Mungkinkah Konsep Minyak Sawit Berkelanjutan Benar-benar Bisa Terwujud?

By Ade S, Rabu, 9 Oktober 2024 | 08:03 WIB
Buah sawit hasil dari perkebunan mandiri warga di Kecamatan Sawit Seberang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. (National Geographic Indonesia/Ade S)

Nationalgeographic.co.id—Seringkali kita mendengar istilah "minyak sawit berkelanjutan" dalam berbagai produk konsumen.

Namun, seberapa berkelanjutan sebenarnya minyak sawit yang kita konsumsi? Apakah sertifikasi yang melekat pada produk-produk tersebut benar-benar menjamin bahwa minyak sawit tersebut berasal dari perkebunan yang ramah lingkungan dan sosial?

Mari kita simak ulasannya melalui artikel berikut ini.

Popularitas yang mengancam

Minyak sawit, dengan sifatnya yang stabil, tidak berbau, dan tahan terhadap perubahan warna serta suhu, telah menjadi bahan baku yang sangat penting dalam industri makanan. Setengah dari semua produk konsumsi yang kita gunakan mengandung minyak sawit.

“Kepopuleran inilah yang mendorong produksi minyak sawit melonjak drastis dalam 50 tahun terakhir,” papar Natasha Spencer-Jolliffe dalam sebuah artikel di laman Confectionery News.

Dari hanya 2 juta ton pada tahun 1970, produksi minyak sawit global kini mencapai sekitar 80 juta ton pada tahun 2020. Pertumbuhan yang sangat pesat ini terutama didorong oleh perkebunan sawit yang luas di Malaysia dan Indonesia.

Meskipun efisien dalam produksi (menyediakan 40% minyak nabati dunia hanya dengan 6% lahan tanaman minyak), industri sawit juga dihadapkan pada sejumlah masalah serius. Deforestasi, pelanggaran hak asasi manusia, dan ancaman terhadap habitat satwa seperti orangutan dan gajah kerdil seringkali dikaitkan dengan perkebunan sawit.

Masalah ini bukan hanya menjadi perhatian para aktivis lingkungan. Konsumen pun semakin peduli. Di Inggris misalnya, banyak konsumen yang menghindari produk mengandung minyak sawit karena dianggap kurang ramah lingkungan.

Perusahaan cokelat yang diklaim mendukung keberlanjutan

Hal di atas telah mendorong perusahaan-perusahaan besar, termasuk produsen makanan, untuk mencari alternatif yang lebih berkelanjutan.

Baca Juga: Lahan Gambut Makin Menyempit, Paru-paru Asia Tenggara Kian Terjepit

Untuk itulah pada tahun 2004, Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) didirikan dengan tujuan memfasilitasi sertifikasi untuk produksi minyak sawit yang berkelanjutan.

Ferrero, perusahaan cokelat ternama di dunia, menjadi salah satu pelopor dalam produksi minyak sawit berkelanjutan. Komitmen mereka terhadap praktik pertanian yang bertanggung jawab telah diakui secara luas.

Dalam upaya mencapai tujuan ini, Ferrero telah menerapkan berbagai inisiatif, mulai dari sertifikasi RSPO hingga pemantauan deforestasi menggunakan teknologi satelit.

Salah satu langkah penting yang diambil Ferrero adalah merilis Ferrero Palm Oil Charter. Dokumen ini merinci komitmen perusahaan untuk melampaui standar sertifikasi yang ada dan berkontribusi pada pelestarian lingkungan.

Hasilnya? Ferrero berhasil meraih peringkat kedua dalam WWF Palm Oil Buyers Scorecard 2024, sebuah penilaian yang mengukur kinerja perusahaan dalam mendukung minyak sawit berkelanjutan.

Ferrero juga disebut-sebut aktif terlibat dalam proyek-proyek penelitian di Malaysia yang bertujuan untuk menemukan solusi berbasis alam yang dapat meningkatkan keberlanjangan produksi minyak sawit.

Salah satu proyek yang sedang berjalan adalah penelitian tentang keanekaragaman hayati tanaman dan praktik produksi yang ramah lingkungan. Proyek ini melibatkan kerja sama dengan petani kecil untuk mengembangkan solusi yang tepat sasaran.

Selain itu, Ferrero juga berkomitmen untuk memastikan bahwa minyak sawit yang mereka gunakan bebas dari deforestasi. Melalui kemitraan dengan Earthworm Foundation, Ferrero memantau seluruh area pengadaan minyak sawit mereka menggunakan teknologi satelit.

Langkah ini sejalan dengan Peraturan Deforestasi Uni Eropa (EUDR) yang bertujuan untuk mengurangi deforestasi global.

