Indonesia Seharusnya Bisa Kenyang Tidak Hanya dengan Beras dan Terigu

By Utomo Priyambodo, Kamis, 10 Oktober 2024 | 19:11 WIB
Forum Bumi kembali digelar oleh Yayasan KEHATI bersama National Geographic Indonesia di House of Izara, Jakarta, pada Kamis, 10 Oktober 2024. Forum Bumi edisi kedua ini mengambil tajuk 'Bagaimana Masa Depan Ketahanan dan Keanekaragaman Pangan Indonesia?' (Febrizal/Natonal Geographic Indonesia)

Nationalgeographic.co.id—Masyarakat Indonesia seharusnya bisa kenyang dengan tidak hanya mengandalkan makanan yang terbuat dari beras dan terigu. Sebab, banyak jenis pangan lain di Indonesia yang bisa menjadi sumber karbohidrat penduduk lokal di berbagai daerah.

Sayangnya, kini sudah ada anggapan bias dari masyarakat Indonesia di wilayah barat hingga timur bahwa makanan pokok mereka haruslah nasi atau terbuat dari beras. Berdasarkan data historis sejak tahun 1954, kebutuhan beras sebagai sumber karbohidrat di Indonesia yang semula 53,5 persen, pada 2017 naik menjadi 74,6%.

Kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap gandum (bahan tepung terigu) sebagai sumber karbohidrat juga telah meningkat pesat. Yang tadinya tidak sampai 5% pada tahun 1954 kemudian menjadi 25,4% pada tahun 2017 dan naik lagi menjadi 28% pada 2022.  

"Kebutuhan beras dan gandum saat ini menjadi tren yang dominan," ujar Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat Kemendikbud, Sjamsul Hadi, dalam Forum Bumi yang digelar oleh Yayasan KEHATI bersama National Geographic Indonesia di House of Izara, Jakarta, pada Kamis, 10 Oktober 2024. Forum Bumi edisi kedua ini mengambil tajuk “Bagaimana Masa Depan Ketahanan dan Keanekaragaman Pangan Indonesia?”

"Yang saya sampaikan di sini berkaitan dampak negatif, berkaitan dengan keseragaman pangan melalui pendekatan beras," kata Sjamsul lagi.

Deretan dampak negatif yang Sjamsul maksud antara lain pergeseran pola konsumsi ke beras dan terigu ini meningkatkan ketergantungan Indonesia terhadap pangan dari impor dan masyarakat lokal di pulau-pulau kecil harus membayar beras lebih mahal.

Sebagai contoh, menurut data Badan Pangan Nasional pada 2023, harga eceran beras premium di Jawa adalah sekitar Rp15.000 per kilogram, tetapi harga beras yang sama itu sudah menjadi Rp17.000 sampai Rp20.000 per kilogram di tiga wilayah kepulauan, yakni Nusa Tenggara Timur, Wakatobi, dan Mentawai.

"Nah ini sangat membebani masyarakat walaupun pemerintah melalui program pangannya juga memberikan bantuan gitu ya dalam rangka untuk pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat," tegas Sjamsul.

Menurut Sjamsul, sistem pangan Indonesia harus berbasis pada keberagaman Nusantara, persisnya pada keragaman sumber hayati dan budaya pangan negeri ini. Setiap masyarakat lokal di masing-masing daerah memiliki kebudayaan dan sumber pangan lokal masing-masing yang harus dilestarikan dan diteladani untuk meningkatkan ketahanan pangan dan menjaga keragaman pangan nasional.

Sebagai contoh, masyarakat di daerah timur bisa mengonsumsi sagu atau sorgum seperti leluhur mereka. Tidak harus ikut-ikutan selalu makan beras seperti masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa pun punya sumber karbohidrat selain beras seperti singkong, jagung, dan umbi-umbian lainnya.

Anggapan bias bahwa pangan harus beras dan beras harus dari sawah haruslah ditinggalkan. Sebab, Indonesia sejatinya adalah negara dengan keanekaragaman hayati terbesar kedua di dunia. Termasuk juga dalam keragaman pangan.

Baca Juga: Ketahanan Pangan Memang Penting, Tapi Jangan Lupakan Ketahanan Nutrisi

"Sebenarnya Indonesia ini sangat kaya sekali, terdapat 72 varietas sumber karbohidrat, dan juga kacang-kacangan mencapai 100 varietas dan juga 450 varietas buah-buahan. Nah ini sebenarnya adalah momen untuk membudayakan kembali, untuk kembali ke pangan lokal," jelas Sjamsul.

Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat Kemendikbud, Sjamsul Hadi, menjelaskan pentingan melestarikan keragaman pangan lokal untuk ketahanan pangan nasional. (Febrizal/National Geographic Indonesia)

Manajer Program Pertanian Yayasan KEHATI, Puji Sumedi Hanggarawati, juga sependapat dengan Sjamsul bahwa kita perlu mengubah jargon "kalau tidak makan beras, berarti belum makan." Jargon ini sudah meluas ke seluruh Indonesia.

"Artinya itu sudah seragam banget, dari ujung barat sampai ujung timur. Meskipun mereka punya kekayaan pangan yang tadi, sumber karbohidratnya banyak dan beragam," ujar Puji.

