Kunci Sukses 'Sosok Tunggal' di Balik 600 Tahun Kekuasaan Ottoman

By Muflika Nur Fuaddah, Selasa, 8 Oktober 2024 | 14:00 WIB
(Ilustrasi) Pasukan militer Ottoman (wikimedia commons)

Nationalgeographic.co.id—Selama lebih dari 600 tahun, Ottoman menjadi kekaisaran Islam yang paling kuat. Pada puncak ekspansinya di tahun 1500-an, wilayah kekaisaran Ottoman mencakup Hongaria, Balkan, Anatolia, Suriah, Mesopotamia, Mesir, sebagian besar Afrika Utara, dan wilayah di sekitar kota-kota suci Madinah dan Mekah. Ottoman juga menghubungkan tiga benua—Eropa, Asia, dan Afrika.

Lantas, apa yang menyebabkan kesuksesan dan langgengnya kekuasaan Kekaisaran Ottoman? Ottoman jelas sangat berhasil dalam bidang militer. Mungkin yang lebih penting, mereka mampu membangun aparatur administratif di bawah komando sultan dan istana punya kontrol efektif atas wilayah yang luas dengan berbagai macam masyarakat.

Dalam Islam and the Arts of the Ottoman Empire yang diterbitkan oleh Asian Art Museum Education Department mencatat bahwa kekuasaan Ottoman terpusat di sultan dan keluarganya. Sultan, pada kenyataannya, adalah penguasa absolut. Penulis politik Italia, Machiavelli, mengamati bahwa "Kekaisaran Ottoman diperintah oleh satu orang. Selain itu semua hanya pelayannya."

Sultan melakukan perjanjian, mencetak uang, mengangkat pejabat, menjatuhkan hukuman mati, hingga memimpin pasukan ke medan perang. Sultan juga mengeluarkan dekrit peraturan (ferman) yang kemudian dihimpun menjadi hukum (kanuns). Ia adalah pelaksana hukum Tuhan (syariah).

Secara resmi, sultan memegang hak atas semua tanah di bawah kekuasaannya. Para sultan Ottoman mulai memandang diri mereka sebagai pewaris dua tradisi besar.

Pertama, mereka berperan sebagai khalifah, pembela iman Islam. Mereka menguasai kota suci Mekah dan Madinah serta melindungi dunia Islam dari musuh-musuh 'kafir.'

Kedua, mereka percaya bahwa mereka adalah pewaris budaya Kekaisaran Romawi dan Persia. Jika dilihat dari istana mereka di Istanbul, tampaknya mereka berdiri di pusat budaya dunia.

Seniman dari tradisi timur dan barat didorong untuk bergabung menjadi bagian dari istana sultan. Prestise para sultan semakin ditingkatkan oleh upacara-upacara publik besar yang mengesankan pengunjung asing, seperti perjamuan untuk merayakan peristiwa penting dalam kehidupan keluarga kekaisaran.

Secara teori, keanggotaan dalam kelas tertinggi masyarakat Ottoman mengharuskan seseorang menjadi muslim, setia kepada sultan, dan mengikuti kode perilaku Ottoman.

Etiket istana Ottoman mengharuskan seseorang berbicara dalam bahasa Turki yang sangat formal dengan campuran kata-kata Persia dan Arab.

Oleh karena itu, sebagian besar rakyat sultan tidak masuk kasta sosial tinggi, tidak hanya karena perbedaan kelas dan budaya, tetapi juga karena banyak rakyatnya adalah non-muslim.

Baca Juga: Muslihat 'Dwifungsi ABRI' ala Pasukan Militer Kekaisaran Ottoman

Menjalankan Kekaisaran 

Seorang sejarawan Ottoman dari tahun 1600-an, Mustafa Naima, menggambarkan hubungan antara negara dan rakyatnya sebagai siklus lima prinsip: 1) tidak ada pemerintahan atau negara tanpa militer; 2) mempertahankan militer memerlukan kekayaan; 3) kekayaan diperoleh dari rakyat; 4) rakyat hanya bisa makmur melalui keadilan; 5) tanpa pemerintahan dan negara, tidak akan ada keadilan.

Meskipun prinsip ini terdengar mengikat, pada kenyataannya para penguasa Ottoman cukup toleran (setidaknya sebagaimana yang di tulis dalam sejarah) terhadap banyak orang non-muslim yang menjadi bagian dari wilayah mereka.

Semua rakyat secara sistematis dikenakan pajak dan didata. Catatan rinci disimpan oleh istana. Yunani, Yahudi, Slavia, Rumania, dan Armenia—di antara kelompok lainnya—semua diidentifikasi berdasarkan afiliasi agama mereka.

Namun, setiap kelompok diizinkan untuk mempertahankan organisasi keagamaan, amal, sosial, dan pendidikan mereka sendiri.

Istanbul bahkan menjadi semacam tempat perlindungan bagi berbagai kelompok yang mencari suaka dari penganiayaan di tempat lain, misalnya Yahudi Sephardic yang melarikan diri dari penganiayaan di Spanyol.

