Nationalgeographic.co.id—Tahukah Anda mengapa Aceh disebut sebagai 'serambi Mekkah'? Bagaimana posisinya sebagai pusat pendidikan Islam di Nusantara? Pernahkah juga Anda mendegar mengenari tarekat Syattariyah dan apa hubungannya dengan tradisi intelektual Ottoman?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, terlebih dahulu Anda harus mengenal Ibrahim al-Kurani atau Shaykh Mulla Ibrahim, yakni seorang sarjana Kurdi yang lahir di Shahrazur, sebuah kota di Kurdistan Irak saat ini.
Al-Kurani memperoleh pendidikan Islam awal dari ulama setempat di Shahrazur, menjadi mahir dalam bahasa Arab, dan memiliki penguasaan yang baik atas ilmu-ilmu rasional, sebelum melanjutkan studi berbagai cabang keilmuan Islam di Baghdad, Damaskus, dan Kairo.
Ia akhirnya menetap di Madinah di bawah bimbingan spiritual Ahmad al-Qushashi dan menggantikannya sebagai khalifa dari tarekat Sufi Shattariyyah.
Di Madinah, al-Kurani dan lingkungannya menjadi pusat yang menghubungkan tradisi intelektual Ottoman dengan berbagai tradisi Islam lainnya, termasuk yang berasal dari dunia Melayu, Nusantara.
Dalam konteks ini, sikap keagamaan yang sama dan terutama afiliasi mazhab sangat penting. Orang Kurdi, termasuk mereka dari Shahrazur seperti al-Kurani, umumnya adalah Sunni dan pengikut mazhab hukum Islam Shafi'i, yang juga populer di Asia Tenggara (berbeda dengan mazhab resmi Ottoman, Hanafisme).
Seperti orang Jawi Muslim, mereka juga menunjukkan minat khusus dalam mistisisme dan spekulasi metafisik serta keyakinan yang kuat pada hal-hal yang ajaib dan suci.
Kedua faktor ini, menurut Martin van Bruinessen, mungkin menjelaskan mengapa komunitas Muslim Melayu di Haramayn (Mekah dan Madinah) sangat ingin belajar Islam dari seorang guru Sufi Kurdi seperti al-Kurani.
Seperti yang dicatat oleh van Bruinessen, pada abad ketujuh belas, al-Kurani adalah yang paling berpengaruh di antara beberapa sarjana Kurdi berpengaruh di Hijaz yang dicari oleh murid-murid Nusantara sebagai guru mereka.
Ia menekankan bahwa Shahrazur layak mendapat perhatian khusus dalam konteks ini karena menghasilkan banyak ulama yang berdampak pada perkembangan Islam di Nusantara, termasuk di daerah yang sekarang menjadi bagian dari Indonesia.
Abu Bakar dalam Keeping Tradition in The Overseas Land The Tariqa Shattariya in UlakanMinangkabau Society in Medan mengatakan bahwa dalam hubungan intelektual Islam antara Ottoman dan Aceh pada abad ketujuh belas, peran al-Kurani sangat signifikan.
Baca Juga: Rempah dan Karpet: Akar Hubungan Kekaisaran Ottoman dan Nusantara
"Ia menulis sebuah karya dalam bahasa Arab yang berjudul Itḥaf al-dhakī untuk audiens Jawi, dan ajarannya tentang komentar-komentar pada doktrin waḥdat al-wujūd diteruskan oleh sarjana Aceh, Abd al-Ra'uf al-Fansuri (Abdurrauf bin Ali al-Fansuri as-Singkili/ Syekh Abdurrauf Singkel), ke dalam bahasa Arab dan Melayu," ungkapnya.
"Al-Kurani memiliki pengaruh penting dalam perkembangan Islam di dunia Melayu juga karena hubungannya yang istimewa dengan 'Abd al-Ra'uf. Mereka telah menjadi teman di Madinah, dan mereka saling berkirim surat melintasi Samudra Hindia selama tiga puluh tahun setelah Abd al-Ra'uf kembali ke Aceh pada tahun 1661," lanjut Abu.
Abd al-Ra'uf menghabiskan masa 19 tahun di Jazirah Arab untuk belajar berbagai macam ilmu agama Islam, terutama hukum Islam dan tasawuf. Ia berangkat dari Aceh ke Arab Saudi sekitar tahun 1642 M/1042 H dan menghabiskan waktu 19 tahun di sana untuk belajar aneka macam ilmu keislaman.
Di Madinah, Abd al-Ra'uf belajar kepada Ahmad al-Qushashi sampai sang guru meninggal dunia pada tahun 1071 H/1660 M, dan juga kepada khalifah dari al-Qushashi yakni Ibrahim al-Kurani. Dari al-Qushashi ia belajar ilmu-ilmu tasawuf dan ilmu yang terkait lainnya.
Sebagai tanda selesainya dari pelajarannya dalam ilmu mistis, al-Qushashi menunjuknya sebagai khalifah dalam tarekat Syattariyah dan tarekat Qadiriyah.
