Bahas Pemerataan Akses Air Bersih, WWF 2024 Antisipasi Dampak Perubahan Iklim

By Sheila Respati, Rabu, 9 Oktober 2024 | 11:35 WIB
WWF 2024 (DOK. Istimewa)

Nationalgeographic.co.id – Suhu bumi yang memanas dan bertambahnya populasi manusia membuat ketersediaan air kian menipis.

Dilansir dari Sciencedirect, suhu bumi yang memanas membuat udara menjadi lebih terik dan panas, sehingga air tanah mengalami penguapan yang cepat.

Selain itu, perubahan iklim yang mengakibatkan kekeringan dan banjir juga turut mengancam ketersediaan air bersih.

Di sisi lain, meningkatnya suhu bumi juga menyebabkan gletser dan lapisan es mencair lebih cepat, sehingga volume air laut meningkat.

Kenaikan permukaan air laut ini mengancam keberlangsungan hidup masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil karena rentan menimbulkan intrusi air laut yang akan mengubah air tawar menjadi air asin.

Fenomena berkurangnya krisis air bersih nyatanya sudah melanda di berbagai tempat. Berdasarkan data World Resources Institute (WRI) pada 2023, terdapat 25 negara terancam  krisis air. Sebagian besar negara berada di wilayah Timur Tengah, Afrika Utara dan Afrika Selatan.

Baca Juga: Kisah Yacuruna, Makhluk Air yang Kerap Menculik Manusia di Amazon

Namun, krisis air bersih di negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia sebenarnya sudah terjadi. Meski, berkurangnya ketersediaan air bersih masih belum banyak dibicarakan. 

Badan Pusat Statistik pada 2020 menyebutkan, ketersediaan air per kapita di Indonesia pada 2035 diprediksi tersisa 181.498 meter kubik per kapita per tahun.

Angka ini berkurang jauh dari ketersediaan air pada 2010 yang mencapai 265.420 meter kubik per kapita per tahun.

Setiap tahun, berbagai wilayah di Indonesia juga rentan mengalami krisis air akibat faktor perubahan cuaca. Kondisi ini sempat dialami oleh Kabupaten Jembrana dan Kabupaten Karangasem, Bali, pada Oktober 2023.

Fenomena el nino atau pemanasan suhu muka laut di Samudra Pasifik bagian tengah dan timur membuat sejumlah desa kesulitan menemukan sumber air bersih untuk aktivitas harian dan pertanian.

Saat el nino terjadi, wilayah tersebut juga mengalami penurunan curah hujan yang signifikan, sehingga menyebabkan sumber air seperti sungai, danau, dan waduk mengalami penurunan debit air atau kekeringan.

 Baca Juga: Mengapa Air di Danau Tidak Langsung Terserap ke dalam Tanah?

Populasi manusia menggerus jumlah air

Bertambahnya populasi manusia juga memicu pemakaian air tanah secara besar-besaran.

Dikutip dari laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) pada 2022, disebutkan bahwa kebutuhan air bersih penduduk bumi meningkat sebanyak satu persen setiap tahunnya.

Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan populasi yang pesat dan meningkatnya aktivitas manusia yang membutuhkan air dalam jumlah besar. Masalahnya, sumber daya air yang dapat manusia gunakan sangat terbatas.

Dari total air di dunia, sebanyak 96,5 persen air yang tersedia adalah air laut. Sisanya adalah saline water sebanyak 0,9 persen dan air tawar sebanyak 2,5 persen yang diperuntukkan untuk kegiatan manusia.

Dari air tawar itu, hanya 1,2 persen air permukaan dan 30,1 persen air tanah yang dapat digunakan. Sisanya, tersimpan dalam gletser dan bongkahan es sebanyak 68,7 persen. Dengan demikian, sumber daya air yang dapat digunakan sangat terbatas.

Baca Juga: Dunia Hewan: Trik Bertahan Hidup Kumbang Gurun Namib Memanen Air Udara

Air tanah memang dapat digunakan. Namun, penggunaan yang berlebihan dapat menyebabkan penurunan muka air tanah. Air laut juga mulai dimanfaatkan melalui desalinasi, tetapi belum semua negara mampu melakukan teknik pemurnian air tersebut.

Keberadaan sumber daya air juga bergantung pada kondisi geografis suatu lokasi. Bisa jadi suatu tempat berlimpah air, sedangkan di tempat lain sama sekali tidak ada sumber air.

