Pembelajar 'Jawa' di Ottoman "Terbangun dari Tidur, Terbebas dari Kebodohan"

By Muflika Nur Fuaddah, Sabtu, 7 September 2024 | 17:00 WIB
Pendidikan di Kekaisaran Turki Utsmani (Ottoman) (wikipedia)

Darussafaka adalah sekolah menengah Ottoman untuk anak yatim piatu, sebuah sekolah berasrama gratis dengan pendidikan modern untuk anak-anak yatim piatu dan anak-anak berusia antara 10 dan 12 tahun.

Masalah pendidikan anak-anak Hadrami dari Jawa di Istanbul tidak muncul dalam surat konsul Ottoman di Batavia, Kamil Bey, kepada kementerian luar negeri Ottoman pada akhir tahun 1897 yang secara singkat menggambarkan sejarah dan situasi umat Muslim di Hindia Belanda, meskipun surat itu umumnya membahas kemunduran pendidikan dan lemahnya pemahaman serta praktik keagamaan umat Muslim di wilayah ini.

Surat dari konsulat Ottoman pada tahun berikutnya, 13 April 1898, juga tidak menyebutkan tema ini, tetapi menggambarkan sejarah singkat tentang Alawiyyin di Hadramaut, migrasi beberapa Alawiyyin ke Hindia Belanda, dan kesulitan yang mereka hadapi di bawah kolonialisme Belanda.

Surat tersebut menyebutkan petisi dari orang-orang Arab di beberapa kota di Jawa, melalui tokoh-tokoh Hadrami seperti Ali bin Shahab, Abdul Kadir bin Husein Alaydrus, dan Taha bin Ahmad al-Haddad, yang kemudian disampaikan kepada konsulat.

Petisi tersebut menyebutkan keinginan mereka untuk menjadi warga negara Ottoman dan kesiapan mereka untuk dipersenjatai, jika keadaan memaksa, untuk membela hak-hak mereka dari penindasan kolonial.

Namun, pada tahun yang sama, arsip Ottoman lainnya menyebutkan bahwa kabar keberhasilan kelompok pertama siswa yang mendaftar dan belajar di Istanbul menyebar dengan cepat di Hindia Belanda dan Negeri-Negeri Selat, khususnya di Jawa dan Singapura.

Sebuah dokumen tertanggal 7 Juni 1898 menyatakan bahwa beberapa keluarga Muslim di wilayah tersebut mengajukan permohonan kepada pemerintah Ottoman agar anak-anak mereka diizinkan untuk belajar di Istanbul.

Pemerintah Ottoman mengabulkan permintaan tersebut, tetapi tidak akan menanggung biaya perjalanan ke Istanbul. Pendaftaran siswa baru dari Hindia Belanda kini dilakukan melalui konsulat Ottoman di Batavia dan sejak itu pemerintah kolonial akan mengawasi konsulat tersebut dengan penuh kecurigaan. 

Empat siswa dari Hindia Belanda tiba di Istanbul pada bulan April 1898 dan mereka segera didaftarkan di sekolah-sekolah di Istanbul. Keempat siswa ini - masing-masing kini ditambahkan dengan gelar Effendi setelah namanya - adalah Abdul Muttalib putra Ali bin Ahmad Shahab, Abdul Rahman putra Abdul Kadir Alaydrus, keduanya dari Batavia (Jakarta), Muhammad Hasan dari Bandung, dan Ali.

Pada bulan Juli 1898 mereka sudah mulai belajar. Tiga dari empat siswa ini mendaftar di Sekolah Sultani (Galatasaray), sementara yang lainnya yang lebih tua belajar di Sekolah Mülkiye. Siswa-siswa ini meninggalkan Jawa tanpa peran dan mediasi dari pemerintah Hindia Belanda.

Konsul Belanda di Istanbul, Van der Staal van Piershil, tidak memperoleh informasi tentang siswa-siswa ini dari menteri luar negeri Ottoman, Ahmad Tawfik Pasha. Namun, asisten penerjemahnya yang dikirim untuk menyelidiki berhasil berbicara dengan tiga siswa di Mekteb-i Sultani, yaitu Abdul Muttalib (10 tahun), Abdul Rahman (8 tahun), dan Mehmed Ihsan atau Muhammad Hasan (15 tahun).

Baca Juga: Tarekat Syattariyah Aceh, 'Anak Kandung' Tradisi Intelektual Ottoman

Ketiganya sudah menguasai bahasa Turki meskipun mereka baru berada di negara itu selama beberapa bulan dan mereka menganggap diri mereka warga negara Hindia Belanda. Siswa lainnya yang mendaftar di Mülkiye tidak lain adalah Ali (18 tahun).

"Dari dokumen lain kita tahu bahwa nama lengkapnya adalah Ali bin Abdul Rahman bin Sahil. Tampaknya Ali didukung oleh Sultan Siak di Sumatra, tetapi ia pasti bukan putra atau kerabat langsung Sultan Siak, karena Sultan yang berkuasa, Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin (berkuasa 1889-1908), tidak memiliki putra bernama Ali." ungkap Alwi dkk.

"Namun, referensi kami tentang Siak sedikit meragukan karena teks Arab untuk Kesultanan ini lebih sering ditulis sebagai Siyāq," lanjutya.

Orangtua dari keempat siswa ini menulis surat untuk berterima kasih kepada Sultan Ottoman atas penerimaan anak-anak mereka di Istanbul sehingga "membuat mereka terbangun dari tidur mereka dan membebaskan mereka dari kebodohan serta mengangkat mereka dari kelalaian mereka."