja Jawa di Metropolitan Kuno Majapahit

Orang-orang asing dan orang-orang yang mempunyai profesi tertentu juga dikenai pajak. Mereka disebut sebagai warga kilalan, yang anehnya hanya terdapat di dalam prasasti-prasasti raja Dharmawangsa Airlangga.

Mereka termasuk orang-orang Kalinga, Arya, Sri Lanka, Pandya dan Chera, Drawida, Campa, Kamboja, Pegu, Karnataka, dan orang-orang dengan profesi tertentu seperti pemimpin pasukan, tukang gendang, penari wayang, dalang, penari topeng, pelawak, dan lain-lain.

Sangat dimungkinkan bahwa orang-orang asing itu menetap di Indonesia sebagai pedagang dan dikenai pajak khusus perdagangan atau penjualan.

Pada saat seperti itu, raja mengadakan ‘pasowanan ageng.’ Ia dihadap oleh putra mahkota dan putra-putra yang lain yang mempunyai tugas dalam pemerintahan, para pejabat tinggi kerajaan, para penguasa daerah dan para pejabat rendahan. Sebagian rakyat menyaksikan di alun-alun.

Gambaran seperti itu dijumpai antara lain dalam kitab Negarakertagama yang memberi keterangan bahwa raja Hayam Wuruk dihadap untuk memperoleh paripuja dari para pejabat, para penguasa daerah dan rakyat pada bulan Phalguna (Februari-Maret) sampai bulan Caitra (Maret-April). Selain itu ada berbagai kakawin serta kidung yang juga mengungkap ‘pasowanan ageng’ seperti itu.

Penyelewengan pungutan pajak atau kesalahpahaman?

"Beberapa prasasti ternyata mengungkap beberapa kasus yang terlihat seperti penyimpangan-penyimpangan dalam praktis pemungutan pajak," papar Boechari. Salah satu contohnya seperti yang termuat dalam prasasti Palepanan tahun 828 Saka.

Dalam prasasti tersebut disebutkan bahwa rama (pejabat desa) desa Palepanan mendapat anugerah prasasti dari Rakryan Mapatih I Hino pu Daksa. Hal itu terjadi karena mereka berselisih paham dengan san nayaka, yaitu Bhagawanta Jyotisa.

Oleh san nayaka sawah mereka semua dihitung 2 lamwit, dan mereka diwajibkan membayar pajak sebanyak 6 dharana perak untuk setiap tampah. Tapi pada kenyataannya sawah mereka kurang dari 2 lamwit, sehingga harusnya pajak yang dikenakan juga tidak setinggi itu.

Sebagai bentuk protes, mereka menghadap rakyan mahapatih i hino, agar sawah mereka diukur kembali dengan benar. Setelah diukur kembali ternyata hasilnya hanya 1 lamwit 7,5 tampah, sehingga pajak yang harus dibayar yakni 5 kati dan 5 dharana perak. Kasus serupa juga dijumpai dalam prasasti Luitan tahun 823 Saka dan prasasti Kinewu  829 Saka.

Prasasti Kinewu memberi keterangan menarik terkait hirarki dalam pemerintahan dan prosedur pengajuan permohonan dari rakyat kepada raja. Pertama-tama para pejabat desa Kinewu mengajukan protes kepada penguasa daerah yang membawahi desa yakni Rakyan i Randaman (nayaka), dengan membayar sejumlah uang.

Baca Juga: Bersimpuh Di Tanah Leluhur Para Raja Jawa

Para pejabat desa kemudian meneruskan protes ke raja dengan perantara pratyaya dari wilayah Randaman. Kali ini mereka harus membayar sejumlah uang yang lebih banyak lagi.

Setelah itu, di ibu kota kerajaan mereka diterima oleh San Pamgat Momahumah yang kemudian mengantar mereka menghadap putra mahkota dan raja dan keputusan raja disaksikan oleh petugas pemungut pajak.

Kasus dalam ketiga prasasti tersebut menunjukkan adanya penyelewengan dalam penetapan pajak. Jika rakyat tidak mengajukan protes karena tidak tahu mana ukuran luas yang dijadikan dasar penetapan pajak, atau karena tidak diberi kesempatan mengajukan protes, penarik pajak akan memperoleh keuntungan.

Adanya pemungut pajak yang meminta lebih juga tertulis dalam prasasti Tija yang berasal dari masa pemerintahan Pu Sindok. Modus yang digunakan oleh para pemungut pajak ini yakni dengan mengukur sawah menggunakan ukuran yang lebih kecil daripada yang sudah ditentukan.

Ketiga kasus yang tertulis dalam prasasti tersebut rupanya memperlihatkan bahwa para nayaka menghitung luas sawah para rama menggunakan ukuran tampah tradisional Jawa yang luasnya kira-kira sama dengan 1 bahu sekarang, sedangkan semestinya ia menggunakan satuan tampah haji yang didasarkan atas satuan luas dari India, yang luasnya kira-kira sama dengan 1 hektar sekarang. Jika demikian yang terjadi, maka sesungguhnya tidak terjadi penyelewengan dan hanya salah pengertian semata.

Sikap Raja

Pada kerajaan-kerajaan Jawa Kuno di Jawa, rakyat dapat mengadukan keluh kesah kepada raja melalui hirarki yang berlaku.  Boechari mengungkap bahwa raja-raja Jawa zaman dahulu memang tidak memerintah dengan sewenang-wenang.

"Mereka berpedoman kepada berbagai kitab niti raja yang selalu memperhatikan nasib rakyatnya. Raja selalu siap memberi anugerah kepada kawula yang berjasa, tetapi sebaliknya ia juga mempunyai wewenang untuk menjatuhkan hukuman kepada yang bersalah," jelasnya.

Meski dapat mengadu langsung kepada raja, ada kalanya juga pengaduan tidak harus selalu sampai kepada raja atau putra mahkota. Misalnya para pejabat desa Baliwanan yang memohon agar desanya dijadikan wilayah sima karena rakyat tidak mampu lagi membayar pajak karena mereka sudah menanggung denda dari tindakan kriminal dan pembunuhan yang terjadi.

Permohonan itu cukup sampai kepada Rakryan Kanuruha pu Huntu melalui tiga orang patih yang membawahi desa Baliwanan.