Nationalgeographic.co.id—Orang Arab telah bermigrasi ke kepulauan Indonesia sejak lama, populasi mereka terus meningkat pada masa kolonial hingga pemerintah Belanda harus 'mengendalikan' mereka karena faktor-faktor tertetu. Lantas seperti apa reaksi dan langkah yang mereka tempuh untuk 'melawan' Belanda?
Sejak awal abad ke-19, orang Arab diharuskan tinggal di kampung atau distrik mereka sendiri dan mereka harus memperoleh izin untuk pergi ke tempat lain—kebijakan yang juga diberlakukan terhadap orang Tionghoa.
Pembatasan ini diterapkan di semua koloni Arab pada tahun 1866. Kebijakan-kebijakan ini dikenal sebagai wijkenstelsel (sistem distrik) dan passenstelsel (sistem izin).
Ini hanya membatasi mobilitas orang Arab dan tidak sepenuhnya mencegah mereka mengakses daerah lain termasuk pedesaan. Namun, kebijakan-kebijakan ini menyebabkan kesulitan besar bagi mereka.
Untuk jarak yang relatif pendek, seperti dari kampung mereka ke pelabuhan Batavia atau ke Buitenzorg (Bogor), mereka perlu mengajukan permohonan untuk dokumen perjalanan, dan waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan izin tersebut mungkin lebih lama daripada perjalanan itu sendiri.
Alwi Alatas dan Alaeddin Tekin dalam The Indonesian-Hadramis’ Cooperation With The Ottoman and The Sending of Indonesian Students to Istanbul, 1880s-1910s yang terbit dalam jurnal Tarih Incelemeleri Dergisi menyebut bahwa kebijakan wijkenstelsel dan passenstelsel mungkin diperkenalkan oleh pemerintah kolonial untuk mengendalikan para migran Hadrami yang meningkat secara signifikan pada abad ke-19 agar tidak menimbulkan komplikasi sosial atau politik.
Namun, peningkatan populasi, bersama dengan penguatan ekonomi dalam komunitas Hadrami dan, akibatnya, harapan akan status sosial yang setara, hanya membuat pembatasan tersebut menciptakan lebih banyak masalah. Oleh karena itu, komunitas Hadrami sangat kritis terhadap kebijakan ini.
"Kebijakan ini diperkenalkan oleh pemerintah kolonial karena orang Arab dianggap berbahaya secara ekonomi dan agama bagi masyarakat pribumi. Pandangan negatif ini tersebar luas di kalangan pejabat Belanda dan elite pribumi," ungkap Alwi dkk.
"Banyak dari mereka merasa sangat takut terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan Islam dan Arab, terutama karena dipengaruhi oleh tulisan-tulisan yang tidak berdasar di media massa," lanjutnya.
Pejabat pribumi terkadang memanfaatkan prasangka Eropa ini untuk menyingkirkan orang-orang yang tidak mereka sukai dengan memberi stigma fanatik kepada orang-orang tersebut. Beberapa pejabat kolonial seperti Van den Berg mencoba menjelaskan bahwa pandangan seperti itu tidak berdasar, terutama terkait dengan orang Hadrami.
"Mereka tidak punya alasan untuk terlibat dalam provokasi yang dapat menciptakan kekacauan sosial dan ancaman terhadap pemerintah kolonial, karena hal itu dapat merugikan modal dan perdagangan yang mereka jalankan," ungkap Van den Berg.
Baca Juga: Tarekat Syattariyah Aceh, 'Anak Kandung' Tradisi Intelektual Ottoman