Nationalgeographic.co.id—Di wilayah pegunungan Ethiopia utara, pengunjung akan menemukan sebuah kota yang dikenal sebagai Lalibela. Meski kecil, Lalibela merupakan kota penting bagi umat Kristen dalam sejarah dunia.
Di dalam kota dan sekitarnya terdapat sebelas gereja unik. Semuanya dipahat dengan cermat dari batu yang berdiri ratusan tahun yang lalu. Sejak saat itu, gereja-gereja tersebut telah menjadi beberapa situs ziarah terpenting bagi umat Kristen Ortodoks di negara terbesar kedua di Afrika.
Letak Lalibela Di Ethiopia
“Lalibela terletak di Ethiopia utara-tengah, lebih dari 2.500 meter di atas permukaan laut,” tulis Greg Pasciuto.
Populasinya lebih sedikit dibandingkan dengan kota-kota Ethiopia yang lebih besar seperti Mekelle atau ibu kota nasional, Addis Ababa. Namun, populasi bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan pentingnya suatu daerah.
Seperti yang akan segera kita lihat, kepentingan strategis dan keagamaan Lalibela jauh melampaui lingkungan sekitarnya.
Sejarah Lalibela
Tanggal pasti berdirinya Lalibela tidak diketahui, tetapi mungkin sudah ada sejak lebih dari seribu tahun yang lalu. Kota ini dulunya disebut Roha. Lalibela tetap merupakan kota kecil dan tidak penting selama beberapa abad pertama keberadaannya. Kota-kota lain di Ethiopia menduduki posisi yang jauh lebih bergengsi.
Nasib Lalibela berubah secara mendasar selama tahun 1100-an. Menjelang akhir abad itu, Raja Gebre Mesqel Lalibela dari Dinasti Zagwe mengawasi pembangunan gereja-gereja monumental di tanah dan lereng tebing.
Menurut legenda, sang raja membutuhkan waktu 24 tahun untuk memahat 11 gereja utama dari batu. “Malaikat dikatakan telah membantu pekerjaannya,” tambah Pasciuto.
Tradisi Ethiopia kemudian membingkai pembangunan gereja-gereja Lalibela sebagai cerminan Yerusalem. Para ahli mengeksplorasi teori ini secara terperinci dan menemukan beberapa hubungan sejarah utama.
Baca Juga: Sejarah Berdirinya Paus Memimpin Gereja Katolik dari Kekaisaran Romawi
Source | : | The Collector |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR