Sejarah Dunia: Ketika Suara Menjadi Senjata Andalan di Medan Tempur

By Sysilia Tanhati, Minggu, 29 September 2024 | 17:50 WIB
Mulai dari suara hewan alami hingga perangkat sonik canggih saat ini, suara menjadi senjata andalan di medan tempur. (British Library)

Nationalgeographic.co.id—Selama berabad-abad manusia menemukan banyak cara untuk memanfaatkan suara dalam peperangan. Hiruk pikuk seakan pertempuran belum cukup mengerikan. Penggunaan suara dalam perang telah berkembang selama ribuan tahun sepanjang sejarah dunia. Mulai dari suara alami hewan hingga perangkat sonik canggih saat ini, suara menjadi senjata andalan di medan tempur.

Suara untuk memancing “tarian” di tengah pertempuran

Pada zaman kuno, kuda kavaleri dilatih untuk tahan terhadap musik pipa yang menusuk. Namun, ada cara lain untuk melawan musik itu.

Pada abad ketujuh SM, suku Kardia dari Thrace terkenal dengan kavalerinya. Untuk hiburan, para prajurit berkuda mengajari kuda mereka menari mengikuti alunan pipa. Sambil berdiri tegak dan mencakar udara, kuda-kuda mengikuti alunan musik yang meriah.

Ditangkap saat masih kecil dari Bisaltia di timur laut Yunani, seorang tahanan bernama Naris mendengar tentang kuda-kuda penari yang mengagumkan itu. Penulis Yunani kuno Athenaeus menuturkan bahwa Naris melarikan diri, kembali ke Bisaltia. Ia pun bersiap untuk berperang melawan Kardia.

Naris memiliki senjata rahasia: seorang gadis peniup seruling yang juga melarikan diri dari Kardia. Gadis itu mengajarkan lagu-lagu dari pesta-pesta Kardia kepada para prajurit Bisaltia. Naris memimpin pasukannya untuk melawan kavaleri Kardia. Ia memberi isyarat kepada para peniup serulingnya untuk bermain.

Sambil menajamkan telinga mereka dengan alunan lagu-lagu yang sudah dikenal, kuda-kuda Kardia berdiri tegak untuk menari. “Kuda-kuda itu pun menjatuhkan para penunggangnya,” tulis Adrienne Mayor di laman Big Think. Di tengah kekacauan itu, para Bisaltia menghancurkan para Kardia.

Ketika jeritan meneror tank-tank hidup

Para prajurit kavaleri zaman kuno klasik membiasakan kuda-kuda mereka dengan benturan senjata perunggu. Namun pada abad keempat SM, para penerus Aleksander Agung membawa gajah perang dari India. Suara gajah yang menggelegar membuat kuda-kuda menjadi heboh.

Aleksander belajar dari Raja Porus selama serangan militernya di India pada tahun 326 SM. Dari sang raja, ia mengetahui bahwa gajah memiliki pendengaran yang sensitif dan penglihatan yang buruk. Hal ini membuat gajah tidak suka dengan suara keras dan sumbang yang tidak terduga.

Ketika pengintai Aleksander melaporkan bahwa gajah mendekat, Porus menyarankan para penunggang kuda Aleksander untuk membawa babi dan terompet. Mereka berkuda untuk menyambut gajah-gajah itu. Suara melengking babi yang dipadukan dengan terompet yang memekakkan telinga membuat gajah-gajah melarikan diri.

Baca Juga: Plumbata: Anak Panah yang Jadi Senjata Mematikan di Kekaisaran Romawi

Pada tahun 280 SM, orang Romawi pertama kali bertemu dengan gajah perang. Gajah-gajah itu dibawa ke Italia oleh Raja Yunani Pyrrhus. Para penunggang gajah menciptakan keributan yang memekakkan telinga dengan genderang dan tombak yang berdenting. Tindakan itu menyebabkan orang Romawi dan kuda-kudanya panik.

Tetapi orang Romawi memperhatikan bahwa gajah-gajah Pyrrhus menjadi gelisah oleh jeritan babi yang melengking. Seperti Aleksander, orang Romawi mengerahkan babi untuk menangkis gajah-gajah milik Pyrrhus. Cara tersebut menyebabkan kerugian besar bagi Pyrrhus.

Kemudian, pada tahun 202 SM, tiupan terompet perang Romawi membuat panik gajah perang jenderal Kartago Hannibal. Terompet itu pun berhasil mengakhiri Perang Punisia Kedua.

