Cerita tentang Hanno Si Gajah Malang yang Dijadikan Hadiah untuk Paus

By Sysilia Tanhati, Senin, 9 September 2024 | 14:00 WIB
Pada tahun 1511 Hanno dibawa dari India ke Roma untuk dijadikan hadiah bagi Paus. Perjalanan panjang yang menyiksa membuatnya menderita. (Pieter Ras)

Terlepas dari semua kesulitan ini, Hanno yang berusia 4 tahun berhasil memasuki Roma pada tanggal 19 Maret 1514. Ia datang dengan membawa bangunan seperti istana perak di punggungnya. Hanno menyenangkan para penonton dengan penghormatan dari belalainya.

Hanno dengan cepat menjadi salah satu hadiah favorit paus. Namun, bantuan paus tidak banyak membantu gajah malang yang tinggal jauh dari rumah itu.

Setidaknya 13 gajah Asia dibawa ke Portugal pada abad ke-16. Termasuk Suleyman, yang diberikan kepada Kaisar Romawi Suci Maximilian II. Jauh dari kata terabaikan, mereka justru dimanjakan dengan perhatian sebagai simbol prestise seorang penguasa.

“Manuel I sangat menyukai gajah-gajahnya dan selalu mengadakan pawai keliling kota bersama gajah-gajah dan pawangnya. Sang raja ingin menunjukkan ia menjadi penguasa dunia,” kata Gschwend.

Gajah berfungsi sebagai penghubung ke Timur dan budaya Romawi dan Yunani kuno. Gajah adalah simbol kemegahan, kekuatan, dan globalisme. Para penguasa seperti Manuel I dan Paus Leo X sangat menghargai gajah. Namun orang Eropa dan bahkan pawang gajah India tidak tahu cara merawat hewan-hewan yang berada jauh dari rumah.

Hanno hanya bertahan hidup selama 2 tahun di Roma, meskipun mendapat perhatian dari dokter hewan terbaik. Setelah jatuh sakit pada awal Juni 1516, urinenya diuji dan darahnya diperiksa sebelum dia diberi pencahar yang mengandung emas. Semua itu adalah pengobatan medis yang umum bagi manusia, tetapi tidak membantu Hanno.

Pada tanggal 8 Juni, gajah muda itu mati ketika dia baru berusia sekitar 6 tahun, jauh di bawah rentang hidup gajah Asia liar yang mencapai 60 tahun.

Pengetahuan tentang gajah telah berkembang jauh sejak zaman Hanno. Tapi sayangnya hal itu tidak selalu menghasilkan perawatan yang lebih baik. Sama seperti pada abad ke-16, keinginan manusia akan hiburan dan kekuasaan sering kali didahulukan daripada kesejahteraan gajah.

Orang-orang “masih menangkap gajah dari alam liar,” kata Iyer, “merebutnya dari keluarga mereka, meskipun ilmu pengetahuan tersedia.”

“Tidak ada yang berubah, dan itulah bagian yang menyedihkan. Gajah masih dianggap sebagai simbol status.” Sekarang karena mereka tidak lagi digunakan dalam perang atau industri, tambahnya, pertanyaan yang sering muncul adalah, “Bagaimana Anda masih mengeksploitasi mereka?”

Bagi Gschwend, kisah sedih Hanno mengandung pelajaran. “Masa lalu dapat mengajarkan kita untuk melindungi masa kini,” dan kisah Hanno mengingatkan kita bahwa “kita perlu melestarikan planet dan hewan kita.”