Perjalannya ke Arab memang tercatat dengan baik. Dalam catatannya ia mengatakan telah mengunjungi berbagai negeri dan menjumpai banyak sekali ulama untuk belajar ilmu agama. Setelah sekian lama ia juga menghabiskan waktu untuk mengajarkan ilmu agama Islam dalam berbagai kesempatan.
Namun, dari sekian banyak gurunya di sana ada dua orang gurunya yang paling berpengaruh dalam berbagai ilmu keislaman, yakni al-Kurani dan al-Qushashi. Dari dua orang guru ini pula beliau mendapatkan ijazah beraneka ragam ilmu tarekat kepadanya, seperti Qadiriyah, Khalwatiyah, Naqsyabandiyah, dan tentu saja tarekat Syattariyah.
Namun, di antara sekian banyak tarekat yang diterima dari gurunya, Abdurrauf nampaknya hanya mengembangkan satu tarekat saja di Aceh, yakni tarekat Syattariyah.
Dalam Umdat al-muḥtajin, Abd al-Ra'uf menyebutkan tujuh belas shaykh di bawah siapa ia mempelajari berbagai karya ilmu agama selama perjalanannya di tanah suci Hijaz. Umdat al-muḥtajin sejauh ini menjadi satu-satunya sumber yang menyebutkan bahwa Abd al-Ra'uf mendapatkan ijazah langsung dari al-Kurani.
Meskipun ada banyak manuskrip Sufi yang berisi silsilah Shattariyyah (daftar guru spiritual) di dunia Melayu, semuanya menelusuri garis spiritual Abd al-Ra'uf langsung ke Ahmad al-Qushashi (1538-1661).
Namun, ini tidak bertentangan dengan gagasan bahwa al-Kurani memainkan peran penting dalam perkembangan tarekat Sufi Shattariyyah di Nusantara.
Baca Juga: Sentuhan Militer Ottoman dalam Laskar Perang Diponegoro vs Belanda
Dari empat belas manuskrip silsilah Shattariyyah yang diteliti Sehat, sembilan di antaranya menyebutkan nama al-Kurani sebagai salah satu murshid dari mana rantai otoritas siswa Melayu lainnya dapat ditelusuri.
Tarekat Syattariyah
Sehat Ihsan Shadiqin dalam Di Bawah Payung Habib: Sejarah, Ritual, dan Politik Tarekat Syattariyah di Pantai Barat Aceh yang terbit di jurnal Substantia mengatakan bahwa tarekat Syattariyah di Aceh sendiri merupakan tarekat yang paling populer di Aceh, terutama pada masa kerajaan Islam Aceh Darussalam di bawah pimpinan Ratu/Sultanah.
Posisi Aceh sebagai salah satu pusat pendidikan Islam di Nusantara menyebabkan lembaga pendidikannya dikunjungi oleh berbagai pelajar dari dunia Melayu dan Jawa untuk mendalami ilmu agama Islam.
Konon inilah yang menyebabkan Aceh dianggap sebagai “Serambi Mekkah” di mana setiap orang yang hendak belajar ke Mekkah singgah sementara di Aceh untuk menambah perbekalannya dan untuk mendapatkan pelajaran awal tentang agama Islam dan bahasa Arab.
Sehingga saat ia nantinya tiba di Mekkah, maka ia sudah menguasai dasar-dasar pengetahuan keislaman dan memiliki kemampuan bahasa Arab sebagai media komunikasi dalam menuntut ilmu.
Namun, demikian tidak jarang orang merasa apa yang dipelajari di Aceh sudah cukup bagianya dan tidak perlu pergi ke Arab. Mereka menghabiskan beberapa tahun di Aceh, belajar agama, menulis buku, lalu kembali ke daerahnya untuk mengajarkan agama Islam yang sudah dikuasainya.
Sejauh catatan para sarjana hingga saat ini ada beberapa orang ulama yang belajar pada Abd al-Ra'uf dan kemudian menjadi ulama di daerah mereka.
Antara lain Syaikh Burhanuddin Ulakan yang mengembangkan tarekat Syattariyah di Sumatera Barat, terutama di daerah Pariaman saat ini. Berkat jasa Ulakan, tarekat Syattariyah menjadi salah satu tarekat yang sangat berpengaruh di Sumatera Barat.
Sementara di pulau Jawa tarekat ini dikembangkan oleh muridnya bernama Abdul Muhyi dari Paminjahan. Ia belajar dan menetap di Aceh selama beberapa tahun sebelum melanjutkan perjalanannya ke Makkah, ia juga masih singgah di Aceh setelah pulang dari Makkah.
Baru dari sana ia pulang ke Jawa dan mengembangkan tarekat ini di kampung halamannya. Sementara di daerah semenanjung Melayu tarekat ini dikembangkan oleh muridnya Abdul Malik bin Abdullah.
Berkat jasanya pula tarekat ini berkembang di banyak kawasan di Malaysia sekarang hingga daerah Patani, Thailand. Meski begitu, Syattariyah sendiri tidak berkembang denganbaik di Aceh.