Tarekat Syattariyah Aceh, 'Anak Kandung' Tradisi Intelektual Ottoman

By Muflika Nur Fuaddah, Sabtu, 31 Agustus 2024 | 16:00 WIB
Syekh Abdurrauf bin Ali al-Fansuri as-Singkili (profilulama)

"Ia menulis sebuah karya dalam bahasa Arab yang berjudul Itḥaf al-dhakī untuk audiens Jawi, dan ajarannya tentang komentar-komentar pada doktrin waḥdat al-wujūd diteruskan oleh sarjana Aceh, Abd al-Ra'uf al-Fansuri (Abdurrauf bin Ali al-Fansuri as-Singkili/ Syekh Abdurrauf Singkel), ke dalam bahasa Arab dan Melayu," ungkapnya.

"Al-Kurani memiliki pengaruh penting dalam perkembangan Islam di dunia Melayu juga karena hubungannya yang istimewa dengan 'Abd al-Ra'uf. Mereka telah menjadi teman di Madinah, dan mereka saling berkirim surat melintasi Samudra Hindia selama tiga puluh tahun setelah Abd al-Ra'uf kembali ke Aceh pada tahun 1661," lanjut Abu.

Abd al-Ra'uf menghabiskan masa 19 tahun di Jazirah Arab untuk belajar berbagai macam ilmu agama Islam, terutama hukum Islam dan tasawuf. Ia berangkat dari Aceh ke Arab Saudi sekitar tahun 1642 M/1042 H dan menghabiskan waktu 19 tahun di sana untuk belajar aneka macam ilmu keislaman.

Di Madinah, Abd al-Ra'uf belajar kepada Ahmad al-Qushashi sampai sang guru meninggal dunia pada tahun 1071 H/1660 M, dan juga kepada khalifah dari al-Qushashi yakni Ibrahim al-Kurani. Dari al-Qushashi ia belajar ilmu-ilmu tasawuf dan ilmu yang terkait lainnya.

Sebagai tanda selesainya dari pelajarannya dalam ilmu mistis, al-Qushashi menunjuknya sebagai khalifah dalam tarekat Syattariyah dan tarekat Qadiriyah.

Perjalannya ke Arab memang tercatat dengan baik. Dalam catatannya ia mengatakan telah mengunjungi berbagai negeri dan menjumpai banyak sekali ulama untuk belajar ilmu agama. Setelah sekian lama ia juga menghabiskan waktu untuk mengajarkan ilmu agama Islam dalam berbagai kesempatan.

Namun, dari sekian banyak gurunya di sana ada dua orang gurunya yang paling berpengaruh dalam berbagai ilmu keislaman, yakni al-Kurani dan al-Qushashi. Dari dua orang guru ini pula beliau mendapatkan ijazah beraneka ragam ilmu tarekat kepadanya, seperti Qadiriyah, Khalwatiyah, Naqsyabandiyah, dan tentu saja tarekat Syattariyah.

Namun, di antara sekian banyak tarekat yang diterima dari gurunya, Abdurrauf nampaknya hanya mengembangkan satu tarekat saja di Aceh, yakni tarekat Syattariyah.

Dalam Umdat al-muḥtajin, Abd al-Ra'uf menyebutkan tujuh belas shaykh di bawah siapa ia mempelajari berbagai karya ilmu agama selama perjalanannya di tanah suci Hijaz. Umdat al-muḥtajin sejauh ini menjadi satu-satunya sumber yang menyebutkan bahwa Abd al-Ra'uf mendapatkan ijazah langsung dari al-Kurani.

Meskipun ada banyak manuskrip Sufi yang berisi silsilah Shattariyyah (daftar guru spiritual) di dunia Melayu, semuanya menelusuri garis spiritual Abd al-Ra'uf langsung ke Ahmad al-Qushashi (1538-1661).

Namun, ini tidak bertentangan dengan gagasan bahwa al-Kurani memainkan peran penting dalam perkembangan tarekat Sufi Shattariyyah di Nusantara.

Baca Juga: Sentuhan Militer Ottoman dalam Laskar Perang Diponegoro vs Belanda