Kredit Karbon, Bentuk Kolonialisme Baru Sekaligus 'Ladang' Korupsi?

By Ade S, Kamis, 12 September 2024 | 18:03 WIB
Kredit karbon: Solusi iklim atau jebakan korupsi? Investigasi tentang bagaimana skema karbon mengancam hutan Afrika dan hak-hak masyarakat adat. (freepik.com/author/vecstock)

Namun, para aktivis lingkungan justru meragukan klaim tersebut. Mereka menilai bahwa kesepakatan ini terlalu kabur dan tidak memiliki rencana yang jelas. Detail mengenai strategi yang akan diterapkan oleh Blue Carbon di atas lahan seluas 8 juta hektar hutan Zambia masih menjadi misteri.

Sementara itu, pemerintah Zambia dan UEA gencar mempromosikan kesepakatan ini sebagai sebuah kemitraan yang menguntungkan kedua belah pihak.

Namun, para pengamat justru melihatnya sebagai ancaman terhadap kekayaan alam Zambia. Hutan-hutan di Zambia memiliki peran yang sangat penting dalam menyerap karbon dioksida, sehingga kesepakatan ini berpotensi mengeksploitasi sumber daya alam yang sangat berharga tersebut.

Lebih jauh lagi, kelompok-kelompok lingkungan yang diwawancarai oleh LifeGate mengungkapkan bahwa mereka sama sekali tidak dilibatkan dalam proses perundingan kesepakatan ini.

Mereka juga tidak mengetahui hutan-hutan mana saja yang akan menjadi target proyek ini. Hal ini semakin menguatkan dugaan bahwa kesepakatan ini lebih menguntungkan pihak-pihak tertentu daripada masyarakat Zambia secara keseluruhan.

Perebutan lahan dan ancaman terhadap masyarakat adat

Alexandra Benjamin, seorang aktivis lingkungan dari NGO Fern yang fokus pada Liberia dan Ghana, menyuarakan keprihatinan mendalam terkait hal ini.

Menurutnya, akuisisi lahan dalam skala besar seperti yang dilakukan oleh Blue Carbon mengancam kelangsungan hidup jutaan masyarakat yang sangat bergantung pada hutan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Pada Konferensi Perubahan Iklim COP28 lalu, Benjamin dengan tegas menyebut kesepakatan-kesepakatan karbon semacam ini sebagai "perebutan lahan". Ia menekankan pentingnya melibatkan masyarakat hutan secara penuh dan memperoleh persetujuan mereka sebelum kesepakatan apa pun ditandatangani.

Di Liberia, berbagai LSM lokal juga turut menyuarakan kekhawatiran yang sama. Mereka mempertanyakan dampak potensial dari perjanjian ini terhadap hak-hak masyarakat adat atas tanah dan hutan.

David Obura, seorang ahli ekologi terkemuka dan kepala IPBES, turut memberikan peringatan. Ia khawatir bahwa proyek-proyek semacam ini akan mengarah pada pembatasan akses masyarakat lokal terhadap sumber daya alam dan mengancam hak-hak mereka.

Baca Juga: Mungkinkah Paris 2024 akan Menjadi Olimpiade Paling Ramah Lingkungan?