Pembelajar 'Jawa' di Ottoman "Terbangun dari Tidur, Terbebas dari Kebodohan"

By Muflika Nur Fuaddah, Sabtu, 7 September 2024 | 17:00 WIB
Pendidikan di Kekaisaran Turki Utsmani (Ottoman) (wikipedia)

Nationalgeographic.co.id—Tahukah Anda bahwa Kekaisaran Ottoman memiliki hubungan dan peranan khusus dengan modernisasi yang terjadi di Indonesia, khususya lewat pendidikan.

Pan-Islamisme dan modernisasi Ottoman di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari permintaan awal oleh utusan Aceh ke Istanbul untuk meminta bantuan militer sebelum periode Hamidian.

Kekaisaran Ottoman mulai memberikan perhatian pada Asia Tenggara. Ottoman membuka konsulat untuk pertama kalinya di Singapura pada tahun 1864, kemudian di Batavia pada tahun 1883.

Para pendukung Pan-Islamisme di kalangan Hadrami yang tinggal di Hindia Belanda umumnya menganjurkan reformasi Islam untuk memperkuat dan memajukan masyarakat muslim, selain persatuan, mereka menekankan pentingnya pendidikan.

Hadrami yang berpikiran reformis di Hindia Belanda menganggap bahwa pendidikan tradisional mereka, di Hijaz dan Hadramaut, sudah tidak lagi memadai untuk menghadapi tantangan modernitas, sehingga diperlukan jenis pendidikan baru.

Pemerintah kolonial telah membuka sekolah-sekolahnya untuk kaum bangsawan lokal pada pertengahan abad ke-19, yang dimaksudkan untuk melatih pegawai negeri. Orang-orang Oriental Asing, termasuk Hadrami, diberi kebebasan untuk mengejar pendidikan mereka sendiri, karena sebagian besar dari mereka akan bekerja di perusahaan swasta atau membuka usaha sendiri setelah lulus.

Namun, meskipun Hadrami ini diberi kesempatan yang sama untuk masuk ke sekolah-sekolah modern Belanda, abad ke-19 masih terlalu dini bagi mereka untuk menerima gagasan menyekolahkan anak-anak mereka ke lembaga pendidikan non-Muslim, dan mereka belum mendirikan sekolah modern mereka sendiri.

Pilihan terbaik untuk mengakses jenis pendidikan baru ini, modern namun Islami, atau setidaknya diorganisir oleh Muslim, adalah di Kairo atau di Istanbul. Beberapa Hadrami kaya akan mengirim anak-anak mereka, sebagian besar dengan bantuan konsulat, untuk belajar di Istanbul pada akhir abad ke-19.

 Alwi Alatas dan Alaeddin Tekin dalam The Indonesian-Hadramis’ Cooperation With The Ottoman and The Sending of Indonesian Students to Istanbul, 1880s-1910s yang terbit dalam jurnal Tarih Incelemeleri Dergisi mengungkap ada arsip Ottoman yang menyebutkan pertemuan selama ziarah di Hijaz pada tahun 1891. "Ada pertemuan antara seorang pejabat Turki dan seseorang dari Jawa bernama Sharif Ali yang pesannya disampaikan kepada Sultan Ottoman," ungkap Alwi dkk.

"Sharif Ali mengeluhkan situasi di negaranya yang telah lama diduduki oleh musuh dan ia berharap perlindungan dari Sultan." Sebuah proposal diajukan oleh Sharif Ali agar setiap tahun 10-20 anak dari negaranya dikirim untuk belajar di sekolah militer di Istanbul, sehingga beberapa tahun kemudian sebuah pasukan bisa dimobilisasi untuk mengusir musuh dengan mengibarkan bendera Ottoman.

"Kita tidak tahu kelanjutan rencana ini dan juga tidak pasti apakah Jawa yang disebutkan dalam dokumen ini secara khusus adalah Pulau Jawa atau bukan, karena kata Jawa pada waktu itu juga digunakan untuk wilayah Indo-Melayu pada umumnya," lanjutnya.

Baca Juga: Bagaimana Hubungan Politik Komunitas Arab di Batavia dan Ottoman?

Namun, Goksoy menyebutkan seseorang bernama Sharif Ali yang tinggal di Istanbul pada tahun yang sama dengan dokumen tersebut, 1891. Menurut artikelnya, Sharif Ali berasal dari Hadrami dan bekerja untuk Kesultanan Aceh.

