Namun, Goksoy menyebutkan seseorang bernama Sharif Ali yang tinggal di Istanbul pada tahun yang sama dengan dokumen tersebut, 1891. Menurut artikelnya, Sharif Ali berasal dari Hadrami dan bekerja untuk Kesultanan Aceh.
Seperti yang dapat dilihat dari informasi ini, rencana Sharif Ali bukan untuk orang Jawa atau Hadrami, melaikan untuk siswa Aceh. "Ini hal menarik karena tidak hanya mengharapkan kemajuan internal, tetapi juga mengandung benih perlawanan fisik terhadap pemerintah kolonial," jelas Alwi.
Dikatakan bahwa Ali bin Ahmad Shahab, salah satu pendukung Pan-Islamisme di Batavia, telah datang ke Istanbul dan bertemu Sultan Abdul Hamid II pada tahun 1311 Hijriah (1893/4), membahas perkembangan umat Muslim di dunia dan merencanakan untuk mengirim beberapa anak dari Hindia Belanda untuk belajar di Turki.
Informasi ini tidak memberikan referensi dan kemungkinan besar didasarkan pada cerita lisan di keluarga Shahab, tetapi bagaimanapun mencerminkan narasi serupa dengan yang di atas milik Sharif Ali.
Namun, dalam pertemuan langsung itu, tidak disebut mengeai tujuan pendidikan. Mungkin benar bahwa Ali Shahab pergi ke Istanbul tahun itu, karena beberapa surat kabar kontemporer pada Mei 1894 mencatatnya sebagai penumpang di sebuah kapal menuju Amsterdam dan berhenti di Suez, Mesir. Namun, tidak ada informasi lebih lanjut yang diperoleh dari penelitian ini apakah ia melanjutkan perjalanan dari Suez ke Istanbul atau tidak.
Pengiriman anak-anak dari Jawa ke sekolah-sekolah di Istanbul sedikit dibahas oleh Jan Schmidt dan İ. Hakkı Goksoy dalam buku-buku mereka tentang Ottoman dan Pan-Islamisme, tetapi mereka hanya meneliti dari tahun 1898.
Anak-anak dari keluarga Abdullah bin Alawi al-Attas adalah yang pertama pergi dan mendapatkan beasiswa di Istanbul. Anak-anak ini sebelumnya telah bersekolah di sekolah menengah di Mesir, tetapi kemudian pindah ke Istanbul dengan beasiswa setelah mengajukan permohonan ke Kementerian Pendidikan Ottoman pada pertengahan Mei 1895.
Mediator untuk pengajuan ini bukan konsul Ottoman di Batavia, tetapi Komisaris Tinggi Ottoman di Mesir, Ghazi Ahmad Muhtar Pasha, dan karenanya luput dari pengamatan pemerintah kolonial. Ada total enam siswa dalam kelompok pertama ini.
Proses pendaftaran siswa-siswa ini berjalan cepat dan pada 8 Juni 1895 sebuah surat dikirim ke Sekolah Mülkiye berisi permintaan agar Usman dan Muhammad bin Abdullah al-Attas dirawat, sebagaimana diatur oleh Sultan Ottoman. Institusi pendidikan ini, Mekteb-i Mülkiye, adalah sekolah pelatihan bagi calon negarawan yang akan bekerja di pemerintahan Ottoman dan kira-kira setara dengan Fakultas Ilmu Politik.
Mekteb-i Sultani (Galatasaray Lycee) adalah sebuah lembaga pendidikan yang dibuka pada tahun 1868 dan kemudian mengubah namanya menjadi Galatasaray High School yang masih bertahan hingga saat ini. Bahasa pengantar yang digunakan di sekolah ini adalah bahasa Prancis dan pada periode ini jumlah siswa mencapai sekitar 500 orang.
Pada awalnya, siswa-siswa yang belajar di sini didominasi oleh non-Muslim dari Yunani, Armenia, dan lainnya, tetapi sejak tahun 1880, bahasa Turki juga mulai digunakan di sekolah ini, sehingga semakin banyak siswa lokal yang diterima.
Baca Juga: Komunitas di Batavia 'Backingan' Ottoman Buat Kesal Kolonial Belanda