Kredit Karbon, Bentuk Kolonialisme Baru Sekaligus 'Ladang' Korupsi?

By Ade S, Kamis, 12 September 2024 | 18:03 WIB
Kredit karbon: Solusi iklim atau jebakan korupsi? Investigasi tentang bagaimana skema karbon mengancam hutan Afrika dan hak-hak masyarakat adat. (freepik.com/author/vecstock)

Utamakan profit, abaikan kemanusiaan

Di sisi lain, komunitas adat Ogiek di Kenya tengah berjuang keras mempertahankan hak-hak mereka. Suku pemburu-pengumpul ini dituduh telah diusir secara paksa dari tanah leluhur mereka, Hutan Mau, untuk membuka jalan bagi proyek ambisius perdagangan karbon.

Tuduhan ini dilontarkan oleh para pengacara HAM yang mewakili komunitas Ogiek. Mereka mengajukan gugatan terhadap pemerintah Kenya, menuding negara telah melakukan pelanggaran HAM berat.

Ratusan anggota suku Ogiek kini hidup dalam ketakutan dan ketidakpastian. Rumah-rumah mereka dihancurkan, harta benda mereka dirampas, dan mereka dipaksa meninggalkan hutan yang telah menjadi rumah mereka selama berabad-abad.

Bapak Daniel Kobei, seorang pemimpin komunitas Ogiek, memberikan kesaksian yang sangat mengiris hati. Ia menceritakan bagaimana petugas hutan bersenjata datang dengan kapak dan palu, menghancurkan rumah-rumah mereka tanpa ampun.

Kobei pun mengutuk tindakan-tindakan ini sebagai brutal dan tidak berperasaan, mengkritik pemerintah karena memprioritaskan profit daripada kemanusiaan.

Pemerintah Kenya membela diri dengan alasan bahwa penggusuran ini dilakukan untuk melindungi lingkungan. Namun, Dr. Justin Kenrick dari Forest People’s Programme memiliki pandangan yang berbeda. Menurutnya, proyek perdagangan karbon menjadi pemicu utama dari tindakan brutal ini.

Kesepakatan meragukan yang berbau korupsi

Pada awal tahun lalu, Zambia dan Uni Emirat Arab (UEA) melalui perusahaannya, Blue Carbon, menandatangani sebuah kesepakatan yang mengundang kontroversi.

Kesepakatan ini, yang berfokus pada pengurangan emisi karbon melalui pengelolaan hutan, disebut-sebut sebagai langkah maju dalam upaya mengatasi perubahan iklim. Namun, di balik klaim-klaim muluk tersebut, tersimpan sejumlah pertanyaan besar yang belum terjawab.

Kesepakatan ini mengklaim bahwa dirinya sejalan dengan Perjanjian Paris 2015, sebuah perjanjian internasional yang bertujuan untuk membatasi kenaikan suhu global.

Baca Juga: Selama Ini Keliru, Ternyata di Sinilah Karbon Dioksida Hasil Aktivitas 'Manusia' Banyak Tersimpan