Karahan Tepe, Situs Ritual Kuno yang Diperkirakan Berusia 11.000 Tahun

By Sysilia Tanhati, Rabu, 9 Oktober 2024 | 16:00 WIB
Penggalian di situs monumental Karahan Tepe, dekat perbatasan Turki-Suriah, menunjukkan bahwa masyarakat terbentuk sebelum munculnya pertanian. (Vincent Vega/CC BY-SA 4.0)

Nationalgeographic.co.id—Karahan Tepe, salah satu situs prasejarah yang digali oleh otoritas Turki di Sanliurfa, dekat perbatasan Suriah, diklaim sebagai salah satu desa tertua di dunia. Pemerintah Turki menyebut situs tersebut berusia 11.400 tahun.

Situs ini mencakup rumah-rumah dalam kompleks ritual yang luas. Penemuan Karahan Tepe menunjukkan bahwa para pemburu-pengumpul membangun permukiman permanen jauh sebelum munculnya pertanian 10.000 tahun yang lalu.

“Kini kami punya pandangan berbeda tentang sejarah,” kata Necmi Karul, profesor madya prasejarah di Universitas Istanbul. Karul memimpin penggalian Karahan Tepe, situs di lereng bukit di dataran tinggi batu kapur antara Sungai Tigris dan Efrat.

Penemuan situs Karahan Tepe

Karahan Tepe pertama kali ditemukan pada tahun 1997. Namun, survei sistematis pertama dilakukan pada tahun 2000. Survei tersebut mengungkap kolam seperti cekungan yang diukir di batuan dasar. Di sana ditemukan sejumlah besar pahat dan beliung, manik-manik, pecahan pot batu, batu giling dan alu.

Penemuan ini juga menunjukkan bahwa situs tersebut aktif selama periode Neolitikum Pra-Tembikar (10.000 – 6.500 SM).

Temuan Karahan Tepe mengubah persepsi bahwa kehidupan menetap merupakan hasil dari pertanian dan peternakan. Menurut Karul, hal ini menunjukkan bahwa kehidupan menetap telah dimulai ketika manusia masih menjadi pemburu-pengumpul. Dan pertanian bukanlah penyebabnya, tetapi akibat dari kehidupan menetap.

Ruang sakral dan sekuler dibangun secara bersamaan di Karahan Tepe, tempat manusia tinggal sepanjang tahun selama sekitar 1.500 tahun. Di situs itu tidak ada sisa-sisa vegetasi pertanian yang ditemukan.

Karahan Tepe terletak sekitar 35 km dari situs Warisan Dunia Unesco Gobekli Tepe. Gobleki Tepe disebut-sebut sebagai rumah bagi tempat ibadah tertua di dunia. Berasal dari tahun 9.600 SM, Gobekli Tepe mengubah gagasan tentang peradaban awal. Penelitian di situs itu dipimpin oleh arkeolog Jerman Klaus Schmidt.

Sebelumnya dianggap sebagai satu-satunya tujuan tempat orang nomaden datang untuk beribadah. Namun, Gobekli Tepe kini dianggap sebagai bagian dari konstelasi permukiman kontemporer yang membentang lebih dari 100 km. “Mencakup Karahan Tepe dan sedikitnya 11 situs lain yang belum digali,” tulis Ayla Jean Yackley di laman Art Newspaper.

Penggalian terbaru juga mengungkap bangunan rumah di Gobekli Tepe. “Di wilayah ini, kami menemukan bangunan monumental untuk pertama kalinya di desa tertua di dunia,” kata Karul.

Baca Juga: Siapa yang Membangun Permukiman Misterius Teniky di Madagaskar?

Penemuan area ritual di Karahan Tepe

Para ilmuwan telah lama meyakini bahwa domestikasi tanaman dan hewan terjadi sekitar 10.000 tahun yang lalu. Domestikasi ini mendorong manusia untuk mengadopsi gaya hidup yang tidak banyak bergerak. Ledakan produksi pangan memungkinkan manusia untuk mengembangkan masyarakat yang kompleks dan meletakkan dasar-dasar peradaban.

Namun, bukti yang semakin kuat bahwa manusia Zaman Batu membangun bangunan permanen untuk kegiatan spiritual. Temuan Karahan Tepe menentang pendapat bahwa Zaman Batu tidak memiliki masyarakat berskala besar dengan pembagian kerja dan ritual.

Ruang-ruang melingkar di Karahan Tepe direncanakan terlebih dahulu. Dan pengolahan batuan dasar yang sangat terampil memperlihatkan rekayasa arsitektur prasejarah yang mengesankan. Membangun beberapa bangunan dengan tujuan yang berbeda merupakan cerminan dari sistem kepercayaan yang rumit.

