Mampukah Agama Meredam Kecamuk Krisis Lingkungan Global?

By Mahandis Yoanata Thamrin, Rabu, 28 Agustus 2024 | 07:00 WIB
Di pesisir Kapatcol, Misool Barat, Pendeta Yesaya Kacili memberkati upacara pembukaan sasi, budaya masyarakat adat untuk mengendalikan pengambilan hasil laut supaya tetap lestari. (GARRY LOTULUNG/NATIONAL GEOGRAPHIC INDONESIA)

"Jika misi utama agama adalah menyelamatkan manusia, maka mau tak mau kaum agamawan harus terlibat dalam upaya penyelamatan Bumi," ungkap Zainal Abidin Bagir, Direktur Indonesian Consortium of Religious Studies (ICRS). "Karena," imbuhnya, "hidup manusia sepenuhnya bergantung pada kesejahteraan Bumi."

Ia mengungkapkan pemaparannya dalam tulisan berjudul "Agama-Agama dalam Pemulihan Lingkungan: Metodologi, Ajaran, dan Nilai-Nilai Etis" dalam Modul Pelatihan: Agama, Pelestarian Lingkungan dan Pemulihan Ekosistem Gambut, yang diterbitkan ICRS pada 2021.  

Agama memang tidak bisa bersikap netral atas situasi krisis iklim belakangan ini. Namun demikian, terdapat "syarat penting bagi agama untuk mampu secara efektif membantu pemecahan krisis lingkungan haruslah dimulai dengan refleksi diri," ungkapnya. Zainal melanjutkan bahwa refleksi diri bisa dicapa melalui upaya merumuskan sistem etika yang peka terhadap krisis, memahami persoalan ekologi, dan konteks sosial-politik ekonominya. 

"Jika kaum agamawan mau menjalani proses ini," imbuh Zainal, "ia bukan hanya menjanjikan sumbangan penting untuk pemecahan krisis lingkungan , tetapi juga revitaliasai agama itu sendiri."

Atas pemikiran inilah komunitas agama memainkan peran penting dalam mengatasi krisis lingkungan global. Meskipun sebagian umat beragama mempertanyakan keterlibatan manusia dalam perubahan iklim, sebagian lainnya terdorong oleh keyakinan mereka untuk melindungi planet ini.

Sebagian besar tradisi keagamaan—baik agama-agama besar maupun agama leluhur—juga mengakui kesucian dan kesakralan Bumi. Kita berkeyakinan bahwa agama dapat menginspirasi tindakan penyelamatan lingkungan dan pedoman moral dalam perjuangan melawan perubahan iklim.

Selarik pandangan agama-agama tentang pelestarian alam

Setiap agama memiliki cara pandang holistik untuk memberi pemahaman bahwa alam merupakan sistem yang saling terkait. Setiap tindakan kita akan memengaruhi seluruh ekosistem, sehingga kita harus mempertimbangkan dampak jangka panjang. Cara pandang semacam ini menjadi dasar dalam menjaga alam dan mengelola sumber daya dengan bijaksana.

Ajaran Konghucu, yang juga dikenal sebagai ajaran Konfusius, memiliki pandangan tentang kelestarian lingkungan dan hubungan manusia dengan alam. Menurut Nabi Konghucu, manusia bukanlah penguasa alam, melainkan bagian dari alam itu sendiri. Salah satunya konsep "kesatuan langit dan manusia" atau Tian-ren-he-yi, yang menekankan bahwa manusia harus hidup selaras bersama alam. Manusia terikat dengan bumi, tubuh, keluarga dan komunitas, yang membuatnya selaras dengan tatanan kosmis.

Zengzi, murid Konghucu, berkata, “Pohon wajib dipotong pada waktunya; hewan-hewan wajib disembelih pada waktunya.” Sementara itu Nabi Konghucu, “Sekali memotong pohon, sekali menyembelih hewan tidak pada waktunya, itu melanggar laku bakti”

Sementara itu dalam ajaran Buddha terdapat kutipan sabda sang Buddha, "Bagai seekor lebah yang tidak merusak kuntum bunga, baik warna maupun baunya, pergi setelah memperoleh sari bunga, begitulah hendaknya orang bijaksana mengembara dari desa ke desa." Sabda itu tercatat dalam Dhammapada, syair 49. Kitab ini merupakan salah satu kitab suci dalam agama Buddha yang berisi ajaran-ajaran dalam bentuk syair.

Baca Juga: Mitigasi Bencana Sekaligus Meningkatkan Ekonomi Lokal di Sabu Raijua