Cerita tentang Hanno Si Gajah Malang yang Dijadikan Hadiah untuk Paus

By Sysilia Tanhati, Senin, 9 September 2024 | 14:00 WIB
Pada tahun 1511 Hanno dibawa dari India ke Roma untuk dijadikan hadiah bagi Paus. Perjalanan panjang yang menyiksa membuatnya menderita. (Pieter Ras)

 

Nationalgeographic.co.id—Pada awal 1514, sekelompok orang yang bersemangat berkumpul di kota kecil Tarquinia di Italia tengah. Dulunya, kota ini merupakan bagian dari Etruria yang kuat. Orang-orang tersebut menyerbu penginapan lokal di kota.

Mereka yang tidak dapat menemukan tempat di dalam memanjat ke atap atau bertengger di atas bangunan-bangunan di sekitarnya. Mereka semua sangat ingin melihat sesuatu yang istimewa, sesuatu yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. “Sesuatu yang istimewa” itu terpaksa menghabiskan malam di udara terbuka piazza.

Rupanya, orang-orang berdatangan untuk melihat Hanno, gajah yang berparade menuju Roma. Hanno merupakan hadiah untuk Paus Leo X.

“Kedatangan Hanno ke Roma disambut oleh kerumunan besar dan perhatian yang luar biasa,” tulis Devon Field di laman Atlas Obscura. Didorong oleh keserakahan manusia akan gengsi dan hiburan, perjalanan itu mengorbankan kesejahteraan Hanno. Ironisnya, gajah-gajah masih merasakan penderitaan yang sama hingga kini.

Perjalanan Hanno dimulai di India barat daya, di Kota Kochi yang dikuasai Portugis.

Di bawah Raja Manuel I, pedagang dan komandan Portugis membawa beragam flora dan fauna eksotis kembali ke Eropa. Burung beo, monyet, badak, dan kucing besar dari Amerika Selatan, Afrika, dan Asia dilirik di istana-istana Eropa. Namun dari semua yang datang, gajah adalah bintang utamanya.

“Gajah adalah hadiah utama yang bisa diharapkan oleh penguasa Eropa Barat,” kata sejarawan Annemarie Jordan Gschwend, penulis The Story of Suleyman: Celebrity Elephants and Other Exotica in Renaissance Portugal.

Hanno kemungkinan lahir sekitar tahun 1510 di India. Sejak kedatangan penjelajah Vasco da Gama pada 1498, Portugal terus memperluas wilayah kekuasaannya di India. Mereka membangun benteng di Kochi, menaklukkan Goa, dan membangun lebih banyak wilayah Asia Tenggara. Misalnya di Malaka di Malaysia modern.

Menurut Silvio Bedini, penulis The Pope’s Elephant, pawang gajah India mungkin membesarkan Hanno di penangkaran. Ia melatihnya untuk mengikuti berbagai perintah. Ketika Hanno masih sangat muda, Raja Portugal Manuel I membeli gajah itu sebagai hadiah untuk Paus Leo X.

Pada awal tahun 1511, Hanno, ditemani pawang gajahnya, dimuat ke sebuah kapal di pelabuhan Kochi yang ramai. Mereka meninggalkan kampung halamannya di India selatan untuk selamanya.

Selama sekitar 6 bulan, Hanno bertahan dari terik matahari dan hujan di dek kapal yang terbuka. Ia berlayar di sekitar Tanjung Harapan dan ke utara menuju Lisbon. Tergesek minyak pada udara asin dan diikat ke tiang kapal saat cuaca buruk, Hanno jauh dari kenyamanan habitat aslinya. Ia pun tidak mendapatkan suasana tenang seperti di habitatnya.

Baca Juga: Mengapa Paus Fransiskus Menciptakan Hari Orang Miskin Sedunia? 

“Ketika gajah muda takut pada apa pun yang terjadi di dunia luar,” kata Sangita Iyer, penulis dan direktur eksekutif pendiri Voices for Asian Elephants, “mereka bersembunyi di bawah induknya agar merasa terlindungi.” Ironisnya, Hanno tidak mendapatkan ketenangan seperti itu.

Pada awal musim panas, Hanno akhirnya tiba di Lisbon, tetapi pada tahun 1514 ia pergi lagi. Gajah muda itu dikirim bersama dengan berbagai hadiah dari Raja Manuel untuk Paus Leo. Dokumen, mutiara, batu mulia, seekor kuda Persia, burung beo, seekor cheetah, dan dua macan tutul semuanya dimuat. Di tengah keriuhan pesta, Hanno bergabung dengan yang sudah ada di atas kapal, dan kapal meninggalkan pelabuhan.

Di mana pun kapal berhenti, orang banyak berbondong-bondong untuk melihat Hanno. Misalnya di Alicante, Spanyol, di Pulau Ibiza, dan di Pelabuhan Palma di Mallorca. Penumpang kapal tidak dapat menahan rasa ingin tahu penonton untuk tidak naik ke kapal. Akhirnya, Nicolau de Faria, pengawal kerajaan yang bertanggung jawab atas gajah itu, terpaksa menghindari pemberhentian.

Rombongan pun mencapai kota kecil Porto Ercole di Tuscan, tempat Faria harus menguasai galai untuk membawa Hanno ke daratan.

