Kunci Sukses 'Sosok Tunggal' di Balik 600 Tahun Kekuasaan Ottoman

By Muflika Nur Fuaddah, Selasa, 8 Oktober 2024 | 14:00 WIB
(Ilustrasi) Pasukan militer Ottoman (wikimedia commons)

Menjalankan Kekaisaran 

Seorang sejarawan Ottoman dari tahun 1600-an, Mustafa Naima, menggambarkan hubungan antara negara dan rakyatnya sebagai siklus lima prinsip: 1) tidak ada pemerintahan atau negara tanpa militer; 2) mempertahankan militer memerlukan kekayaan; 3) kekayaan diperoleh dari rakyat; 4) rakyat hanya bisa makmur melalui keadilan; 5) tanpa pemerintahan dan negara, tidak akan ada keadilan.

Meskipun prinsip ini terdengar mengikat, pada kenyataannya para penguasa Ottoman cukup toleran (setidaknya sebagaimana yang di tulis dalam sejarah) terhadap banyak orang non-muslim yang menjadi bagian dari wilayah mereka.

Semua rakyat secara sistematis dikenakan pajak dan didata. Catatan rinci disimpan oleh istana. Yunani, Yahudi, Slavia, Rumania, dan Armenia—di antara kelompok lainnya—semua diidentifikasi berdasarkan afiliasi agama mereka.

Namun, setiap kelompok diizinkan untuk mempertahankan organisasi keagamaan, amal, sosial, dan pendidikan mereka sendiri.

Istanbul bahkan menjadi semacam tempat perlindungan bagi berbagai kelompok yang mencari suaka dari penganiayaan di tempat lain, misalnya Yahudi Sephardic yang melarikan diri dari penganiayaan di Spanyol.

Bagaimana Ottoman Menjalankan Tugas-tugasnya?

Mengingat bahwa begitu banyak kekuasaan terletak pada diri sultan, tidak mengherankan bahwa nasib negara sebagian besar bergantung pada kompetensi individu yang naik takhta.

Dalam praktiknya, kekuasaan harus dibagi dengan militer serta pemimpin sipil dan agama. Seiring waktu, para sultan semakin banyak menarik diri ke dalam tembok istana, menyerahkan pemerintahan kepada berbagai menteri dan komandan militer.

Di bawah sultan dan keluarganya terdapat tiga divisi negara lainnya: dewan administratif (termasuk perbendaharaan kekaisaran), tentara, dan institusi keagamaan atau ulama—orang-orang yang menafsirkan hukum suci dan bertanggung jawab atas pendidikan agama generasi mendatang.

Hubungan antara sultan dan ulama sangat penting bagi kesejahteraan negara. Para penguasa Ottoman, berbeda dengan beberapa negara Islam lainnya, berhasil mendapatkan dukungan ulama. Hai itu memungkinkan otoritas agama untuk beroperasi dalam yurisdiksi tertentu tanpa melemahkan atau menantang kekuasaan tertinggi sultan.

Baca Juga: Rahasia Tarekat Sufi 'Backingan' Janissari, Korps Militer Terkuat Ottoman