Penghinaan yang Mendorong Genghis Khan untuk Menghancurkan Khwarazmia

By Sysilia Tanhati, Minggu, 29 September 2024 | 15:25 WIB
Percikan kecil seperti penghinaan terkadang bisa memicu perang. Hal ini dialami oleh Genghis Khan dan Kekaisaran Khwarazmia. (Public Domain)

Nationalgeographic.co.id—Percikan kecil seperti penghinaan terkadang bisa memicu perang. Hal ini dialami oleh Genghis Khan, pemimpin Mongol yang menyatukan suku-suku di Asia Tengah. Ia dikenang karena membentuk salah satu kekaisaran terbesar dalam sejarah. Konon, penghinaan yang diterimanya menjadi alasan untuk memusnahkan Kekaisaran Khwarazmia.

Pada awal abad ke-13, Genghis Khan berusaha membangun hubungan dagang yang damai dengan Kekaisaran Khwarazmia. Wilayah Khwarazmia mencakup sebagian besar wilayah Iran, Uzbekistan, dan Turkmenistan saat ini. Kekaisaran Khwarazmia diperintah oleh Shah Ala ad-Din Muhammad II.

Pada tahun 1218, Genghis Khan mengirim karavan pedagang ke Otrar di Khwarazmia untuk melakukan perdagangan. Namun, gubernur Otrar, Inalchuq (Ghiyas ad-Din), menuduh pedagang tersebut sebagai mata-mata dan memerintahkan penangkapan mereka. Meskipun ada protes, gubernur tersebut memerintahkan seluruh pedagang utusan Genghis Khan untuk dieksekusi.

Ada satu orang yang selamat dan berhasil melarikan diri. Pedagang yang beruntung itu pun menyampaikan berita pembantaian tersebut kepada Genghis Khan.

Marah karena perlakuan tidak adil terhadap para pedagangnya, Genghis Khan mengirim misi diplomatik kepada Shah Khwarazmia, Muhammad II. Penguasa Mongol tersebut menuntut ganti rugi atas insiden yang terjadi. Ia menuntut agar gubernur Otrar dihukum atas tindakannya dan agar ganti rugi diberikan atas hilangnya nyawa dan harta benda.

Tidak hanya menolak untuk memenuhi tuntutan Genghis Khan, Muhammad II bahkan menambah penghinaan lebih lanjut. Ia memenggal kepala utusan utama misi diplomatik dan mengirim kepala itu kembali ke bangsa Mongol.

“Tindakannya itu berakibat fatal,” tulis Tim Brinkhof di laman Big Think. Bangsa Mongol menyerbu Kekaisaran Khwarazmia pada tahun 1219. Dalam waktu 2 tahun, pasukan Mongol melenyapkan kekaisaran tersebut melalui serangan yang brutal. Serangan Mongol menewaskan jutaan orang, banyak di antaranya adalah wanita dan anak-anak.

Sarjana Persia abad ke-13 Ata-Malek Juvayni menulis bahwa 50.000 tentara Mongol masing-masing diperintahkan untuk membunuh 24 warga Gurganj. Gurganj adalah sebuah kota di Kekaisaran Khwarazmia. Namun tidak jelas apakah kisah ini nyata atau dilebih-lebihkan.

Mitos atau kenyataan yang kejam?

Ada banyak bukti sejarah tentang invasi Mongol ke Khwarazmia dan kebrutalannya. Namun banyak pertanyaan tentang bagaimana tepatnya konflik ini dimulai. Lagi pula, ada banyak legenda dan cerita yang dibesar-besarkan seputar Genghis Khan.

Misalnya kisah Genghis, yang lahir dengan nama Temujin, membunuh saudara tirinya karena dia tidak mau berbagi makanannya. Juga tentang Genghis Khan mengubah seorang pemanah musuh yang menembaknya dalam pertempuran menjadi salah satu jenderalnya sendiri.

Baca Juga: Badai Panah, Strategi Perang Genghis Khan yang Hampir Mustahil Digagalkan

Seberapa akuratkah semua anekdot ini? Para sejarawan tidak selalu yakin. Tidak semua sumber yang menggambarkan sejarah penaklukan Mongol itu masih hidup hingga kini. Dan jika menyangkut sumber-sumber yang masih ada, penting untuk mempertimbangkan apakah penulisnya berperang bersama bangsa Mongol atau justru menjadi musuh Mongol.

Banyak catatan, termasuk yang merinci kehidupan dan kematian Genghis sendiri, dibuat bertahun-tahun setelah kejadian. Maka tidak heran jika catatan sejarah tersebut rentan terhadap rumor dan revisi.

Setelah diteliti lebih dekat, penghancuran Khwarazmia tampaknya memang terjadi. Namun, beberapa pertanyaan tetap tidak terjawab. Misalnya, kita tidak tahu mengapa bangsa Khwarazmia memilih untuk bertarung dengan penakluk yang paling menakutkan di masa itu. Mungkin mereka meremehkan bangsa Mongol. Mungkin mereka melebih-lebihkan diri mereka sendiri. Mungkin mereka ingin melakukan perlawanan terakhir selagi masih bisa.

Insiden Utrar

Menurut Nicholas Morton, profesor Universitas Nottingham Trent, invasi Mongol ke Khwarazmia pada 1219 dimulai ketika kafilah tiba di Utrar. Kota ini terletak di Kazakhstan modern. Kafilah dikirim untuk berdagang dengan penduduk setempat.

Entah mengapa, gubernur Utrar, Inalchuq, menangkap para pedagang. Sang gubernur bertanya kepada atasannya, Sultan Khwarazmia Ala ad-Din Muhammad II, apa yang harus dilakukannya terhadap mereka.