Seperti yang dapat dilihat dari informasi ini, rencana Sharif Ali bukan untuk orang Jawa atau Hadrami, melaikan untuk siswa Aceh. "Ini hal menarik karena tidak hanya mengharapkan kemajuan internal, tetapi juga mengandung benih perlawanan fisik terhadap pemerintah kolonial," jelas Alwi.

Dikatakan bahwa Ali bin Ahmad Shahab, salah satu pendukung Pan-Islamisme di Batavia, telah datang ke Istanbul dan bertemu Sultan Abdul Hamid II pada tahun 1311 Hijriah (1893/4), membahas perkembangan umat Muslim di dunia dan merencanakan untuk mengirim beberapa anak dari Hindia Belanda untuk belajar di Turki.

Informasi ini tidak memberikan referensi dan kemungkinan besar didasarkan pada cerita lisan di keluarga Shahab, tetapi bagaimanapun mencerminkan narasi serupa dengan yang di atas milik Sharif Ali.

Namun, dalam pertemuan langsung itu, tidak disebut mengeai tujuan pendidikan. Mungkin benar bahwa Ali Shahab pergi ke Istanbul tahun itu, karena beberapa surat kabar kontemporer pada Mei 1894 mencatatnya sebagai penumpang di sebuah kapal menuju Amsterdam dan berhenti di Suez, Mesir. Namun, tidak ada informasi lebih lanjut yang diperoleh dari penelitian ini apakah ia melanjutkan perjalanan dari Suez ke Istanbul atau tidak.

Pengiriman anak-anak dari Jawa ke sekolah-sekolah di Istanbul sedikit dibahas oleh Jan Schmidt dan İ. Hakkı Goksoy dalam buku-buku mereka tentang Ottoman dan Pan-Islamisme, tetapi mereka hanya meneliti dari tahun 1898.

Anak-anak dari keluarga Abdullah bin Alawi al-Attas adalah yang pertama pergi dan mendapatkan beasiswa di Istanbul. Anak-anak ini sebelumnya telah bersekolah di sekolah menengah di Mesir, tetapi kemudian pindah ke Istanbul dengan beasiswa setelah mengajukan permohonan ke Kementerian Pendidikan Ottoman pada pertengahan Mei 1895.

Mediator untuk pengajuan ini bukan konsul Ottoman di Batavia, tetapi Komisaris Tinggi Ottoman di Mesir, Ghazi Ahmad Muhtar Pasha, dan karenanya luput dari pengamatan pemerintah kolonial. Ada total enam siswa dalam kelompok pertama ini.

Proses pendaftaran siswa-siswa ini berjalan cepat dan pada 8 Juni 1895 sebuah surat dikirim ke Sekolah Mülkiye berisi permintaan agar Usman dan Muhammad bin Abdullah al-Attas dirawat, sebagaimana diatur oleh Sultan Ottoman. Institusi pendidikan ini, Mekteb-i Mülkiye, adalah sekolah pelatihan bagi calon negarawan yang akan bekerja di pemerintahan Ottoman dan kira-kira setara dengan Fakultas Ilmu Politik.

Mekteb-i Sultani (Galatasaray Lycee) adalah sebuah lembaga pendidikan yang dibuka pada tahun 1868 dan kemudian mengubah namanya menjadi Galatasaray High School yang masih bertahan hingga saat ini. Bahasa pengantar yang digunakan di sekolah ini adalah bahasa Prancis dan pada periode ini jumlah siswa mencapai sekitar 500 orang.

Pada awalnya, siswa-siswa yang belajar di sini didominasi oleh non-Muslim dari Yunani, Armenia, dan lainnya, tetapi sejak tahun 1880, bahasa Turki juga mulai digunakan di sekolah ini, sehingga semakin banyak siswa lokal yang diterima.

Baca Juga: Komunitas di Batavia 'Backingan' Ottoman Buat Kesal Kolonial Belanda

Darussafaka adalah sekolah menengah Ottoman untuk anak yatim piatu, sebuah sekolah berasrama gratis dengan pendidikan modern untuk anak-anak yatim piatu dan anak-anak berusia antara 10 dan 12 tahun.

Masalah pendidikan anak-anak Hadrami dari Jawa di Istanbul tidak muncul dalam surat konsul Ottoman di Batavia, Kamil Bey, kepada kementerian luar negeri Ottoman pada akhir tahun 1897 yang secara singkat menggambarkan sejarah dan situasi umat Muslim di Hindia Belanda, meskipun surat itu umumnya membahas kemunduran pendidikan dan lemahnya pemahaman serta praktik keagamaan umat Muslim di wilayah ini.

