Prasasti Behistun: Pesan Darius I bagi Kekaisaran Persia dan Dunia

By Sysilia Tanhati, Minggu, 6 Oktober 2024 | 10:00 WIB
Prasasti Behistun terletak di Gunung Behistun, sekitar 60 meter di atas dataran, di Provinsi Kermanshah di Iran barat. (Tam çözünürlük )

Nationalgeographic.co.id—Prasasti Behistun adalah ukiran yang terletak di tebing Gunung Behistun. Konon Gunung Behistun dipercaya sebagai 'tempat tinggal para dewa' pada zaman dahulu. Prasasti ini ditulis dalam tiga bahasa dan disertai dengan relief batu besar.

Prasasti Behistun memiliki fungsi seperti Batu Rosetta, prasasti dwibahasa Mesir Kuno pertama. Prasasti ini juga penting karena merupakan satu-satunya teks monumental yang diketahui dibuat oleh Achaemenid yang mendokumentasikan peristiwa sejarah tertentu.

Gunung Behistun: Monumen Tebing Bersejarah

Prasasti Behistun terletak di Gunung Behistun, sekitar 60 meter di atas dataran, di Provinsi Kermanshah di Iran barat. Prasasti tersebut diukur tingginya sekitar 15 meter dan lebarnya 25 meter.

“Konon prasasti legendaris ini dibuat oleh Raja Achaemenid, Darius I, pada tahun 521 SM,” tulis Wu Mingren di lama Ancient Origins.

Prasasti tersebut dapat dibagi menjadi empat bagian terpisah. Bagian pertama berupa relief besar yang menggambarkan berbagai tokoh, yang paling menonjol adalah Darius sendiri. Raja digambarkan dengan busur di tangannya, sebagai tanda kedaulatannya.

Prasasti Behistun adalah ukiran yang terletak di tebing Gunung Behistun. Konon Gunung Behistun dipercaya sebagai 'tempat tinggal para dewa' pada zaman dahulu. (Barghar/CC BY 3.0)

Darius digambarkan dengan salah satu kakinya di dada seseorang yang tidak dikenal yang berbaring telentang. Secara umum dipercaya bahwa sosok ini adalah Gaumata, sang penggugat takhta Achaemenid. Di belakang raja terdapat Intaphrenes, pembawa busur Darius, dan Gobryas, pembawa tombaknya.

Di hadapan raja terdapat sembilan orang yang diikat dengan tali di leher mereka dan tangan mereka terikat di belakang punggung. Mereka adalah sembilan pemberontak yang tercatat telah dikalahkan oleh Darius. Terakhir, terdapat penggambaran dewa tertinggi Ahura Mazda di atas manusia.

Tiga bagian prasasti lainnya adalah teks. Teks-teks ini ditulis dalam aksara paku dan menceritakan (kurang lebih) kisah yang sama.

Meskipun demikian, teks-teks tersebut ditulis dalam tiga bahasa yang berbeda. Salah satunya dalam bahasa Persia Kuno, yang lain dalam bahasa Elam, dan yang ketiga dalam bahasa Akkadia. Telah ditunjukkan pula bahwa versi Prasasti Behistun, dalam bahasa Aram, ditemukan pada gulungan papirus di Mesir.

Baca Juga: Darius Agung, Penguasa Cemerlang dari Kekaisaran Persia Akhemeniyah

Kebangkitan Darius I

Dari segi isi, Prasasti Behistun dimulai dengan perkenalan Darius sendiri. Di sini, sang raja memberikan silsilahnya. “Mungkin sebagai sarana untuk membenarkan pendudukannya atas takhta Achaemenid,” ujar Mingren.

Sang raja juga mencantumkan kerajaan-kerajaan yang berada di bawah kendali kekaisaran. Ia mengaitkan kepemilikannya atas negara-negara tersebut dengan Ahura Mazda.

