Dewa hujan, misalnya, menggunakannya seperti kapak, menciptakan percikan pada benih untuk pertanian. Para dukun memanggilnya, tetapi sebagian besar karena mereka percaya ia dapat membantu mereka berkomunikasi dengan makhluk lain dari dunia lain.
Para penguasa bahkan membawa tongkat kerajaan yang dibuat menurut gambarnya selama tarian dan prosesi.
Selain itu, seniman Maya selalu menganggap K'awiil melakukan sesuatu atau digunakan untuk membuat sesuatu terjadi. Mereka percaya bahwa kekuatan adalah sesuatu yang Anda lakukan, bukan sesuatu yang Anda miliki. Seperti sambaran petir, kekuatan selalu berubah, selalu bergerak.
Dunia yang Saling Bergantung
Oleh karena itu, suku Maya kuno menganggap bahwa realitas tidak statis, tetapi terus berubah. Tidak ada batasan ketat antara ruang dan waktu, kekuatan alam, atau dunia yang bernyawa dan yang tidak bernyawa.
Segala sesuatu bersifat lentur dan saling bergantung. Secara teoritis, apa pun bisa menjadi apa pun yang lain dan segala sesuatu berpotensi menjadi makhluk hidup.
Para penguasa dapat mengubah diri mereka menjadi dewa secara ritual. Patung-patung dapat dibacok hingga mati. Bahkan fitur-fitur alam seperti gunung diyakini hidup.
Gagasan-gagasan ini – yang umum dalam masyarakat panteisme – masih ada hingga saat ini di beberapa komunitas di Amerika.
Namun, gagasan-gagasan ini pernah menjadi arus utama dan menjadi bagian dari agama K'iche’ 1.000 tahun kemudian, pada masa Huracan. Salah satu pelajaran dari Popol Vuh adalah bahwa persepsi manusia terhadap realitas adalah ilusi.
Ilusi tersebut bukanlah bahwa berbagai hal berbeda itu ada. Melainkan bahwa mereka ada secara independen satu sama lain. Dalam hal ini, Huracan telah merusak dirinya sendiri dengan merusak ciptaannya.
Musim badai setiap tahun seharusnya mengingatkan kita bahwa manusia tidak lepas dari alam, tetapi merupakan bagian darinya. Dan seperti Huracan, ketika kita merusak alam, kita merusak diri kita sendiri.