Dari Tembakau hingga Kentang: Jatuh Bangun Kejayaan Pertanian Dieng

By Afkar Aristoteles Mukhaer, Kamis, 29 Agustus 2024 | 10:00 WIB
Para petani kentang di Desa Sigedang, Wonosobo, Jawa Tengah, dengan latar belakang para peserta Dieng Caldera Race 2024 (9/6/2024). Kentang pernah menjadi komoditas yang membawa kejayaan masyarakat pertanian Dieng pada 1980-1990an, sampai akhirnya iklim berubah. (Ade Sulaeman)

Nationalgeographic.co.id—Sudah sejak lama Dieng menjadi tempat yang sakral bagi umat beragama di Jawa. Bagi pandangan tradisional Jawa dan Hindu, dataran tinggi seperti Dieng adalah tempat sakral dengan kekuatan spiritualitas tinggi. Itu sebabnya, ada banyak candi didirikan di tempat tinggi, seperti Dieng dengan kompleks Candi Arjuna.

Kependudukan masyarakat di Dieng bisa dirunut dari awal abad Masehi dalam sejarah Jawa. Meski ditemukan pelbagai peninggalan arkeologis, Dieng diperkirakan adalah tempat kegiatan keagamaan pada periode Mataram kuno pada abad kedelapan dan sembilan Masehi, alih-alih pusat kerajaan.

Jejak religiositas itu terasa masih tampak bagi masyarakat Dieng hari ini. "Agamanya saja yang beda, tapi religiositasnya masih sama," terang Pujo Semedi, antropolog dan pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada pada Rabu, 28 Agustus 2024.

Pujo berbicara dalam Wednesday Forum yang diadakan Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) dan Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) Universitas Gadjah Mada bertajuk "Failed Negative Feedback: Cash crop, socio-religious life and climate change in upland Java, 1850s-2010s".

Dalam penjelasannya, masyarakat pertanian di Dieng sampai hari ini bergantung pada bentang alamnya. Aneka tanaman yang dibudidayakan masyarakat antara lain aneka bawang, kubis, wortel, lobak, tembakau, dan kentang—yang pernah membuat kejayaan pertanian pada masanya.

Naturalis Jerman, Franz Wilhelm Junghuhn, pernah menyambangi Dieng pada 1856. Dia mendeskripsikan bahwa Dieng adalah "tanah yang dibudidayakan dan terus-menerus ditempati oleh pribumi". Dalam deskripsinya, masyarakat di sana menanam "tembakau di perbukitan yang mengelilingi dataran tinggi".

Franz Wilhelm Junghuhn melukis pemandangan Dieng pada 1856. Dieng kala itu masih berpenduduk sedikit yang mengandalkan pertanian tembakau. Komoditas ini membawa kemakmuran besar-besaran bagi masyarakat. (Franz Wilhelm Junghuhn/Java-Album, Arnoldische Buchhandlung 1856)

Kemajuan pertanian Dieng

Awalnya, Dieng merupakan dataran tinggi yang sepi penduduk. Pujo menerangkan, Dieng ditinggalkan penduduknya yang diperkirakan berhubungan dengan erupsi besar Gunung Merapi pada abad ke-11.

Dalam catatan sejarah, gunung paling aktif di Jawa itu meletus hebat sampai-sampai mengubur ragam candi, seperti Candi Sambisari di Yogyakarta. "Untungnya letusan hebat Merapi itu diperkirakan hanya sekali," terang Pujo. 

Kemudian, setelah Perang Dipanagara (1825–1830), Dieng dihuni kembali oleh pengikut Pangeran Dipanagara setelah kalah perang. Pertumbuhan penduduk membuat masyarakat harus bertahan hidup dengan membuka lahan pertanian. Komoditas yang paling banyak ditanam pada abad ke-19 adalah tembakau, ungkap Pujo, merujuk pada catatan Junghuhn.

Baca Juga: Waspada 'Jebakan yang Indah' Kala Mengikuti Ajang Lari Lintas Alam