Penemuan Prasasti Behistun
Orang pertama yang melakukan upaya besar untuk memahami Prasasti Behistun adalah Rawlinson pada tahun 1835. Saat itu ia sedang bertugas di Iran bersama pasukan Perusahaan Hindia Timur Britania.
Darius I menjelaskan bahwa ia ingin orang-orang membaca kata-katanya. Karena itu, ia meletakkannya di jalan yang sering dilalui antara Babilonia dan Ekbatana (dua pusat administrasi utama kekaisaran).
Namun, Darius I meletakkan prasasti itu begitu tinggi di tebing sehingga tidak seorang pun di jalan tersebut dapat membaca prasasti. Orang bahkan mengalami kesulitan untuk melihat gambarnya dengan jelas.
Selanjutnya, setelah prasasti selesai, Darius I meminta agar langkan tempat para pekerja berdiri disingkirkan. Karena itu, tidak seorang pun dapat mendekat untuk merusak prasasti tersebut. Namun, penyingkiran langkan juga berarti tidak seorang pun dapat mendekat untuk membacanya.
Untuk menyalin prasasti tersebut, Rawlinson meminta bantuan seorang pemuda setempat. Mereka mengangkat dan meletakkan papan-papan di permukaan tebing sehingga Rawlinson dapat menuliskan teks Persia Kuno. Ia kemudian mulai menerjemahkannya.
Pada tahun 1843 M, Rawlinson kembali dan berhasil menyalin prasasti Elam dan Akkadia, lagi-lagi dengan bantuan seorang pemuda setempat. Ia menggunakan tali yang menggantungnya di tebing.
Prasasti Behistun dengan demikian menjadi, bagi para orientalis dan Assyriolog, seperti halnya Batu Rosetta bagi para Egyptologist. Prasasti Behistun mengungkap bahasa-bahasa peradaban Timur Dekat kuno.
Penemuan ini mengikuti karya George Smith yang sebelumnya telah menerjemahkan aksara paku Mesopotamia. Dan ketika kedua penemuan ini digabungkan, maka keduanya membuka budaya-budaya Timur Dekat yang mengesankan bagi dunia modern.