Seruan perang dan senjata yang meraung-raung

Seruan perang yang mengerikan adalah cara umum untuk menakut-nakuti musuh. Nyanyian perang Maori, seruan perang Jepang “Banzai!” (Hidup Kaisar), “Vur Ha!” (Serangan) dari Ottoman, dan “Desperta Ferro!” (Bangunkan Besi) dari Spanyol.

Di zaman kuno, prajurit Yunani meneriakkan “Alala!” sambil memukulkan pedang pada perisai perunggu. Teriakan itu mirip dengan suara burung hantu atau kawanan burung raksasa yang menjerit-jerit.

Sejarawan Romawi Tacitus menggambarkan efek mengerikan dari barritus, seruan perang suku-suku Jermanik. Bangsa Jerman merancang teknik sederhana untuk memanfaatkan barritus, yang dimulai sebagai gumaman pelan. Nyanyian itu berubah menjadi raungan. Kemudian meningkat menjadi crescendo yang bergema saat para prajurit mengangkat perisai mereka di depan mulut untuk memperkuat suara gemuruh.

Penemuan teknologi lainnya adalah karnyx, terompet perang bangsa Celtic. Bangsa Romawi terpesona oleh suara-suara menakutkan yang menggetarkan tulang belakang. Suara itu dihasilkan oleh tabung perunggu panjang dengan lonceng lebar yang berbentuk seperti rahang menganga.

Nada terompet yang keras dan suram “cocok untuk kegaduhan perang,” tulis Diodorus Siculus. Kemudian, pasukan Romawi sendiri menggunakan karnyx.

Teknologi suara militer awal lainnya adalah anak panah yang menghasilkan suara yang menakutkan. Anak panah “bersiul” atau “berteriak” (shaojian) yang dibuat oleh para pemanah berkuda di padang rumput. Suara ini dideskripsikan oleh penulis sejarah Tiongkok Sima Qian sekitar tahun 100 SM.

Sebuah ruang suara kecil berlubang dari tulang atau kayu - peluit - dipasang pada poros di belakang mata panah. Dalam pertempuran, suara melengking dari ribuan anak panah yang bersiul membuat musuh dan kuda mereka ketakutan. Anak panah yang menjerit telah ditemukan dari situs arkeologi di Asia Tengah.

Banyak teknologi lain untuk menghasilkan ledakan dahsyat untuk membingungkan dan menakut-nakuti musuh. Alat peledak ini menggunakan bubuk mesiu, yang ditemukan di Tiongkok sekitar tahun 850 M. “Mesiu kemudian mencapai Eropa sekitar tahun 1250,” tambah Mayor.

Senjata suara di era modern

Musik digunakan selama Perang Dunia II untuk menimbulkan stres dan kecemasan. Tentara Soviet memainkan tango Argentina melalui pengeras suara sepanjang malam untuk membuat tentara Jerman tetap terjaga. Tim pengeras suara AS memutar musik rock yang memekakkan telinga. Musik itu diputar siang dan malam selama pengepungan AS terhadap Jenderal Panama Manuel Noriega pada tahun 1989.

Pada tahun 2000-an, Amerika kembali menggunakan musik yang menjengkelkan dan tak henti-hentinya di Irak dan Afghanistan.

Perkembangan energi suara yang dijadikan senjata baru-baru ini lebih tidak menyenangkan. “Sering kali ditujukan untuk pengendalian massa sipil,” ujar Mayor.

Ilmuwan militer di Amerika Serikat, Israel, Tiongkok, dan Rusia mengungkap persenjataan frekuensi tinggi dan rendah. Suara itu “tidak mematikan” dengan desibel tinggi dan berdenyut yang dirancang untuk menyerang indera.

Contohnya termasuk perangkat akustik magnetik genggam atau yang dipasang di tank, meriam getaran sonik, dan perangkat akustik jarak jauh. Perangkat ini pertama kali digunakan oleh pasukan AS di Irak pada tahun 2004. Kemudian oleh polisi terhadap protes warga di New York dan Missouri.

Pemancar gelombang suara tidak hanya berbahaya secara psikologis. Senjata ini dapat menyebabkan rasa sakit dan pusing, luka bakar, dan kerusakan permanen pada telinga bagian dalam. Serta kemungkinan cedera neurologis dan internal.

Sejak jaman dahulu, kreativitas manusia dalam menggunakan suara yang dahsyat untuk membingungkan dan mengalahkan musuh berkembang. Awalnya digunakan untuk mengintimidasi sampai akhirnya digunakan untuk menimbulkan cedera fisik.