Muhammad memerintahkan Inalchuq untuk membunuh orang-orang Mongol dan dia pun melakukannya. Ketika Genghis menerima berita itu, dia langsung mengirim utusan kepada Muhammad untuk meminta penjelasan. Alih-alih memberikan penjelasan, Muhammad malah mengeksekusi utusan itu.

Muhammad juga mempermalukan utusan dengan memotong jenggot mereka, yang merupakan simbol kejantanan dan kekuatan dalam budaya Mongol. Kali ini Genghis tidak mengirim utusan, tetapi pasukan. Utrar dikepung dan Inalchuq dibunuh dengan menuangkan logam cair ke dalam mulut, mata, dan telinganya.

Bangsa Mongol menggunakan sejumlah metode brutal untuk menghukum musuh-musuh mereka. Di Rusia, mereka mencekik tawanan perang dengan mengubur mereka di bawah panggung kayu dan mengadakan pesta kemenangan di atas panggung.

Namun menyiram seseorang dengan logam panas bukanlah bagian dari modus operandi mereka yang biasa. Hal ini membuat orang bertanya-tanya mengapa mereka memilih untuk mengakhiri Inalchuq dengan cara ini. Mungkin mereka ingin mengejek keserakahannya. Mungkin mereka ingin mengejek adat istiadat rakyatnya.

Jenderal Romawi Marcus Crassus diyakini telah tewas dengan cara ini di tangan bangsa Parthia. Parthia menduduki wilaya Afghanistan sebelum Khwarazmia. Hal yang sama berlaku untuk Kaisar Romawi Valerian, yang juga ditawan di wilayah tersebut.

Setelah Utrar jatuh, seluruh wilayah Khwarazmia pun mengikutinya. Invasi Mongol ke Khwarazmia menetapkan standar yang sama sekali baru. Perkiraan konservatif menyebutkan jumlah korban tewas antara 2 dan 15 juta orang.

Beberapa orang mengeklaim bahwa Sultan Muhammad dikejar-kejar di seluruh wilayah kekaisarannya yang sedang runtuh. Ia akhirnya meninggal di sebuah pulau kecil di Laut Kaspia sementara tentara Genghis mengepungnya, tetapi ini hanya sebagian benar. Sultan memang berlindung di laut.

Peter Jackson, penulis The Mongols and the Islamic World: From Conquest to Conversion, menulis tentang hal ini. Menurutnya, Mongol tidak dapat dikatakan telah 'mendekati' Sultan Muhammad saat itu. Bangsa Mongol sebenarnya telah luput darinya dan masih bergerak lebih jauh ke arah barat.

Mengapa Muhammad dan Inalchuq berani melawan Mongol?

Ada satu pertanyaan yang belum terjawab. Sumber-sumber sejarah gagal menjelaskan mengapa Muhammad berpikir bahwa memusuhi bangsa Mongol yang kuat adalah ide yang bagus.

Ketika kafilah tiba, Genghis Khan sudah memiliki reputasi sebagai seseorang yang tidak ingin diganggu oleh siapa pun yang waras. Ia telah menaklukkan Tiongkok utara dan Zhongdu pada 1215, diikuti oleh Qara Khitai pada 1218.

Mengingat bahwa Qara Khitai berbatasan dengan Kekaisaran Khwarazmia, orang akan mengira Muhammad akan sangat berhati-hati di sekitar Genghis. Sampai batas tertentu, tampaknya memang demikian.

Seperti yang ditunjukkan Morton dalam pengantar The Mongol Storm, Sultan Muhamad menghentikan invasi besar yang dilancarkan di Barat Daya terhadap Abbasiyah. Keputusan tersebut diduga didorong oleh meningkatnya kehadiran Mongol di Timur Laut.

Peristiwa Utrar menjadi semakin membingungkan jika Anda mempertimbangkan bahwa bangsa Mongol mungkin tidak berminat menaklukkan Khwarazmia sebelumnya. Menurut buku Morton, kafilah dagang itu telah datang jauh-jauh ke Utrar untuk menukar emas dan berang-berang dengan kain Khwarazmia. Kain Khwarazmia disukai oleh Genghis Khan.

Memancing pertarungan dengan Genghis Khan

Kita hanya bisa menebak mengapa Muhammad merasa perlu untuk bertarung dengan Genghis Khan. Ada kemungkinan bahwa seorang pedagang India yang menyertai kafilah itu telah menghina Inalchuq. Teori ini bukanlah hal yang tidak masuk akal, meskipun tidak menjelaskan mengapa gubernur juga menangkap para pedagang Mongol.

Mungkin keserakahanlah yang memotivasi orang-orang Khwarazmia, meskipun ini juga tidak mungkin. Utrar adalah kota besar di Jalur Sutra dan karavan pedagang besar merupakan pemandangan umum. Jadi Inalchuq mungkin ingin memangsa para pedagang yang melewati gerbang kota.

Penjelasan yang paling meyakinkan adalah bahwa Inalchuq menangkap para pedagang Mongolia karena ia mengira mereka adalah mata-mata. Sultan, tulis Morton, mungkin memandang perang dengan bangsa Mongol yang berkembang pesat sebagai sesuatu yang tak terelakkan. Oleh karena itu, ia mungkin telah memilih untuk bertindak tegas atas dugaan bahwa bangsa Mongol sedang memata-matai.

Bangsa Mongol bergerak ke segala arah dan bahwa cepat atau lambat, melalui perang atau damai. Dengan pergerakan itu, Bangsa Khwarazmia akan dipaksa untuk tunduk pada kekuasaan Genghis Khan. Dengan menolak menerima nasibnya, Muhammad II membuka pintu yang memungkinkan Genghis Khan berbaris menuju Timur Dekat dan kemudian Eropa. Namun, itu cerita lain.