Port Moresby Kota Paling Berbahaya di Dunia yang Dikunjungi Paus Fransiskus

By Ade S, Jumat, 6 September 2024 | 11:03 WIB
Paus Fransiskus mengunjungi Port Moresby, kota yang dinobatkan sebagai salah satu yang paling berbahaya di dunia. (Kompas.Id/Agustinus Wibowo)

Nationalgeographic.co.id—Paus Fransiskus telah meninggalkan Indonesia untuk melanjutkan perjalan apostoliknya ke Papua Nugini. Menggunakan pesawat Garuda Indonesia, Paus terbang dari Cengkareng menuju Port Moresby, Jumat (6/9/2024).

Kunjungan Paus ke Papua Nugini termasuk bagian dari upayanya untuk menjangkau umat Katolik di salah satu wilayah paling terpencil di dunia. Bahkan, misa Minggu pun akna dilakukan di salah satu kota terpencil Vanimo.

Salah satu hal yang menarik dari kunjungan ini adalah status Port Moresby yang kerap masuk ke dalam daftar kota paling berbahaya di dunia. Bahkan, pada awal 2000-an, pernah sampai berada di posisi puncak.

Untuk saat ini, jika merujuk data crime index yang dilansir Numbeo, Port Moresby berada di peringkat keempat kota paling berbahaya di dunia. Kota ini 'hanya' kalah oleh Pietermaritzburg dan Pretoria di Afrika Selatan serta Caracas di Venezuela.

Port Moresby berada di peringkat keempat kota paling berbahaya di dunia berdasarkan data 'crime index' yang dilansir Numbeo. (Tangkap layar.)

Kota dengan aroma bahaya

Salah satu penggambaran tentang seberapa berbahayanya Port Moresby dituturkan oleh Agustinus Wibowo di laman Kompas.id. Melalui artikel bertajuk "Aroma Bahaya," Agustinus menggambarkan kesannya saat berada di ibu kota Papua Nugini tersebut.

"Kesan pertama saya tentang negara ini sebenarnya sangat bersahabat," papar Agustinus. Namun, ketikan dia mulai meneliti lebih dalam, dia menyaksikan semua bangunan di sana memiliki tembok yang besar. Bak sebuah benteng.

Para petugas keamanan yang berjaga pun hampir selalu membawa senapan laras panjang dengan anjing besar yang seolah turut menjaga. Beberapa rumah, selain memiliki tembok yang tinggi, juga menggunakan gulungan kawat berduri atau pecahan beling.

"Mobil-mobil bertuliskan 'SECURITY GUARD' berlalu lalang memadati jalanan," terang Agustinus.

Kelwyn Browne, rekan Agustinus yang berasal dari Australia menyebut bahwa keamanan merupakan bisnis utama di Papua Nugini. Suatu kondisi yang dirasakan langsung oleh Agustinus.

Baca Juga: Paus Fransiskus: Eksploitasi oleh Manusia Telah Berkontribusi Terhadap Perubahan Iklim

Ketenaran Port Moresby sebagai kota yang tidak aman bukanlah isapan jempol. Kel, seperti banyak ekspatriat lainnya, memiliki segudang cerita tentang insiden kekerasan yang terjadi di kota ini. Bahkan, rasanya tidak ada orang asing yang tidak mengenal seseorang yang pernah menjadi korban kejahatan.

Akibatnya, sektor keamanan menjadi tulang punggung perekonomian Port Moresby. Alih-alih mengandalkan aparat kepolisian, hampir semua institusi, mulai dari perusahaan swasta hingga kedutaan besar, lebih memilih menggunakan jasa perusahaan keamanan swasta.

"Bahkan, keamanan Bandara Port Moresby dipegang oleh G4S, sebuah perusahaan swasta yang berbasis di Inggris," jelas Agustinus.

Tingginya permintaan akan jasa keamanan menciptakan lapangan pekerjaan yang cukup besar bagi penduduk lokal. Namun, di balik peluang kerja yang menjanjikan, terdapat disparitas yang mencolok.

