Nationalgeographic.co.id—Sekitar tahun 1000 SM, penjajah Athena berlayar menyeberangi Laut Aegea dan menetap di pesisir. Pesisir itu kini dikenal sebagai Efesus di Turki modern. Penjajah itu memperkenalkan pemujaan terhadap Artemis—dewi perburuan, binatang buas, kesucian, dan persalinan. Maka untuk menghormati sang dewi, mereka membangun sebuah kuil besar.
Menurut sejarawan Herodotus, kuil itu dibangun selama lebih dari satu abad dan dengan cepat dikenal sebagai keajaiban dunia kuno. Diberi nama Artemisium, kuil ini merupakan salah satu kuil Yunani kuno pertama yang seluruhnya terbuat dari batu.
Artemisium memiliki panjang 131 m dan lebar 79 m. Bukti arkeologi menunjukkan kuil ini dibangun di dataran tinggi, sehingga tahan terhadap banjir dan gempa bumi. Catatan yang disimpan oleh filsuf Romawi Pliny the Elder menyebutkan bahwa terdapat 127 kolom, masing-masing setinggi 20 m.
Beberapa patung Artemis yang sangat besar melengkapi struktur kuil. Kini, Artemisium lebih dikenal bukan karena konstruksinya yang sangat detail. Di era modern, Artemisium dikenal karena pembongkarannya yang memalukan pada tahun 356 SM. Alih-alih hancur karena bencana alam, Artemisium justru dihancurkan oleh Herostratus.
Damnatio memoriae
Hanya sedikit yang diketahui tentang Herostratus. Para sejarawan menduga bahwa ia memiliki status sosial yang rendah, entah itu putra seorang budak atau mantan budak. Penyair Rusia, Semyon Nadson, memberikan analisis terbaik tentang pembakar itu. Herostratus melakukan kejahatan yang tidak terpikirkan ini karena ia mencari kleos: aib, ketenaran.
Herostratus mungkin terdorong oleh kenyataan bahwa ia hanyalah "belatung yang diinjak-injak oleh takdir, di tengah gerombolan yang tak terhitung jumlahnya. Dan bahwa menghancurkan Kuil Artemis adalah satu-satunya cara baginya untuk meninggalkan jejaknya dalam sejarah.
Penguasa Efesus tidak merasa bahwa hukuman mati sepadan dengan beratnya kejahatan. Ada cara lain untuk benar-benar menghukum penjahat yang mencari ketenaran itu. Maka diputuskan bahwa — selain hukuman mati — Herostratus akan dijatuhi hukuman damnatio memoriae.
Damnatio memoriae berarti bahwa sejak saat itu namanya dilarang disebutkan baik dalam percakapan maupun dalam tulisan. Damnatio memoriae merupakan praktik umum pada zaman kuno klasik.
Ironisnya, damnatio memoriae sering kali memiliki efek sebaliknya, melestarikan ingatan seseorang alih-alih menghapusnya. Bahkan kini, Herostratus jauh lebih terkenal daripada pembangun kuil yang berbakat. Meskipun diabaikan oleh para sejarawan dari kota kelahirannya, warisannya tetap bertahan berkat Theopompus.
Baca Juga: The Haunting of Athenodorus, Kisah Hantu Pertama Zaman Yunani Kuno
Theopompus adalah sejarawan dari Pulau Chios yang tidak berada di bawah yurisdiksi Efesus. Dalam upayanya untuk mencatat peristiwa seakurat mungkin, ia menyebutkan nama penghancur Kuil Artemis dalam biografi Raja Philip II, Philippica.
Informasi yang diberikan oleh Theopompus kemudian dimasukkan ke dalam catatan ahli geografi Yunani Strabo. Juga catatan para sejarawan Romawi Plutarch, Valerius Maximus, dan Gellius.
Sindrom Herostratus di dunia modern
Kenangan Herostratus tidak hanya tersimpan dalam sejarah, tetapi juga dalam seni, sastra, dan filsafat. Dalam bukunya Hydriotaphia (1658), seorang ahli ilmu pengetahuan Inggris Thomas Browne mencatat ironi puitis dari kejahatan dan motifnya.
Ironi yang sama telah dieksploitasi oleh penulis Don Quixote Miguel de Cervantes, Geoffrey Chaucer, dan bahkan sutradara Andrei Tarkovsky dalam filmnya Stalker. Eksistensialis Prancis Jean-Paul Sartre menghasilkan penghormatan yang sangat rinci kepada Herostratus dengan cerita pendek eponim.
Matthew Fraser, penulis Monumental Fury: The History of Iconoclasm and the Future of Our Past, mengungkapkan pendapatnya. Menurutnya, pelaku beralih ke kekerasan untuk membuat klaim putus asa atas identitas pribadi.
Etnolog Pierre Centlivres menghubungkan pembakaran Kuil Artemis dengan penghancuran arsitektur dan artefak Buddha kuno di Afghanistan. “Keduanya merupakan serangan terhadap kesalehan dan keindahan, pelanggaran agama dan penghinaan terhadap monumen seni,” katanya.
Munculnya pelaku-pelaku penghancuran yang meniru jejak Herostratus ini disebut sebagai sindrom Herostratus. Didefinisikan oleh para sarjana Jean-Paul Azam dan Mario Ferrero sebagai yang memengaruhi orang-orang yang melakukan serangan keji demi keburukan.
Sekilas, sepertinya Herostratus tertawa terakhir. Namun, bukan itu masalahnya. Meskipun ia mendapatkan tempat kecil dalam buku-buku sejarah, apa yang ia lakukan—bukan siapa dirinya—yang kita ingat.
Penghancuran Kuil Artemis oleh Herostratus telah dipelajari berulang-ulang. Namun kita masih hampir tidak tahu apa pun tentang hidupnya sebelum malam yang menentukan itu. Dengan demikian, bahkan motivasinya tetap menjadi produk spekulasi sepanjang masa.