Nationalgeographic.co.id - Benarkah agama bisa menjadi solusi atas permasalahan ekologis di Indonesia? Pelbagai agama terbukti menuliskan perintah dan anjuran yang dapat ditafsirkan untuk melestarikan lingkungan, seperti dalam laporan sebelumnya.
Namun, ajaran dan pemeluk agama dapat memiliki pandangan yang berbeda. Hal itu yang diungkap Iim Halimatusa'diyah lewat surveinya bersama rekan-rekan di Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta.
Temuan itu dipresentasikannya di Wednesday Forum "From Belief to Action: Religious Values and Pro-Environmental Behavior in Indonesia" yang diselenggarakan Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) UGM dan Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) pada 4 September 2024.
Para peneliti mengungkap bahwa mayoritas masyarakat di Indonesia meyakini bahwa perubahan iklim disebabkan kerusakan manusia, terutama aktivitas ekonomi. Menariknya, masyarakat beragama Indonesia memiliki pandangan bahwa perubahan iklim adalah hukuman atau azab dari Tuhan atas tindakan manusia.
Lebih lanjut, survei Iim mengungkap tindakan ramah lingkungan masyarakat beragama. Hasilnya, masyarakat beragama yang menjalankan ritual keagamaan cenderung bertindak ramah lingkungan.
"Perilaku yang paling sering dilakukan oleh masyarakat Indonesia adalah perilaku yang bermotif ekonomi seperti menghemat air dan listrik serta perilaku yang tidak memerlukan biaya seperti menegur/mengingatkan orang lain untuk peduli terhadap lingkungan," jelas Iim.
Perilaku bermotif ekonomi ini lebih sering dilakukan oleh generasi muda di Indonesia. Contoh perilaku ramah lingkungan jenis ini seperti menggunakan botol minuman di kedai kopi yang menyediakan potongan harga bagi yang membawa.
Survei itu melaporkan bahwa perilaku yang lebih sering dilakukan adalah "mematikan listrik atau alat elektronik ketika tidak digunakan" sebesar 62.41 persen. Perilaku ini diikuti dengan "menghemat penggunaan air" yang sering dilakukan 51,50 persen dari responden.
Sebaliknya, perilaku yang memerlukan biaya seperti berdonasi dan berpartisipasi secara tenaga untuk kampanye atau menjadi aktivis lingkungan adalah yang lebih sedikit. 78 persen dari responden dalam survei mengaku tidak pernah "menandatangani petisi (tuntutan) terkait isu peduli lingkungan".
"Unik ya, padahal tanda tangan petisi itu tidak mengeluarkan biaya dan tenaga," Iim berpendapat.
Perlu diingat, komitmen beribadah pada masyarakat beragama bukan berarti memiliki pandangan konservatif, Iim menegaskan. Kalangan konservatif menolak penafsiran ulang pandangan ajaran agama dan perubahan.
Baca Juga: Habib Husein Ja'far: Islam Mengajarkan Konservasi Alam Sejak Lama
Survei itu menyebut bahwa umat Islam dengan pandangan konservatif justru cenderung berperilaku kurang ramah lingkungan. "Umat Islam yang berpandangan konservatif cenderung memandang manusia sebagai penguasa alam dan memiliki perilaku ramah lingkungan yang lebih rendah," jelas Iim. "Agama memiliki efek ganda dalam membentuk perilaku ramah lingkungan," tambahnya.
Setiap agama memiliki pandangan ekoteologis, ajaran penafsiran yang memosisikan nilai-nilai hubungan agama dan lingkungan hidup. Dari survei tersebut, 33,52 persen masyarakat muslim memiliki ajaran ekoteologis teosentris, yakni pandangan ekoteologis di mana Tuhan berada posisi paling tinggi di alam semesta.
Pandangan ekosentrisme justru lebih banyak diyakini masyarakat yang berafiliasi dengan "agama lainnya/kepercayaan lokal" sebesar 73,33 persen, diikuti Katolik 48.26 persen. Ekosentrisme adalah filsafat ekoteologis yang memandang bahwa semua makhluk hidup di dunia punya nilai seperti manusia.
Survei ini dilakukan dalam rentang waktu dari 1 Maret hingga 21 April 2024. Iim dan rekan-rekan mengambil sampel survei dari 3.397 responden yang tersebar dari seluruh Indonesia yang dibagi berdasarkan latar belakang agama dan afiliasi organisasi keagamaan, jenis kelamin, tingkat pendidikan, lingkungan tempat tinggal, generasi, besar pendapatan, dan status pekerjaan. Para peneliti juga mewawancarai langsung responden untuk melengkapi hasil survei.
Perilaku ramah lingkungan ini masih terkonsentrasi pada golongan sosial ekonomi menengah ke atas di dalam masyarakat Indonesia. Perilakunya pun masih berhubungan dengan keuntungan ekonomis. Dengan demikian, para peneliti menyarankan, kebijakan harus mendorong perilaku ramah lingkungan yang mempertimbangkan intensif ekonomi.
Para peneliti menawarkan pendekatan baru. Semenjak Indonesia menggiatkan kerukunan antarumat beragama demi meningkatkan toleransi, Iim menyarankan bahwa isu lingkungan bisa masuk dalam kegiatan ini.
"Mayoritas masyarakat Indonesia sepakat untuk bekerja sama dalam menanggapi isu lingkungan dan perbedaan keyakinan bukan menjadi halangan untuk bekerja," ungkap Iim.
Masalahnya, dalam survei membuktikan bahwa 40,33 persen responden mengaku bahwa tidak pernah memiliki kesempatan untuk bekerja sama dalam pelestarian alam dengan penganut agama lain.
Hal ini disebabkan kondisi sosiologis yang membuat masyarakat Indonesia kurang atau bahkan tidak pernah berinteraksi dengan penganut agama lain. Oleh karena itu, para peneliti menyarankan peningkatan ruang pertemuan dan kerja sama lintas agama dalam menanggapi isu lingkungan.