Pentingnya konservasi air

Dengan pertumbuhan populasi dan aktivitas manusia yang semakin meningkat, permintaan terhadap sumber daya air menjadi semakin besar.

Untuk mencegah krisis air, konservasi air perlu dilaksanakan secepat mungkin agar manusia dapat mempertahankan keseimbangan ekosistem dan keberlanjutan lingkungan.

Sebagai informasi, konservasi air adalah upaya perlindungan, pengelolaan, dan pemanfaatan sumber daya air secara bijaksana dan berkelanjutan untuk menjamin ketersediaan air bersih dalam jumlah yang cukup dan kualitas yang baik.

Konservasi air dapat dilakukan melalui berbagai hal, mulai dari mengurangi penggunaan air, membuat sumur resapan, hingga melindungi daerah tangkapan air.

Baca Juga: Dunia Hewan: Tidur, Cara 'Ampuh' Beruang Air Selamat dari Kiamat

Guna mendukung konservasi dan menjaga tingkat ketahanan air, Dewan Air Dunia kembali menggelar Forum Air Dunia (World Water Forum/WWF) ke-10.

Agenda tiga tahun sekali ini digelar pada 18-25 Mei 2024 di Bali dan mempertemukan para pemangku kepentingan di sektor air, baik perwakilan negara maupun pihak swasta untuk berkolaborasi menemukan solusi jangka panjang terhadap tantangan global di bidang air.

Pada kesempatan tersebut, perwakilan negara dan instansi berkolaborasi untuk menemukan solusi jangka panjang terhadap tantangan global di bidang air.

Selain itu, forum ini juga sering menjadi ajang untuk memperkenalkan berbagai program dan inisiatif baru. Contohnya, program sumur resapan di Desa Sembung, Kecamatan Mengwi, Bali.  

Program sumur resapan yang diinisiasi oleh JANMA bersama The Coca-Cola Foundation (TCCF) -dilakukan untuk mencegah krisis air akibat faktor cuaca dan berkurangnya sumber resapan air.

Inisiatif  ini pun mendapat sambutan hangat dari Staf Khusus Menteri PUPR Bidang Manajemen Sumber Daya Air Firdaus Ali. Ia menyebut, program sumur resapan air dapat menjadi wadah bagi masyarakat setempat untuk mengakses air bersih.

Baca Juga: Sejarah Oktoberfest, Awalnya Merupakan Perayaan Pernikahan Kerajaan

“Program ini dapat membantu masyarakat untuk mendapat air bersih, khususnya saat terjadi musim kemarau atau perubahan iklim. Inisiatif ini semoga bisa menjadi contoh baik bagi masyarakat maupun instansi lainnya,” ujar Ali.

Di samping itu, terdapat juga program lainnya seperti pembangunan enam embung tadah hujan oleh Yayasan Obor Tani dan program Master Meter oleh USAID IUWASH Tangguh, keduanya didukung oleh TCCF. Embung tadah hujan dibangun di wilayah pertanian yang rentan mengalami kekeringan, sementara Master Meter ditujukan untuk masyarakat berpenghasilan rendah di Medan dan Surabaya.

Pratomo, Direktur Eksekutif Yayasan Obor Tani, menyampaikan bahwa berkat dukungan dari TCCF pihaknya telah membangun enam embung. “Menggunakan bahan yang tahan lama dan fleksibel yang bertindak sebagai pelindung kedap air, secara efektif mengurangi kehilangan air yang sering terjadi karena rembesan di embung," ujar Pratomo.

Sementara itu, berbicara di acara panel, Deputy Chief of Party USAID IUWASH Tangguh, Alifah Sri Lestari, mengatakan bahwa akses ke air berkualitas sangat terkait dengan pertumbuhan ekonomi dan sosial suatu negara.

“Dukungan kami untuk program Master Meter mencontohkan strategi kunci untuk mengatasi tantangan pasokan air bersih dan sanitasi di masyarakat berpenghasilan rendah, membantu misi pemerintah untuk mempercepat distribusi air bersih di Medan & Surabaya dan menyediakan solusi yang efektif.

Dengan dukungan TCCF untuk program sumur resapan, ribuan sumur telah dibangun untuk membantu mengelola, menyimpan, dan menyaring air ke dalam lapisan bawah tanah, dengan penelitian yang menunjukkan potensi peningkatan level air tanah,” tutup Alifah.