Mampukah Agama Meredam Kecamuk Krisis Lingkungan Global?

By Mahandis Yoanata Thamrin, Rabu, 28 Agustus 2024 | 07:00 WIB
Di pesisir Kapatcol, Misool Barat, Pendeta Yesaya Kacili memberkati upacara pembukaan sasi, budaya masyarakat adat untuk mengendalikan pengambilan hasil laut supaya tetap lestari. (GARRY LOTULUNG/NATIONAL GEOGRAPHIC INDONESIA)

 

Nationalgeographic.co.id—Pendeta Yesaya Kacili mengenakan selendang hijau yang menautkan simbol Alfa dan Omega di kedua ujungnya. Ia mengangkat tangannya sembari memberkati upacara pembukaan sasi di pesisir Kapatcol, Misool Barat.

Upacara ini merupakan bagian budaya pelestarian ekologi yang dilakukan oleh masyarakat adat yang tujuannya untuk mengendalikan pemanfaatan sumber daya laut. Semenjak 1990, upacara sasi digelar bersama-sama oleh masyarakat adat dan GKI Elim Kapatcol.

Yesaya mengutip dua pasal dalam Injil tentang pujian terhadap Tuhan yang menciptakan Bumi dengan ragam kehidupan di dalamnya, dan laut yang luas dengan ragam binatang kecil dan besar sebagai penghuninya. Dalam khotbah, ia menekankan bahwa Injil mengajarkan keseimbangan antara manusia dan alam. Menurutnya, manusia sebagai sebagai pengelola alam tidak boleh menggunakan sumber daya alam secara berlebih. 

Agama dan tradisi, punya ikatan yang sama untuk mengelola alam,” kata Yesaya. Ia juga menambahkan, “Tuhan menciptakan itu untuk manusia kelola, tapi harus memelihara agar tidak punah,” lanjutnya. Atas pandangan itulah, gereja juga harus turut ambil bagian dalam tradisi sasi. “Gereja punya peran untuk menyatukan budaya dengan zaman.”

Kisah itu merupakan nukilan dari "Perempuan Penjaga Bahari Papua" yang terbit di majalah National Geographic Indonesia edisi Juli 2023. Perempuaan-perempuan yang mewakili masyarakat adat di Misool Barat, atas dukungan gereja, berupaya membangun kembali keseimbangan antara manusia dan alam dalam kecamuk krisis iklim. Mereka mengelola kawasan perairan konservasi yang diatur dalam hukum masyarakat adat.

Bagaimana hubungan antara agama dan ekologi?

Michael S. Northcott mengungkapkan dalam bukunya God and Gaia: Science, Religion and Ethics on a Living Planet. Menurutnya, demi menyusun ulang habitat Bumi yang menguntungkan semua penghuni, sejatinya "tradisi keagamaan telah memiliki sumber daya untuk melakukan 'peralihan ontologis' menuju kebangkitan peran agen bersama dari semua spesies, dan semua makhluk, termasuk Ibu Pertiwi atau Gaia (Dewi Bumi)."

Northcott merupakan Guru Besar Emeritus bidang Etika di University of Edinburgh. Pendapatnya didasarkan pada pemikiran bahwa krisis ekologi yang terjadi belakangan ini merupakan ketidakmampuan manusia memecahkan permasalahannya sendiri, bahkan dengan teknologi mutakhir dan kecerdasan buatan.

Ia menambahkan bahwa tradisi-tradisi keagamaan sangat perlu untuk menghidupkan kembali kisah-kisah lama tentang perdamaian antara kelompok orang suci dan kelompok hewan. Hubungan simbiosis antara manusia dan hewan dalam narasi sejarah manusia semacam itu telah menjadi bagian liturgi atau ajaran agama.

Berdasar atas pemahaman ini kita bisa menyatakan bahwa sejatinya lembaga agama yang telah menjadi penyeru pertama di dunia tentang betapa pentingnya pelestarian ragam kehidupan di Bumi. Agama telah memainkan peran penting dalam membentuk hubungan kita dengan lingkungan, memengaruhi perilaku dan respons masyarakat yang lebih luas.

Demi membantu memecahkan permasalahan ekologi, tampaknya agama perlu mengadopsi perilaku etis yang berakar pada keyakinan dan nilai-nilai agama itu sendiri. Pemecahan masalah ekologi ini juga bagian tantangan agama dalam menunjukkan kemampuannya dalam menghadapai perkara semesta.

Baca Juga: Menantikan Peran Pemuka Agama dan Guru untuk Menurunkan Emisi Gas Rumah Kaca