“…Ini adalah negara-negara yang datang kepadaku; dengan anugerah Ahura Mazda, aku menjadi raja mereka…”

Setelah perkenalan ini, Darius memberikan versinya tentang peristiwa-peristiwa yang menyebabkan ia memperoleh takhta Achaemenid. Menurut teks tersebut, seorang penyihir bernama Gaumata menyamar sebagai Bardiya, saudara laki-laki Cambyses yang terbunuh. Saat itu, Cambyses adalah raja Kekaisaran Achaemenid.

Gaumata dikatakan telah merebut kekuasaan Cambyses dan menjadi raja. Darius berhasil membunuh Gaumata dan menjadi raja baru.

Bagian selanjutnya dari teks tersebut adalah tentang pemberontakan yang meletus di seluruh kekaisaran selama pemerintahan Darius. Raja mencatat bahwa ia telah berhasil memadamkan semua pemberontakan tersebut dan mengalahkan 9 raja dalam prosesnya. Dengan demikian, bagian teks ini dapat dianggap sebagai bukti kehebatan militer raja.

Kenangan Abadi Prasasti Behistun

Prasasti Behistun telah disebutkan oleh beberapa penulis kuno, meskipun ada beberapa kesalahan yang mereka buat.

Misalnya, Ctesias, seorang dokter dan sejarawan Yunani, dan Diodorus Siculus, mengaitkan teks tersebut dengan Ratu Semiramis yang legendaris.

Kenangan tentang monumen tersebut berlanjut bahkan hingga periode abad pertengahan. Meskipun demikian, penciptanya dilupakan. Dikatakan bahwa selama periode ini, penduduk setempat dikaitkan dalam prasasti tersebut dengan Khosrow II, salah satu raja Sassania terakhir.

Penerjemahan teksnya, baru dilakukan pada abad ke-19, yang memungkinkan penafsiran yang tepat terhadap relief tersebut. Sebelumnya, ukiran tersebut ditafsirkan secara beragam sebagai guru yang menghukum murid-muridnya atau Kristus dan 12 rasulnya. Serta Shalmaneser dari Asyur dan 12 suku Israel.

Penemuan Prasasti Behistun

Orang pertama yang melakukan upaya besar untuk memahami Prasasti Behistun adalah Rawlinson pada tahun 1835. Saat itu ia sedang bertugas di Iran bersama pasukan Perusahaan Hindia Timur Britania.

Darius I menjelaskan bahwa ia ingin orang-orang membaca kata-katanya. Karena itu, ia meletakkannya di jalan yang sering dilalui antara Babilonia dan Ekbatana (dua pusat administrasi utama kekaisaran).

Namun, Darius I meletakkan prasasti itu begitu tinggi di tebing sehingga tidak seorang pun di jalan tersebut dapat membaca prasasti. Orang bahkan mengalami kesulitan untuk melihat gambarnya dengan jelas.

Selanjutnya, setelah prasasti selesai, Darius I meminta agar langkan tempat para pekerja berdiri disingkirkan. Karena itu, tidak seorang pun dapat mendekat untuk merusak prasasti tersebut. Namun, penyingkiran langkan juga berarti tidak seorang pun dapat mendekat untuk membacanya.

Untuk menyalin prasasti tersebut, Rawlinson meminta bantuan seorang pemuda setempat. Mereka mengangkat dan meletakkan papan-papan di permukaan tebing sehingga Rawlinson dapat menuliskan teks Persia Kuno. Ia kemudian mulai menerjemahkannya.

Pada tahun 1843 M, Rawlinson kembali dan berhasil menyalin prasasti Elam dan Akkadia, lagi-lagi dengan bantuan seorang pemuda setempat. Ia menggunakan tali yang menggantungnya di tebing.

Prasasti Behistun dengan demikian menjadi, bagi para orientalis dan Assyriolog, seperti halnya Batu Rosetta bagi para Egyptologist. Prasasti Behistun mengungkap bahasa-bahasa peradaban Timur Dekat kuno.

Penemuan ini mengikuti karya George Smith yang sebelumnya telah menerjemahkan aksara paku Mesopotamia. Dan ketika kedua penemuan ini digabungkan, maka keduanya membuka budaya-budaya Timur Dekat yang mengesankan bagi dunia modern.