Ferrero tidak hanya fokus pada aspek lingkungan, tetapi juga memperhatikan kondisi kerja di perkebunan sawit. Perusahaan ini terus berupaya meningkatkan persentase minyak sawit bersertifikasi RSPO yang mereka gunakan.

Spencer-Jolliffe kemudian mengutip pernyataan seorang juru bicara Ferrero yang menyatakan, “Dalam daftar pabrik terbaru kami yang mewakili periode antara Januari hingga Juni 2023, 95,7% dari total volume minyak sawit yang bersumber oleh Ferrero Group adalah RSPO Certified Segregated.”

Baca Juga: Ketika Hutan Sumatra Menjelma Perkebunan, Bagaimana Nasib Jaring Makanan?

Patut diapresiasi, tapi masih kurang transparansi

Selama lebih dari satu dekade, perkebunan kelapa sawit menjadi penyebab utama hilangnya hutan di Indonesia. Antara tahun 2001 dan 2016, hampir seperempat dari total deforestasi di negara ini disebabkan oleh perluasan perkebunan sawit. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, situasi ini mulai membaik.

Berkat upaya perusahaan seperti Ferrero yang berkomitmen pada praktik berkelanjutan, laju deforestasi akibat perkebunan sawit berhasil ditekan. Pada tahun 2021, kontribusinya terhadap deforestasi Indonesia telah turun menjadi 15%, jauh lebih rendah dibandingkan puncaknya pada tahun 2008-2009 yang mencapai 40%.

Daniela Montalto dari Greenpeace UK mengakui bahwa beberapa perusahaan permen telah menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam mengatasi masalah ini. Namun, ia juga menyoroti bahwa masih banyak tantangan yang harus dihadapi.

Kurangnya transparansi di dalam industri minyak sawit membuat sulit untuk melacak asal-usul produk dan memastikan bahwa tidak ada keterlibatan dalam deforestasi. Montalto menegaskan bahwa banyak perusahaan masih memiliki jejak deforestasi dalam rantai pasokan mereka.

Untuk mengatasi masalah ini, produsen makanan harus proaktif dalam melakukan penelusuran menyeluruh terhadap bahan baku yang mereka gunakan. Dengan kata lain, perusahaan harus memastikan bahwa setiap bahan baku, termasuk minyak sawit, berasal dari sumber yang bertanggung jawab dan tidak berkontribusi pada kerusakan lingkungan.

Meskipun upaya untuk memproduksi minyak sawit secara berkelanjutan terus dilakukan, kemajuan yang dicapai sejauh ini masih terbatas. Hanya sekitar 20% dari total produksi minyak sawit dunia yang saat ini bersertifikasi sebagai minyak sawit berkelanjutan.

Selain itu, muncul kekhawatiran mengenai kelemahan dalam sistem sertifikasi yang ada, termasuk dalam rantai pasokan minyak sawit bersertifikat RSPO. Hal ini membuat konsep minyak sawit berkelanjutan yang selama ini dipercaya banyak pihak menjadi dipertanyakan.

Montalto menilai bahwa skema sertifikasi RSPO telah kehilangan fungsinya. Menurutnya, skema sertifikasi ini, yang seharusnya menjamin bahwa minyak sawit yang dihasilkan bebas dari deforestasi dan memenuhi standar keberlanjutan lainnya, telah melemah dan dikompromikan oleh industri.

Akibatnya, konsumen tidak lagi dapat sepenuhnya percaya pada klaim "berkelanjutan" yang tertera pada produk yang mengandung minyak sawit bersertifikasi RSPO.

Greenpeace menyoroti sebuah masalah serius: Inggris, sebagai negara konsumen besar, tidak memiliki aturan yang cukup kuat untuk mencegah impor produk yang terkait dengan perusakan hutan, termasuk minyak sawit.

Akibatnya, kegiatan produksi minyak sawit yang merusak hutan hujan, lahan gambut, dan habitat satwa seperti orangutan dapat terus berlanjut, bahkan jika bahan bakunya digunakan untuk produk yang dijual di Inggris.

Montalto juga menyatakan bahwa perusahaan yang mengklaim memproduksi produk berkelanjutan seharusnya bertanggung jawab untuk memastikan bahwa bahan baku yang mereka gunakan, termasuk minyak sawit, tidak berasal dari area yang baru saja dialihfungsikan menjadi perkebunan.

Mengutip Montalto, Spencer-Jolliffe menulis, “Sayangnya, banyak perusahaan yang telah berjanji untuk mencapai hal ini pada tahun 2020, namun hingga kini belum berhasil.”