Prometheus memberikan pengaruh kuat pada Goethe sebagai seniman, hingga ia berkata: “Dongeng Prometheus hidup dalam diriku.” Goethe merasa Prometheus memberikannya kekuatan di tegah rasa keterasingannya dari estetika sastra, agama, dan politik.
Khususnya, penciptaan umat manusia oleh Prometheus yang membantu Goethe menjelajahi kemungkinan dan batasan proses kreativitas berkarya.
Meskipun Prometheus meresap dalam semua karya-karya Goethe, ada yang paling menonjol yakni dalam himne free-verse untuk Prometheus (1773).
Puisi tersebut mencemooh kekuatan Jupiter dan, sebagai gantinya, memuji kreativitas manusia. Puisi itu disusun sebagai dialog antara Prometheus dan Jupiter, tapi Jupiter sama sekali tak berbicara. Absennya suara Jupiter ini menunjukkan bahwa sang dewa memang tidak punya belas kasihan terhadap umat manusia.
Satu-satunya suara dalam puisi itu adalah suara Prometheus yang menantang dalam kesepian terhadap para dewa:
"Aku harus menyembahmu? Untuk apa?
Pernahkah kau meringankan derita umat manusia yang tertekan?
Pernahkah kau menenangkan tangisan manusia yang ketakutan?"
Prometheus meremehkan otoritas dewa yang tak pernah hadir utuk manusia dan menekankan penderitaan manusia yang begitu mendalam karena Jupiter tak punya belas kasihan.
Dengan cara ini, Goethe menampilkan ketegasan Prometheus dalam peperangan antara dewa dan manusia demi kepentingan manusia.
Seperti yang diargumenkan Carl Kerenyi, Prometheus di sini digambarkan sebagai "prototipe manusia yang tegas dan menerima nasibnya tanpa tunduk atau menyerah."
Baca Juga: Politik Identitas Athena Abad ke-5 'Dicampuri' Mitos Prometheus
Sementara para dewa tak peduli terhadap penderitaan manusia, Prometheus telah memodelkan keberadaan manusia berdasarkan dirinya sendiri. Puisi tersebut diakhiri dengan:
"Di sini aku duduk, menciptakan manusia seperti dalam anganku,
Suatu ras yang serupa denganku: Untuk menderita, untuk menangis,
Untuk merasa, untuk berbahagia – dan tak pernah mengindahkanmu, Seperti aku!"
Prometheus versi Goethe yang menantang para dewa menjadi cikal bakal umat manusia yang juga suka memberontak. Seperti Faust versi Goethe, Prometheus tidak gentar diabaikan oleh para dewa, melainkan merangkul keadaan ini, karena memiliki kekuatan untuk mencipta seperti dalam angannya.
Prometheus mengekspresikan kekuatan kreatif ilahi yang melekat pada manusia, puisi ini disebut oleh seorang kritikus sebagai "teks paling egosentris dalam sejarah sastra Jerman." Tak hanya puisinya, sosok Goethe sendiri dengan kejeniusannya berpuisi mampu menciptakan dirinya sendiri melalui puisinya.
Melalui Prometheus, manusia, dan tentu saja Goethe sendiri, dapat mengambil bagian dalam proses kreatif – dan itulah, mungkin, tindakan pemberontakan yang tertinggi.