Seorang petugas keamanan hanya digaji 200 kina (sekitar Rp1 juta) setiap dua minggu, sementara perusahaan yang menggunakan jasanya harus merogoh kocek hingga puluhan ribu kina.

Biaya keamanan yang tinggi ini turut berimbas pada harga barang dan jasa di Port Moresby. Penginapan termurah pun dilengkapi dengan tembok tinggi dan penjaga bersenjata. Harga per malamnya bisa mencapai Rp1 juta, jauh di atas standar penginapan backpacker.

Sebagai konsultan untuk salah satu kementerian di Papua Nugini, Kel berhak menginap di hotel bintang empat. Namun, jangan bayangkan kemewahan layaknya hotel bintang empat di negara lain.

Kamar yang sempit, dinding yang tipis, minimnya fasilitas, dan harga yang selangit (tarif menginapnya 750 kina atau sekitar Rp3,75 juta per malam) membuat pengalaman menginap di hotel tersebut kurang memuaskan.

Pantang sepelekan keamanan

Seorang diplomat di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) mengingatkan Agustinus untuk tidak menyepelekan keamanan di Port Moresby.

Peringatan itu bukan sekadar basa-basi, melainkan refleksi nyata dari kondisi keamanan di Port Moresby yang memang cukup mengkhawatirkan.

Baca Juga: Makna di Balik Salib Nusantara: Busana Liturgis Paus Fransiskus saat Ekaristi di GBK

Para diplomat Indonesia di sana memiliki protokol keamanan yang ketat. Mereka tidak pernah bepergian sendirian, baik dengan transportasi umum maupun taksi. Mobil pribadi menjadi satu-satunya pilihan yang dianggap paling aman.

Bahkan, ketika pulang kerja, mobil-mobil dinas mereka selalu bergerak dalam konvoi untuk meminimalisir risiko. Meski begitu, ancaman kejahatan jalanan seperti pelemparan batu atau perampokan tetap menjadi bayang-bayang yang tak bisa dihindari.

Tingginya risiko keamanan membuat para diplomat Indonesia lebih memilih tinggal berdekatan dalam satu kompleks. Hal ini dilakukan untuk mempermudah koordinasi dan saling menjaga satu sama lain.

Begitu pula dengan Agustinus. Duta Besar Indonesia saat itu, Andreas Sitepu, dengan sigap mengatur agar dirinya menginap di rumah dinas salah satu diplomat, yang letaknya bersebelahan dengan rumah tamu Duta Besar.

Istilah "raskol", yang berasal dari bahasa Inggris "rascal" atau "anak nakal", telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari di kota ini. Namun, jangan salah sangka, raskol bukanlah sekadar anak nakal biasa. Mereka adalah geng-geng kriminal yang sangat berbahaya.

Aksi kriminal yang dilakukan oleh raskol sangat beragam, mulai dari perampokan ringan hingga kejahatan berat seperti pemerkosaan dan pembunuhan.

Tingkat kekerasan yang mereka lakukan pun sangat tinggi. Sebuah survei yang dilakukan oleh Home Office Inggris pada tahun 2004 menunjukkan fakta yang mengejutkan: tingkat pembunuhan di Port Moresby tiga kali lipat lebih tinggi dibandingkan Moskow dan 23 kali lipat lebih tinggi dibandingkan London.

Ancaman dari raskol ini dirasakan oleh semua orang, termasuk para ekspatriat. Didik Wisnu, Atase Pendidikan Kedutaan Besar Indonesia di Port Moresby, pernah mengalami sendiri teror dari raskol.

Pada suatu sore, saat baru saja tiba di rumah, ia langsung dihadang oleh sekelompok pria bersenjata. Dengan tenang, para perampok itu merampas mobil dan barang-barang berharga miliknya. "Dalam keadaan begini, nyawa jauh lebih berharga," pungkas Agustinus.