Di situs Karahan Tepe, terdapat ruangan yang berisi simbolesme falus. Karul menyebutnya sebagai salah satu contoh simbolisme falus yang paling monumental dan paling awal. Terdapat 11 tiang batu raksasa yang diukir dari batuan dasar. 11 tiang itu “diawasi” oleh kepala berjanggut dengan tubuh ular yang muncul dari dinding. Ruangan ini memiliki pintu masuk dan keluar yang terpisah, serta saluran air.

Karul menyimpulkan bahwa ruang tersebut digunakan untuk upacara peralihan.

Pada relief yang di situs, tidak ditemukan figur perempuan. Relief batu satwa liar berkisar dari serangga hingga mamalia dan termasuk binatang buas yang mencengkeram kepala pria. Selain itu, ada banyak penggambaran manusia.

Hal ini menunjukkan jika manusia mulai melihat diri mereka sendiri sebagai sesuatu yang berbeda dari dunia hewan, kata Karul. Puluhan prasasti berbentuk T—gambaran abstrak dari bentuk manusia—juga ditemukan di Karahan Tepe.

Para arkeolog telah menggali sekitar 1% dari lokasi seluas 60.000 meter persegi itu sejak tahun 2019.

Sisa-sisa aktivitas rumah tangga di area ritual

Di dekat area ritual ini terdapat bukti nyata aktivitas rumah tangga. Hal ini ditandai dengan mangkuk besar, batu penggiling yang ditempatkan dengan jelas. Selain itu, ada piring batu kapur besar yang diukir halus.

Baca Juga: Nemrut Dağ, Situs Suci Warisan Turki Kuno yang Sempat Terlupakan

Orang akan mendapatkan kesan yang jelas bahwa fitur-fitur rumah tangga komunal ritual berpadu dengan mulus satu sama lain.

Ketika masyarakat nomaden berpindah-pindah di lanskap dari musim ke musim, mereka akan mengeksploitasi tanaman alami yang mereka temukan. Tanaman ini termasuk rumput yang mereka gunakan untuk memanen benih untuk biji-bijian.

Setiap panen, orang perlu mengolah biji-bijian yang mereka panen. Pengolahan ini membutuhkan barang-barang seperti alu dan lumpang, mangkuk batu besar dan batu penggiling.

Semua barang tersebut terlalu berat untuk dibawa dan terlalu berat untuk dicuri. Jadi, masyarakat di Kalahan Tepe meninggalkan barang-barang itu ketika berpindah. Benih juga ditinggalkan untuk digunakan ketika kelompok itu kembali ke lokasi ini.

Maka secara bertahap permukiman sementara itu menjadi permanen. Lalu kemudian menghasilkan simbologi kompleks yang terwakili dalam batu yang tumbuh di sekitar benda-benda domestik ini.

Penduduk setempat menyebut tegakan gandum liar ini “Gandum Pengembara”. Mereka masih dapat ditemukan di wilayah tersebut hingga saat ini.

Karahan Tepe dan Gobekli Tepe

Karahan Tepe tampak memiliki budaya yang sama dengan Gobekli Tepe. Tapi ada beberapa perbedaan yang mencolok. Relief-relief di Gobekli Tepe tampak jauh lebih formal, realistis, dan digambarkan dengan halus. Sementara di Karahan Tepe, meskipun agak ritualistik dan digambarkan dengan kurang halus, reliefnya tampak jauh lebih dinamis.

Dalam hal ini, Karahan Tepe tampaknya memiliki lebih banyak kesamaan dalam hal ekspresi dan eksekusi dengan Sayburc. Sayburc merupakan situs lain pada periode ini, yang kini muncul dari tanah di sebelah barat Şanlıurfa.

Karahan Tepe akan dibuka untuk wisatawan

Menurut menteri kebudayaan Mehmet Nuri Ersoy, pemerintah berencana untuk membuka situs ini untuk wisatawan. Pemerintah akhirnya berharap dapat menarik lima juta pengunjung per tahun ke Gobekli Tepe dan serangkaian situs Neolitikum, yang dijuluki Tas Tepeler (Bukit Batu).

Karahan Tepe (Vincent Vega/CC BY-SA 4.0)

Di akhir era Karahan Tepe, penduduknya dengan susah payah mengubur kuil mereka. “Seperti mengubur orang yang telah meninggal,” kata Karul. Ia mengakui adanya risiko membuka kembali situs tersebut sekarang bagi jutaan orang. Namun pemimpin penelitian tersebut, “Setiap orang memiliki hak untuk mengakses situs arkeologi ini.”