Dalam Vanaropa Sutta, Buddha juga menjelaskan bahwa mereka yang memelihara alam dan sesama akan mendapatkan pahala yang terus bertambah setiap hari. "Menjaga hutan, taman atau perkebunan, membangun jembatan, tempat minum dan sumur, dan mereka yang memberikan tempat tinggal. Jasa mereka selalu tumbuh siang dan malam. Teguh dalam prinsip, sempurna dalam perilaku, mereka akan menuju surga.”
Agama Hindu juga memiliki pandangan yang mendalam tentang keberlanjutan alam dan mengajarkan umatnya untuk hidup selaras dengan lingkungan sekitar. Sebagai salah satu contohnya, Tri Hita Karana.
Tri Hita Karana mengajarkan tiga penyebab hubungan harmonis untuk mencapai kebahagiaan. Konsep ini melibatkan hubungan manusia dengan sang pencipta, hubungan manusia dengan sesama, dan hubungan manusia dengan alam. Berdasar konsep inilah muncul gagasan umat Hindu dalam pelestarian alam "wana kartika" yang bertujuan untuk mengantisipasi dari bencana.
Tindakan pelestarian alam adalah bagian integral dari kehidupan spiritual. Dalam Ajaran Hindu juga memiliki enam prinsip mulia untuk menjaga keseimbangan dan keharmonisan alam semesta, yang dikenal sebagai sad kerti. Atma kerti, menjaga kesucian dan kesejahteraan jiwa; samudra kerti, menjaga kesucian dan kesejahteraan laut; wana kerti, menjaga kesucian dan kesejahteraan hutan; danu kerti, menjaga kesucian dan kesejahteraan air; jagat kerti, menjaga kesucian dan kesejahteraan dunia; jana kerti, menjaga kesucian dan kesejahteraan manusia.
Dalam Alkitab agama Nasrani, ditunjukkan pula bahwa lingkungan yang baik akan memberi kebaikan kepada manusia juga.
"Betapa banyak perbuatan-Mu, ya Tuhan, sekaliannya Kau jadikan dengan kebijaksanaan, bumi penuh dengan ciptaan-Mu" dalam Mazmur 104: 24.
"Lihatlah laut itu, besar dan luas wilayahnya, di situ bergerak, tidak terbilang banyaknya, binatang-binatang yang kecil dan besar" dalam Mazmur 104: 25.
Ada pula ayat yang menegaskan tanggung jawab kita untuk mengelola alam dengan bijaksana. "Allah memberkati manusia dan berfirman, “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi” dalam Kejadian 1:28. Frasa "taklukkanlah" dan "berkuasalah" bukan ditafsirkan sebagai kuasa manusia atas penggunaan sumber daya, melainkan kuasa manusia atas pengelolaan sumber daya yang turut melestarikan ciptaan-Nya.
Agama Islam, misalnya, meminta umatnya untuk melakukan pertobatan ekologis "Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar" dalam Al-Quran surat ar-Rum: 41.
Tampaknya, kita memiliki kecenderungan untuk merusak lingkungan sehingga upaya untuk melestarikan lingkungan harus berawal dari diri kita sendiri. Boleh jadi kerusakan di Bumi telah diawali oleh rusaknya moralitas agama, sehingga diturunkanlah seruan "Dan janganlah kalian membuat kerusakan di atas muka bumi setelah Allah memperbaikinya" dalam Al-Quran surat al-A'raaf: 56.
Pesan semesta dari setiap ajaran agama itu mewasiatkan kepada kita untuk membangun kehidupan harmonis di Bumi. Namun, Zainal menegaskan juga bahwa kontribusi agama dalam pelestarian lingkungan tidak cukup hanya dengan menemukan kembali ayat-ayat kitab suci yang memiliki tafsir kedekatan dalam aspek ekologi. Kemudian ia melanjutkan, "Meski mungkin itu benar, tapi ini tak akan berarti banyak, jika berhenti di sana," ungkapnya. "Nyatanya, tak sedikit masyarakat-masyarakat beragama yang merusak lingkungan."
Dukungan kepada pemuka agama
Philipp Öhlmann, Kepala Program Riset Religious Communities and Sustainable Development dan pengajar di University of Botswana, Botswana,mencoba mengeksplorasi perubahan ekologi dalam tradisi keagamaan. Penelitiannya bertajuk Religion and Environment: Exploring the Ecological Turn in Religious Traditions, the Religion and Development Debate and Beyond.
"Agama mempunyai potensi untuk mendorong perubahan paradigma yang diperlukan dalam pola pikir, perilaku dan kebijakan," tulisnya. "Selain itu, di banyak komunitas keagamaan terjadi peningkatan keterlibatan dengan pertanyaan tentang lingkungan, perubahan iklim dan keberlanjutan ekologi."
Namun, sejauh ini masih segelintir pemuka agama di Indonesia yang berkontribusi dalam pelestarian lingkungan dan isu perubahan iklim, padahal negeri ini kabarnya religius. Fachruddin M. Mangunjaya, pengajar di Universitas Nasional, merintis jalan dalam menggali aspek pelestarian lingkungan yang bersumber ajaran Islam. Ia juga mengharapkan munculnya gerakan praktis dalam menerjemahkan ajaran-ajaran agama dalam konteks mitigasi krisis lingkungan hidup.
"Di dunia Islam, perhatian terhadap lingkungan masih tercatat sangat kurang," tulis Fachruddin dalam bukunya yang berjudul Konservasi Alam dalam Islam, yang diterbitkan Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Upaya peningkatkan kesadaran ekologis dalam komunitas keagamaan boleh jadi sebuah tantangan baru. Pertama, kurangnya pendidikan ekologi. Banyak pemimpin dan pengikut agama yang tidak memiliki pengetahuan cukup terkait isu permasalahan lingkungan. Artinya, sangat penting untuk menjembatani mereka dengan menyediakan akses pendidikan yang berbasis ilmu pengetahuan. Kedua, hierarki dalam agama. Jika para pemimpin atau pemuka agama tidak terlibat dalam diskusi ekologi, kemajuan misi peningkatan kesadaran ekologis pun terhambat.
Mahawan Karuniasa, pengajar di Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, mengatakan di depan para pemuka agama dan guru dalam seminar bertema upaya penurunan efek gas rumah kaca yang digelar Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan National Geographic Indonesia. Ia memberikan gagasan-gagasan terkait perilaku ramah lingkungan yang bisa diterapkan sehari-hari dan dikembangkan kepada komunitas agama masing-masing.
Perubahan iklim merupakan dampak perilaku manusia, ungkapnya, sehingga perlu perubahan manusia pula untuk menghadapinya—baik adaptasi maupun mitigasi. "Mereka, tokoh agama dan para guru itu, adalah agen pengubah yang sangat penting," ujarnya.