Faria ingin agar keriuhan itu segera berakhir. Harapannya tidak terkabul ketika penduduk kota dan petani datang untuk menyaksikan kedatangan Hanno. Bak karnaval keliling, penonton bergabung dengan Hanno dan utusan Portugis di jalan menuju Roma.

“Tentu saja, dia trauma,” kata Iyer. Semua orang itu menambah ketegangan mental, fisik, dan psikologis. Semua itu harus ditanggung gajah malang ini. Bahkan sekarang, katanya, mengangkut gajah untuk melakukan perjalannya yang sama juga tidak mudah.

Semakin banyak orang mengikuti Hanno dan Faria dengan menunggang kuda dan berjalan kaki. Semuanya berdesakan untuk melihat gajah tersebut. Kafilah yang berat itu merusak tanah dan properti, yang semakin membuat Hanno tertekan.

Jalan itu juga keras, secara harfiah. Permukaannya yang keras mengikis kaki Hanno dan gajah itu harus berhenti lebih sering untuk meredakan rasa sakitnya.

Gajah adalah hadiah utama yang bisa diharapkan oleh penguasa Eropa Barat. (Public Domain)

“Kaki gajah adalah salah satu bagian terpenting dari tubuh mereka,” kata Iyer. “Kaki mereka seperti empat pilar. Jika kaki gajah aus, itu akan berdampak pada kaki dan kemudian berdampak pada tubuh.” Pembusukan kaki, penderitaan, dan keruntuhan fisik dapat terjadi setelahnya.

Saat mereka berjalan menuju Roma, Faria dibombardir dengan permintaan agar gajah itu mengunjungi kastil atau vila. Dia menolak semuanya, meskipun bukan karena kurangnya waktu. Mereka sebenarnya berlari lebih cepat dari jadwal, tetapi Hanno perlu beristirahat, bukan didorong lebih jauh.

Mereka tiba di Roma lebih cepat dari yang telah direncanakan. Rombongan mengatur tempat menginap di vila kardinal di luar kota. Namun masyarakat yang bersemangat, memanjat tembok dan menginjak-injak kebun anggur. Keriuhan itu membuat Hanno terusir dari tempat perlindungan itu. Bahkan Garda Swiss, pengawal paus, tidak menghalangi kerumunan itu untuk mendekati Hanno.

Terlepas dari semua kesulitan ini, Hanno yang berusia 4 tahun berhasil memasuki Roma pada tanggal 19 Maret 1514. Ia datang dengan membawa bangunan seperti istana perak di punggungnya. Hanno menyenangkan para penonton dengan penghormatan dari belalainya.

Hanno dengan cepat menjadi salah satu hadiah favorit paus. Namun, bantuan paus tidak banyak membantu gajah malang yang tinggal jauh dari rumah itu.

Setidaknya 13 gajah Asia dibawa ke Portugal pada abad ke-16. Termasuk Suleyman, yang diberikan kepada Kaisar Romawi Suci Maximilian II. Jauh dari kata terabaikan, mereka justru dimanjakan dengan perhatian sebagai simbol prestise seorang penguasa.

“Manuel I sangat menyukai gajah-gajahnya dan selalu mengadakan pawai keliling kota bersama gajah-gajah dan pawangnya. Sang raja ingin menunjukkan ia menjadi penguasa dunia,” kata Gschwend.

Gajah berfungsi sebagai penghubung ke Timur dan budaya Romawi dan Yunani kuno. Gajah adalah simbol kemegahan, kekuatan, dan globalisme. Para penguasa seperti Manuel I dan Paus Leo X sangat menghargai gajah. Namun orang Eropa dan bahkan pawang gajah India tidak tahu cara merawat hewan-hewan yang berada jauh dari rumah.

Hanno hanya bertahan hidup selama 2 tahun di Roma, meskipun mendapat perhatian dari dokter hewan terbaik. Setelah jatuh sakit pada awal Juni 1516, urinenya diuji dan darahnya diperiksa sebelum dia diberi pencahar yang mengandung emas. Semua itu adalah pengobatan medis yang umum bagi manusia, tetapi tidak membantu Hanno.

Pada tanggal 8 Juni, gajah muda itu mati ketika dia baru berusia sekitar 6 tahun, jauh di bawah rentang hidup gajah Asia liar yang mencapai 60 tahun.

Pengetahuan tentang gajah telah berkembang jauh sejak zaman Hanno. Tapi sayangnya hal itu tidak selalu menghasilkan perawatan yang lebih baik. Sama seperti pada abad ke-16, keinginan manusia akan hiburan dan kekuasaan sering kali didahulukan daripada kesejahteraan gajah.

Orang-orang “masih menangkap gajah dari alam liar,” kata Iyer, “merebutnya dari keluarga mereka, meskipun ilmu pengetahuan tersedia.”

“Tidak ada yang berubah, dan itulah bagian yang menyedihkan. Gajah masih dianggap sebagai simbol status.” Sekarang karena mereka tidak lagi digunakan dalam perang atau industri, tambahnya, pertanyaan yang sering muncul adalah, “Bagaimana Anda masih mengeksploitasi mereka?”

Bagi Gschwend, kisah sedih Hanno mengandung pelajaran. “Masa lalu dapat mengajarkan kita untuk melindungi masa kini,” dan kisah Hanno mengingatkan kita bahwa “kita perlu melestarikan planet dan hewan kita.”