Semangat Warga Wakatobi Merintis Ekowisata Berbasis Tradisi dan Ekologi

By Mahandis Yoanata Thamrin, Rabu, 25 September 2024 | 09:08 WIB
Ulfa Amidatul Fadhila, 11 tahun, berbusana kebaya hekapipi dengan corak puspa lembayung yang dipadukan sarung tenun garis hitam-putih khas Buton di Pantai Hondue, Desa Kollosoha, pesisir barat Pulau Tomia. Ia membawa kulu-kulu, wadah yang terbuat dari anyaman bambu hutan yang dahulu digunakan para leluhur untuk menangkap ikan. Jelang matahari terbenam, ia dan lima kawannya menarikan Hekulu-kulu di pesisir pasir putih yang syahdu. Ekowisata diyakini memberi peluang pada keberlanjutan pelestarian budaya dan alam. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—"Te'e Laganda itu nama air tempat permandian di Desa Balasuna Selatan, yang punya banyak cerita," ujar Elsafitri menjelaskan makna di balik nama komunitas ekowisata yang dikelolanya. "Dulunya di Te'e Laganda ini tempat masyarakat setempat melakukan transaksi jual beli, baik itu menggunakan uang ataupun menggunakan sistem barter."

Ia merupakan Ketua Komunitas Te'e Laganda yang memandu para pejalan dalam paket ekowisata perdana di desanya. Meski sedikit gugup saat menerangkan, perjalanan sore itu sungguh menyenangkan. 

Semua pejalan boleh jadi telah mengenal Kepulauan Wakatobi sebagai salah satu destinasi selam terbaik di dunia. Dunia bawah lautnya laksana nirwana terumbu karang yang memiliki kekayaan pusparagam kehidupan, sekaligus lumbung ikan. Namun, masih sedikit para pejalan yang mengenal Wakatobi karena pusparagam budayanya.

Sejatinya kekayaan ragam kehidupan dan budaya inilah yang menjadikan kepulauan ini sebagai salah satu kawasan yang berpeluang besar dalam pengembangan ekowisata berbasis histori, tradisi, dan ekologi.

Nyong Tomia, Ketua Kelompok Poassa Nuhada di Desa Kulati, Pulau Tomia, sedang menjelaskan kepada para pejalan tentang peninggalan histori desa berupa meriam kuno di kawasan hutan adat mereka. Nyong adalah tokoh pelestari alam dan budaya, yang dahulu pernah berprofesi sebagai nelayan yang mendapatkan ikan dengan bahan peledak. (Adia Puja/Yayasan Konservasi Alam Nusantara)

Atas peluang itulah komunitas muda di empat desa kepulauan ini menggelar uji coba paket wisata pada 18-21 September silam. Komunitas Te'e Laganda dari Desa Balasuna Selatan, Kecamatan Kaledupa;  komunitas Poassa Nuhada dari Desa Kulati, komunitas Tadu Sangia dari Desa Dete, Kecamatan Tomia Timur; dan komunitas One Soea dari Desa Kollo Soha, Kecamatan Tomia. 

Mereka mengajak wisatawan dalam paket wisata mengeksplorasi jejak sejarah dan budaya, yang dikaitkan dengan kearifan leluhur dalam memuliakan alam. Setiap komunitas memiliki keunggulan destinasi, seperti mengunjungi situs budaya Puo Nu Futa di Desa Balasuna Selatan, menjelajahi hutan adat Liang Kuri-Kuri di Desa Kulati, menyaksikan pertunjukan tari Hekulu-Kulu dari Desa Kollo Soha, hingga mengunjungi rumah pembuatan tenun dan kerajinan tangan khas Wakatobi. 

Keterlibatan komunitas desa dalam perencanaan dan pengelolaan ekowisata berpeluang untuk memberdayakan warga dalam mengendalikan sumber daya dan masa depan mereka. Pendekatan partisipatif ini menjanjikan manfaat bahwa suara warga dalam komunitas-komunitas pengelola paket ekowisata memiliki saluran dalam proses pengambilan keputusan.

Para pejalan ekowisata rehat sejenak di bawah naungan pohon ketapang di Pantai Kampa, Tomia Timur. Mereka menyimak penuturan kisah La Taramare, 75 tahun, tokoh masyarakat di Desa Dete. Taramare mengisahkan riwayatnya sebagai pelaut perahu layar, permainan masa kecilnya di Pantai Kampa, dan dongeng tradisi setempat. (Adia Puja/Yayasan Konservasi Alam Nusantara)

“Selain wisata bahari, Wakatobi memiliki potensi wisata sejarah dan budaya yang kaya. Potensi-potensi ini perlu ditonjolkan untuk mendatangkan wisatawan yang berminat kepada wisata yang erat kaitannya dengan masyarakat. Dengan begitu, sejarah dan budaya di setiap daerah di Wakatobi akan lebih dikenal oleh masyarakat luar,” ujar Muhidin, Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Wakatobi, dalam rilis resmi Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN).

Muhidin menambahkan bahwa pariwisata merupakan salah satu sektor penting yang mampu memberikan kontribusi signifikan bagi masyarakat Wakatobi. Maka dari itu, menurutnya, perlu ada pengembangan paket wisata yang inovatif untuk dapat lebih menarik minat wisatawan berkunjung ke Wakatobi.

Baca Juga: Masyarakat Adat Garda Terdepan Kelestarian Taman Nasional Wakatobi

Dalam rilis resmi itu Nyong Tomia selaku Ketua Kelompok Poassa Nuhada, juga mengatakan, “Memperkenalkan jejak sejarah dan budaya melalui pariwisata merupakan salah satu upaya kami sebagai generasi muda untuk melestarikan sejarah dan budaya di daerah masingmasing." Nyong begitu bersemangat memandu wisatawan dalam uji coba ini. Ia menambahkan, "Kami juga melibatkan tokoh-tokoh masyarakat untuk berkisah terkait sejarah, budaya, dongeng, mitos, dan kearifan lokal kepada wisatawan.”

