Kredit Karbon, Bentuk Kolonialisme Baru Sekaligus 'Ladang' Korupsi?

By Ade S, Kamis, 12 September 2024 | 18:03 WIB
Kredit karbon: Solusi iklim atau jebakan korupsi? Investigasi tentang bagaimana skema karbon mengancam hutan Afrika dan hak-hak masyarakat adat. (freepik.com/author/vecstock)

Kolonialisme baru

Benard Kioko Ndaka, seorang aktivis lingkungan dari Global Green Economy Kenya, melontarkan tuduhan serius terhadap proyek-proyek karbon yang digagas oleh Blue Carbon di sejumlah negara Afrika. Ia menyebut proyek ini sebagai bentuk "kolonialisme baru" yang menyasar benua Afrika.

Dalam sebuah wawancara dengan LifeGate, Ndaka mengungkapkan keprihatinannya yang mendalam.

"Bayangkan saja, sebuah perusahaan swasta Dubai, berkedok sebagai pejuang darurat iklim, bersiap untuk mengendalikan wilayah-wilayah sub-Sahara Afrika yang luas," katanya dalam sebuah wawancara dengan LifeGate.

"Saya pikir kontrol ini akan memungkinkan perusahaan untuk menjual kredit karbon kepada pencemar utama seperti AS, Inggris, Arab Saudi, China, dan lainnya sebagai imbalan untuk mengelola hutan di tanah tersebut. Tetapi saya pikir mereka juga mengincar sumber daya mineral Afrika."

Menurut Ndaka, skema perdagangan karbon yang ditawarkan oleh Blue Carbon ini sangat merugikan negara-negara berkembang. Negara-negara maju yang menjadi pencemar utama, seperti Amerika Serikat, Inggris, Arab Saudi, dan China, dapat dengan mudah membeli kredit karbon dari negara-negara Afrika untuk memenuhi target emisi mereka.

Dengan begitu, mereka seolah-olah telah "membersihkan" diri tanpa harus melakukan perubahan nyata dalam sistem produksi dan konsumsi mereka.

Ancaman baru atau solusi palsu

Malcolm Fabiyi, seorang ahli bioteknologi bersih dan advokat lingkungan, menyuarakan keprihatinannya terhadap mekanisme penetapan harga karbon, terutama di negara-negara berkembang seperti di Afrika.

Ia mempertanyakan apakah harga yang ditetapkan untuk karbon yang tersimpan di hutan benar-benar mencerminkan nilai sebenarnya dari ekosistem tersebut dan masyarakat yang bergantung padanya.

Fabiyi menekankan pentingnya keadilan dan kesetaraan dalam mekanisme ini. Ia khawatir bahwa jika harga karbon tidak ditetapkan secara adil, maka negara-negara berkembang akan terus dieksploitasi dan ketidaksetaraan global akan semakin melebar.

Kekhawatiran Fabiyi bukan tanpa alasan. Kesepakatan-kesepakatan yang melibatkan perusahaan seperti Blue Carbon seringkali dilakukan tanpa melibatkan masyarakat lokal secara penuh.

Hutan-hutan yang telah menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat adat tiba-tiba dijadikan komoditas yang diperdagangkan di pasar karbon global. Hal ini tentu saja memicu pertanyaan tentang keadilan dan keberlanjutan.

Proyek-proyek karbon skala besar seperti ini tidak hanya mengancam keanekaragaman hayati yang kaya di Afrika, tetapi juga mengancam mata pencaharian dan budaya masyarakat adat.

Hutan-hutan di Afrika merupakan rumah bagi beragam flora dan fauna yang unik. Selain itu, hutan juga menyediakan sumber makanan, obat-obatan, dan bahan bangunan bagi masyarakat lokal.

Jika hutan-hutan ini dikonversi menjadi komoditas karbon, maka masyarakat adat akan kehilangan akses terhadap sumber daya alam yang selama ini menjadi tulang punggung kehidupan mereka. Mereka akan dipaksa untuk meninggalkan tanah leluhur mereka dan mencari mata pencaharian baru.