Kunci Sukses 'Sosok Tunggal' di Balik 600 Tahun Kekuasaan Ottoman

By Muflika Nur Fuaddah, Selasa, 8 Oktober 2024 | 14:00 WIB
(Ilustrasi) Pasukan militer Ottoman (wikimedia commons)

Otoritas agama pusat adalah Shaykh al-Islam. Pada tingkat provinsi, hakim agama atau kadi memimpin pelaksanaan hukum agama dan hukum kekaisaran.

Urusan negara sehari-hari ditangani oleh dewan menteri yang dikenal sebagai divan. Mereka mengadakan sesi rutin di istana, dan dipimpin oleh seorang wazir agung atau menteri utama.

Wazir memiliki tanggung jawab yang sulit—ia mempertaruhkan nyawanya jika tidak kompeten, dan pada saat yang sama, jika ia terlalu berkuasa, kesannya seperti mengancam sultan. Selama masa pemerintahan Selim I, ketidakpastian posisi seperti itu melahirkan kutukan yang terkenal: "Semoga kau menjadi wazir Sultan Selim!"

Diketahui bahwa beberapa wazir meninggal secara tak terduga, sementara yang lainnya berhasil mengemban tugas.

Salah satu menteri terkenal, Sokollu Mehmed Pasa, bekerja untuk tiga sultan besar pada tahun 1500-an. Lahir sebagai seorang Serbia, ia masuk dinas sipil melalui sistem unik yang dikenal sebagai devshirme.

Devshirme 

Devshirme adalah lembaga pelatihan yang unik di Ottoman. Devshirme merupakan sebuah upaya—sebagian besar berhasil selama masa berlakunya—untuk mengendalikan klaim saingan atas takhta dengan membangun birokrasi militer dan administratif dari budak keluarga Kristen di bawah kekuasaan Ottoman.

Budak-budak ini dilatih untuk setia kepada sultan dan ditempatkan di posisi penting, memberikan alternatif yang lebih aman daripada anggota keluarga saingan yang biasanya saling bertarung untuk suksesi takhta.

Budak direkrut saat masih anak-anak lewat sistem pajak tahunan, terutama di wilayah Balkan dan Anatolia. Orang tua dengan anak tunggal dikecualikan dari pajak ini. Hanya anak-anak yang paling menjanjikan yang dipilih. Tergantung pada karakter dan bakatnya, mereka akan ditempatkan di militer atau dalam administrasi sipil.

Anak-anak tersebut diindoktrinasi ke dalam Islam, diberi nama baru, dan disumpah untuk setia kepada sultan seumur hidup mereka. Meskipun diperbudak dalam sistem devshirme, anak-anak tersebut menerima pelatihan terbaik yang tersedia pada waktu itu di dunia Islam.

Bagi banyak orang tua, ini mungkin merupakan masa depan terbaik yang bisa mereka bayangkan untuk anak-anak mereka. Sistem devshirme berhasil bertahan hingga tahun 1600-an.

Baca Juga: Kekaisaran Ottoman ‘Menjelajah’ Nusantara dari Ujung Barat ke Timur

Para pemuda dilatih dan diisolasi di istana, mereka dipromosikan berdasarkan prestasi, bukan berdasarkan hak istimewa golongan kelas tertentu. Pejabat sipil dalam pelatihan biasanya diberi jabatan di provinsi, sementara yang paling cakap dipanggil kembali ke ibu kota.

Memberi jalan bagi anak-anak budak untuk menjadi pejabat tertinggi ini cukup membingungkan bagi orang Eropa, yang terbiasa dengan gagasan bahwa kelas dan posisi dalam masyarakat sudah ditentukan sejak lahir.

Akhirnya, sistem devshirme runtuh juga saat para pejabatnya mulai memikirkan keberhasilan dan keberlangsungan jabatan untuk keturunan mereka, sehingga kak istimewa turun-temurun untuk meraih kesuksesan mulai berlaku.