Komunitas di Batavia 'Backingan' Ottoman Buat Kesal Kolonial Belanda

By Muflika Nur Fuaddah, Selasa, 3 September 2024 | 12:00 WIB
Orang Arab-Indonesia membatik di Tanah Abang (Collectie Wereldmuseum (v/h Tropenmuseum))

"Jika ada yang perlu dicurigai di balik propaganda politik dan upaya menipu masyarakat pribumi secara finansial, maka itu adalah orang-orang Arab dari Mekkah," lanjutnya.

Namun, para administrator kolonial tidak selalu setuju dengan pandangan simpatik semacam ini. Dalam laporan statistik tahunan Belanda, Koloniaal Verslag tahun 1902, misalnya, ada saran untuk mengusir orang-orang Arab pulang karena mereka dianggap sebagai gangguan keamanan dan orang-orang yang berbahaya.

Pada tahun 1886, sekitar waktu yang sama dengan penelitian Van den Berg, Van Vleuten, Direktur Dalam Negeri Hindia Belanda, menganggap ajakan kepada semua pejabat kolonial untuk bersimpati kepada orang-orang Arab sebagai hal yang absurd. "Orang Eropa di Hindia semua membenci orang Arab," tulisnya.

"Kebencian ini setara dengan kebencian orang Eropa terhadap orang Yahudi." Tuduhan tentang pengaruh negatif orang Arab terhadap masyarakat pribumi mungkin memiliki bukti pendukung tertentu, meskipun skala dan signifikansinya dipertanyakan oleh peneliti seperti Van den Berg.

Namun, pernyataan Van Vleuten di atas menggambarkan manifestasi prasangka Eropa di balik tuduhan terhadap orang Arab. Dengan demikian, kebencian beberapa orang Eropa telah diproyeksikan dalam bentuk citra negatif terhadap orang Arab. 

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, peningkatan populasi dan kekayaan dalam komunitas Hadrami telah menciptakan gelembung aspirasi yang secara tidak langsung ditekan oleh kebijakan pembatasan kolonial.

Gerakan Protes Terhadap Kebijakan Belanda oleh Kelompok Hadrami

Orang-orang Hadrami membutuhkan lebih banyak ruang dan kebebasan untuk memperlancar ekonomi mereka. Namun, tampaknya peningkatan populasi Hadrami, ditambah dengan kekhawatiran pejabat Belanda tentang pemberontakan agama di beberapa daerah seperti Banten, telah membuat pemerintah kolonial pada dekade terakhir abad ke-19 semakin memperketat dan membatasi gerakan orang-orang Hadrami yang sudah bermasalah sejak pengenalan kebijakan pembatasan.

Wijkenstelsel dan passenstelsel tampaknya menjadi faktor penting di balik tuntutan kesetaraan dengan orang Eropa, yang dengan penuh semangat dicari oleh orang-orang Hadrami, antara lain melalui dukungan konsul Ottoman di Batavia.

Pada periode yang sama, gagasan Pan-Islamisme muncul dan menyebar di dunia Muslim. Persatuan dunia Muslim, yang menjadi cita-cita para Pan-Islamis, sebenarnya telah mengalami pasang surut sepanjang sejarah Islam.

Namun, Pan-Islamisme menjadi istilah khusus untuk menggambarkan visi persatuan Islam, dengan Kekhalifahan Ottoman sebagai pusatnya, pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.

Baca Juga: Rempah dan Karpet: Akar Hubungan Kekaisaran Ottoman dan Nusantara