Selain itu, paket wisata yang diuji coba adalah paket “tinggal bersama warga”. Para wisatawan tidak hanya diajak untuk menjelajah lokasi-lokasi wisata, tetapi juga mendapat pengalaman tinggal bersama masyarakat lokal. Hal ini juga merupakan salah satu upaya dari empat komunitas untuk memperkenalkan keunikan manusia dan budaya desa mereka.

“Wisatawan akan menginap di rumah masyarakat, makan bersama dengan menu sehari-hari masyarakat, serta bercengkrama dengan para penduduk di desa," ungkap Jamarudin selaku Ketua Community Based Tourism Tadu Sangia dalam rilis tersebut. "Wisatawan tidak hanya menjelajah lokasi-lokasi wisata, melainkan juga mendapat pengalaman menjadi penduduk di desa setempat.”

Wisata minat khusus yang sedang dirintis empat komunitas itu dipandang memiliki keunggulan daripada wisata massal karena melibatkan kelompok kecil wisatawan dan aktivitas yang lebih ramah lingkungan. Harapannya, bentuk wisata semacam ini mampu mengurangi tekanan pada ekosistem setempat dan membantu menjaga kelestarian alam. Sebaliknya, wisata massal sering kali menyebabkan kerusakan lingkungan karena jumlah wisatawan yang besar dan kecamuk pembangunan infrastruktur besar-besaran. 

Muda-mudi kelompok ekowisata Te'e Laganda di Desa Balasuna Selatan, Kaledupa, mengenakan hasil karya Rumah Tenun Gelanserei. Pada uji coba paket ekowisata, mereka mengajak wisatawan untuk menziarahi Puo Nu Futa atau 'Pusat Bumi'—sebuah pohon asam jawa sebagai penanda jejak permukiman pertama di Bukit Tapa'a. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Aktivitas ekowisata memiliki kekuatan untuk mempromosikan pelestarian habitat alami dan keanekaragaman hayati. Pun pengembangan ekowisata berpeluang menghasilkan dana yang dapat diinvestasikan kembali ke dalam upaya konservasi, seperti perlindungan spesies yang terancam punah, memelihara taman nasional, dan memulihkan ekosistem. Selain itu ekowisata mendorong pelestarian budaya dengan menarik wisatawan yang berminat pada pengalaman budaya otentik sehingga memberikan dorongan bagi komunitas ekowisata untuk mempertahankan tradisi, seni, dan kerajinan mereka.

Yayasan Konservasi Alam Nusantara menggulirkan program Aksi Inspiratif Warga untuk Perubahan (SIGAP) di Wakatobi. Program ini bermitra dengan Balai Taman Nasional Wakatobi untuk mendampingi komunitas dari beberapa desa yang memiliki potensi atau peluang wisata. Sederet upaya program ini untuk mendukung komunitas seperti penguatan kelembagaan, penyusunan kode etik, pengadaan papan informasi dan sebagian peralatan pemandu, serta pengembangan paket wisata.

“Masyarakat pesisir di wilayah Wakatobi didampingi melalui kegiatan peningkatan kapasitas manajemen organisasi, terutama untuk meningkatkan penghidupan dengan prinsip-prinsip berkelanjutan. Salah satunya melalui sektor pariwisata yang berwawasan lingkungan atau ekowisata,” ungkap La Ode Arifudin selaku Koordinator Program Wakatobi YKAN dalam rilis tersebut.

Arifudin, yang lahir dan tumbuh di Kepulauan Wakatobi, mengungkapkan bahwa melalui ekowisata, para kelompok dampingan menekankan konsep pariwisata yang berlandaskan pada peningkatan kualitas hidup masyarakat setempat dan menjaga kualitas lingkungan. Maka dari itu, paket “tinggal bersama warga” yang ditawarkan setiap kelompok wisata itu mencakup unsur sejarah dan budaya, sosial, konservasi, pendidikan, dan bentang alam.

Anak-anak perempuan Desa Kollo Soha sedang membawakan tarian Hekulu-kulu jelang terbenamnya matahari di Pantai Hondue, pesisir barat Pulau Tomia. (Adia Puja/Yayasan Konservasi Alam Nusantara)

“Para kelompok dampingan sudah sadar bahwa kegiatan ekowisata yang mereka tawarkan harus memiliki nilai-nilai moral dan tanggung jawab yang tinggi terhadap objek wisatanya," ungkap Arifudin, "baik dari sisi kelestarian lingkungan maupun sosial dan budaya masyarakat setempat." 

"Alhamdulillah kami melaksanakan paket wisata perdana kami dan berjalan dengan lancar, meskipun pesimis pada awalnya," ujar Elsafitri, Ketua Kelompok Te'e Laganda dari Balasuna Selatan, Kecamatan Kaledupa.

Ia mengungkapkan harapannya untuk upaya pengembangan ekowisata di desa kelahirannya. "Semoga kelompok wisata Te'e Laganda ini dapat mengelola dan mengembangkan lagi wisatanya untuk jangka panjang yang lama dan tidak terputus-putus—berkelanjutan. Dan, saya berharap semoga kami sebagai pengelola juga dapat konsisten dan tidak patah semangat atau putus asa di tengah jalan."

Ketika kisah ini terbit, Elsafitri sedang mengikuti upacara wisudanya sebagai sarjana terapan pariwisata di Sekolah Tinggi Pariwisata Sahid Surakarta. Selamat kembali ke kampung halaman untuk mengembangkan ekowisata unggulan di Wakatobi!