Surat dari konsulat Ottoman pada tahun berikutnya, 13 April 1898, juga tidak menyebutkan tema ini, tetapi menggambarkan sejarah singkat tentang Alawiyyin di Hadramaut, migrasi beberapa Alawiyyin ke Hindia Belanda, dan kesulitan yang mereka hadapi di bawah kolonialisme Belanda.

Surat tersebut menyebutkan petisi dari orang-orang Arab di beberapa kota di Jawa, melalui tokoh-tokoh Hadrami seperti Ali bin Shahab, Abdul Kadir bin Husein Alaydrus, dan Taha bin Ahmad al-Haddad, yang kemudian disampaikan kepada konsulat.

Petisi tersebut menyebutkan keinginan mereka untuk menjadi warga negara Ottoman dan kesiapan mereka untuk dipersenjatai, jika keadaan memaksa, untuk membela hak-hak mereka dari penindasan kolonial.

Namun, pada tahun yang sama, arsip Ottoman lainnya menyebutkan bahwa kabar keberhasilan kelompok pertama siswa yang mendaftar dan belajar di Istanbul menyebar dengan cepat di Hindia Belanda dan Negeri-Negeri Selat, khususnya di Jawa dan Singapura.

Sebuah dokumen tertanggal 7 Juni 1898 menyatakan bahwa beberapa keluarga Muslim di wilayah tersebut mengajukan permohonan kepada pemerintah Ottoman agar anak-anak mereka diizinkan untuk belajar di Istanbul.

Pemerintah Ottoman mengabulkan permintaan tersebut, tetapi tidak akan menanggung biaya perjalanan ke Istanbul. Pendaftaran siswa baru dari Hindia Belanda kini dilakukan melalui konsulat Ottoman di Batavia dan sejak itu pemerintah kolonial akan mengawasi konsulat tersebut dengan penuh kecurigaan. 

Empat siswa dari Hindia Belanda tiba di Istanbul pada bulan April 1898 dan mereka segera didaftarkan di sekolah-sekolah di Istanbul. Keempat siswa ini - masing-masing kini ditambahkan dengan gelar Effendi setelah namanya - adalah Abdul Muttalib putra Ali bin Ahmad Shahab, Abdul Rahman putra Abdul Kadir Alaydrus, keduanya dari Batavia (Jakarta), Muhammad Hasan dari Bandung, dan Ali.

Pada bulan Juli 1898 mereka sudah mulai belajar. Tiga dari empat siswa ini mendaftar di Sekolah Sultani (Galatasaray), sementara yang lainnya yang lebih tua belajar di Sekolah Mülkiye. Siswa-siswa ini meninggalkan Jawa tanpa peran dan mediasi dari pemerintah Hindia Belanda.

Konsul Belanda di Istanbul, Van der Staal van Piershil, tidak memperoleh informasi tentang siswa-siswa ini dari menteri luar negeri Ottoman, Ahmad Tawfik Pasha. Namun, asisten penerjemahnya yang dikirim untuk menyelidiki berhasil berbicara dengan tiga siswa di Mekteb-i Sultani, yaitu Abdul Muttalib (10 tahun), Abdul Rahman (8 tahun), dan Mehmed Ihsan atau Muhammad Hasan (15 tahun).

Baca Juga: Tarekat Syattariyah Aceh, 'Anak Kandung' Tradisi Intelektual Ottoman

Ketiganya sudah menguasai bahasa Turki meskipun mereka baru berada di negara itu selama beberapa bulan dan mereka menganggap diri mereka warga negara Hindia Belanda. Siswa lainnya yang mendaftar di Mülkiye tidak lain adalah Ali (18 tahun).

"Dari dokumen lain kita tahu bahwa nama lengkapnya adalah Ali bin Abdul Rahman bin Sahil. Tampaknya Ali didukung oleh Sultan Siak di Sumatra, tetapi ia pasti bukan putra atau kerabat langsung Sultan Siak, karena Sultan yang berkuasa, Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin (berkuasa 1889-1908), tidak memiliki putra bernama Ali." ungkap Alwi dkk.

"Namun, referensi kami tentang Siak sedikit meragukan karena teks Arab untuk Kesultanan ini lebih sering ditulis sebagai Siyāq," lanjutya.

Orangtua dari keempat siswa ini menulis surat untuk berterima kasih kepada Sultan Ottoman atas penerimaan anak-anak mereka di Istanbul sehingga "membuat mereka terbangun dari tidur mereka dan membebaskan mereka dari kebodohan serta mengangkat mereka dari kelalaian mereka."