Bagaimana Ottoman Menjalankan Tugas-tugasnya?

Mengingat bahwa begitu banyak kekuasaan terletak pada diri sultan, tidak mengherankan bahwa nasib negara sebagian besar bergantung pada kompetensi individu yang naik takhta.

Dalam praktiknya, kekuasaan harus dibagi dengan militer serta pemimpin sipil dan agama. Seiring waktu, para sultan semakin banyak menarik diri ke dalam tembok istana, menyerahkan pemerintahan kepada berbagai menteri dan komandan militer.

Di bawah sultan dan keluarganya terdapat tiga divisi negara lainnya: dewan administratif (termasuk perbendaharaan kekaisaran), tentara, dan institusi keagamaan atau ulama—orang-orang yang menafsirkan hukum suci dan bertanggung jawab atas pendidikan agama generasi mendatang.

Hubungan antara sultan dan ulama sangat penting bagi kesejahteraan negara. Para penguasa Ottoman, berbeda dengan beberapa negara Islam lainnya, berhasil mendapatkan dukungan ulama. Hai itu memungkinkan otoritas agama untuk beroperasi dalam yurisdiksi tertentu tanpa melemahkan atau menantang kekuasaan tertinggi sultan.

Baca Juga: Rahasia Tarekat Sufi 'Backingan' Janissari, Korps Militer Terkuat Ottoman

Otoritas agama pusat adalah Shaykh al-Islam. Pada tingkat provinsi, hakim agama atau kadi memimpin pelaksanaan hukum agama dan hukum kekaisaran.

Urusan negara sehari-hari ditangani oleh dewan menteri yang dikenal sebagai divan. Mereka mengadakan sesi rutin di istana, dan dipimpin oleh seorang wazir agung atau menteri utama.

Wazir memiliki tanggung jawab yang sulit—ia mempertaruhkan nyawanya jika tidak kompeten, dan pada saat yang sama, jika ia terlalu berkuasa, kesannya seperti mengancam sultan. Selama masa pemerintahan Selim I, ketidakpastian posisi seperti itu melahirkan kutukan yang terkenal: "Semoga kau menjadi wazir Sultan Selim!"

Diketahui bahwa beberapa wazir meninggal secara tak terduga, sementara yang lainnya berhasil mengemban tugas.

Salah satu menteri terkenal, Sokollu Mehmed Pasa, bekerja untuk tiga sultan besar pada tahun 1500-an. Lahir sebagai seorang Serbia, ia masuk dinas sipil melalui sistem unik yang dikenal sebagai devshirme.

Devshirme 

Devshirme adalah lembaga pelatihan yang unik di Ottoman. Devshirme merupakan sebuah upaya—sebagian besar berhasil selama masa berlakunya—untuk mengendalikan klaim saingan atas takhta dengan membangun birokrasi militer dan administratif dari budak keluarga Kristen di bawah kekuasaan Ottoman.

Budak-budak ini dilatih untuk setia kepada sultan dan ditempatkan di posisi penting, memberikan alternatif yang lebih aman daripada anggota keluarga saingan yang biasanya saling bertarung untuk suksesi takhta.

Budak direkrut saat masih anak-anak lewat sistem pajak tahunan, terutama di wilayah Balkan dan Anatolia. Orang tua dengan anak tunggal dikecualikan dari pajak ini. Hanya anak-anak yang paling menjanjikan yang dipilih. Tergantung pada karakter dan bakatnya, mereka akan ditempatkan di militer atau dalam administrasi sipil.

Anak-anak tersebut diindoktrinasi ke dalam Islam, diberi nama baru, dan disumpah untuk setia kepada sultan seumur hidup mereka. Meskipun diperbudak dalam sistem devshirme, anak-anak tersebut menerima pelatihan terbaik yang tersedia pada waktu itu di dunia Islam.

Bagi banyak orang tua, ini mungkin merupakan masa depan terbaik yang bisa mereka bayangkan untuk anak-anak mereka. Sistem devshirme berhasil bertahan hingga tahun 1600-an.

Baca Juga: Kekaisaran Ottoman ‘Menjelajah’ Nusantara dari Ujung Barat ke Timur

Para pemuda dilatih dan diisolasi di istana, mereka dipromosikan berdasarkan prestasi, bukan berdasarkan hak istimewa golongan kelas tertentu. Pejabat sipil dalam pelatihan biasanya diberi jabatan di provinsi, sementara yang paling cakap dipanggil kembali ke ibu kota.

Memberi jalan bagi anak-anak budak untuk menjadi pejabat tertinggi ini cukup membingungkan bagi orang Eropa, yang terbiasa dengan gagasan bahwa kelas dan posisi dalam masyarakat sudah ditentukan sejak lahir.

Akhirnya, sistem devshirme runtuh juga saat para pejabatnya mulai memikirkan keberhasilan dan keberlangsungan jabatan untuk keturunan mereka, sehingga kak istimewa turun-temurun untuk meraih kesuksesan mulai berlaku.