Mungkinkah Konsep Minyak Sawit Berkelanjutan Benar-benar Bisa Terwujud?

By Ade S, Rabu, 9 Oktober 2024 | 08:03 WIB
Buah sawit hasil dari perkebunan mandiri warga di Kecamatan Sawit Seberang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. (National Geographic Indonesia/Ade S)

Patut diapresiasi, tapi masih kurang transparansi

Selama lebih dari satu dekade, perkebunan kelapa sawit menjadi penyebab utama hilangnya hutan di Indonesia. Antara tahun 2001 dan 2016, hampir seperempat dari total deforestasi di negara ini disebabkan oleh perluasan perkebunan sawit. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, situasi ini mulai membaik.

Berkat upaya perusahaan seperti Ferrero yang berkomitmen pada praktik berkelanjutan, laju deforestasi akibat perkebunan sawit berhasil ditekan. Pada tahun 2021, kontribusinya terhadap deforestasi Indonesia telah turun menjadi 15%, jauh lebih rendah dibandingkan puncaknya pada tahun 2008-2009 yang mencapai 40%.

Daniela Montalto dari Greenpeace UK mengakui bahwa beberapa perusahaan permen telah menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam mengatasi masalah ini. Namun, ia juga menyoroti bahwa masih banyak tantangan yang harus dihadapi.

Kurangnya transparansi di dalam industri minyak sawit membuat sulit untuk melacak asal-usul produk dan memastikan bahwa tidak ada keterlibatan dalam deforestasi. Montalto menegaskan bahwa banyak perusahaan masih memiliki jejak deforestasi dalam rantai pasokan mereka.

Untuk mengatasi masalah ini, produsen makanan harus proaktif dalam melakukan penelusuran menyeluruh terhadap bahan baku yang mereka gunakan. Dengan kata lain, perusahaan harus memastikan bahwa setiap bahan baku, termasuk minyak sawit, berasal dari sumber yang bertanggung jawab dan tidak berkontribusi pada kerusakan lingkungan.

Meskipun upaya untuk memproduksi minyak sawit secara berkelanjutan terus dilakukan, kemajuan yang dicapai sejauh ini masih terbatas. Hanya sekitar 20% dari total produksi minyak sawit dunia yang saat ini bersertifikasi sebagai minyak sawit berkelanjutan.

Selain itu, muncul kekhawatiran mengenai kelemahan dalam sistem sertifikasi yang ada, termasuk dalam rantai pasokan minyak sawit bersertifikat RSPO. Hal ini membuat konsep minyak sawit berkelanjutan yang selama ini dipercaya banyak pihak menjadi dipertanyakan.

Montalto menilai bahwa skema sertifikasi RSPO telah kehilangan fungsinya. Menurutnya, skema sertifikasi ini, yang seharusnya menjamin bahwa minyak sawit yang dihasilkan bebas dari deforestasi dan memenuhi standar keberlanjutan lainnya, telah melemah dan dikompromikan oleh industri.

Akibatnya, konsumen tidak lagi dapat sepenuhnya percaya pada klaim "berkelanjutan" yang tertera pada produk yang mengandung minyak sawit bersertifikasi RSPO.

Greenpeace menyoroti sebuah masalah serius: Inggris, sebagai negara konsumen besar, tidak memiliki aturan yang cukup kuat untuk mencegah impor produk yang terkait dengan perusakan hutan, termasuk minyak sawit.

Akibatnya, kegiatan produksi minyak sawit yang merusak hutan hujan, lahan gambut, dan habitat satwa seperti orangutan dapat terus berlanjut, bahkan jika bahan bakunya digunakan untuk produk yang dijual di Inggris.

Montalto juga menyatakan bahwa perusahaan yang mengklaim memproduksi produk berkelanjutan seharusnya bertanggung jawab untuk memastikan bahwa bahan baku yang mereka gunakan, termasuk minyak sawit, tidak berasal dari area yang baru saja dialihfungsikan menjadi perkebunan.

Mengutip Montalto, Spencer-Jolliffe menulis, “Sayangnya, banyak perusahaan yang telah berjanji untuk mencapai hal ini pada tahun 2020, namun hingga kini belum berhasil.”