Puji mewanti-wanti lunturnya pemanfaatan sumber pangan lokal di Indonesia bisa membuat varietas tanaman tersebut lenyap. "Ketika pangan lokal ini hilang maka budayanya hilang dan terlebih lagi keanekaragaman hayati ini juga hilang," ucap Puji.

Menurutnya penerapan kebijakan di tingkat daerah maupun nasional penting untuk melestarikan keragaman pangan lokal dan ketahanan pangan. Sebagai contoh, Yayasan KEHATI pernah mendukung Pemerintah Kabupaten Sangihe untuk menerapkan kebijakan two days no rice (dua hari tanpa beras) setiap bulannya di Pulau Sangihe.

Kebijakan ini meningkatkan penyerapan pangan lokal dan ekonomi masyarakat lokal, sekaligus menurunkan biaya impor beras dari pulau lain. Berdasarkan perhitungan Yayasan KEHATI, kebijakan tersebut bisa menghemat anggaran sekitar Rp65,7 miliar yang tadinya dipakai untuk membeli beras.

Lebih lanjut, jika masyarakat di seluruh Indonesia mau tidak makan beras selama sehari setiap minggunya dan menggantinya dengan ragam pangan lokal lain, sebanyak 3,37 ton beras dapat dihemat dalam setahun. Hal itu tentunya dapat menurunkan biaya impor beras nasional.

Koordinator Koalisi Rakyat Untuk Kedaulatan Pangan, Said Abdullah, juga menyoroti soal tingginya konsumsi beras di Indonesia. Said mengatakan, "Konsumsi beras kita naik terus rata rata 1,34% dalam kurun 1981 sampai 2019."

Persoalannya, menurut Said, "jika beban pangan menumpuk di beras semua dan laju pertumbuhan petani padi itu makin makin miskin, itu adalah sebuah kejahatan bagi saya. Karena kita melakukan hal yang nggak fair. Kita naruh beban gede banget kepada petani itu, tapi kita juga nggak aware soal kehidupan mereka."

Jadi, Said menegaskan, bila Indonesia mau melakukan transformasi sistem pangan, hal pertama yang harus diperhatikan adalah transformasi keadilan bagi para produsen pangan skala kecil di Indonesia. "Kalau mau minta transformasi sistem pangan, bagi saya menjadi lebih penting mendiskusikan soal bagaimana caranya para petani skala kecil itu, pekebun, peternak skala kecil itu bisa hidup dengan layak karena kita berhutang banyak pada mereka," ucapnya.

Koordinator Koalisi Rakyat Untuk Kedaulatan Pangan, Said Abdullah, menegaskan pentingnya asas keadilan dalam transformasi sistem pangan nasional. (Febrizal/National Geographic Indonesia)

Hal kedua, menurut Said, adalah menapaki soal keragaman pangan. Ia mengatakan bahwa Indonesia seharusnya menjadi negara yang paling bersyukur karena keanekaragaman hayatinya. Namun, sayangnya, konsumsi sagu dan berbagai pangan lokal lainnya justru menurun. Yang naik malah konsumsi gandum yang diimpor dari luar negeri.  

Mengutip kata-kata ironis dari Puji Samedi, "Kita kelimpahan, tetapi juga ternyata kita sangat miskin."

Koordinator Bidang Pangan Kementerian PPN/Bappenas, Ifan Martino, juga hadir dalam Forum Bumi ini. Dia menjelaskan rencana pembangunan jangka panjang nasional Indonesia dalam bidang pangan.

"Indonesia jumlah penduduknya masih akan terus naik sampai 2045. Sekitar 320 jutaan penduduk Indonesia akan membutuhkan pasokan pangan di 2045, sementara seperti kita ketahui, resources kita terbatas, pertanian kita terbatas, air kita terbatas. Jadi di sini ada ketidakseimbangan antara demand dan supply," papar Ifan.

Ifan mengutip data studi tahun 2021 yang menyelidiki seberapa mahal diet yang sehat di Indonesia. "Bapak/Ibu bisa lihat di sini, ternyata 48% masyarakat di Indonesia belum bisa membeli diet yang sehat." Jadi, "hampir setengah penduduk di Indonesia itu belum sehat."

Di sisi lain, menurut studi yang berbeda, "ternyata kita per orang di Indonesia menyumbang sebesar 115 sampai 185 kilogram sampah makanan per orang per tahun. Kalau dikonversi, emisinya 1.700 metrik ton," jelas Ifan lagi.

Angka-angka dari studi-studi di atas memperlihatkan ketidakadilan dan ketidakefektifan pangan di Indonesia. "Masih banyak daerah yang rentan, rawan pangan, sementara di satu sisi kita ternyata membuang-buang makanan sebanyak ini," ujar Ifan.

Koordinator Bidang Pangan Kementerian PPN/Bappenas, Ifan Martino, menjelaskan rencana pemerintah untuk melakukan regionalisasi sistem pangan yang lebih bersifat lokal berbasis kearifan lokal masing-masing daerah di Indonesia. (Febrizal/National Geographic Indonesia)

Dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), isu ketahanan pangan diuraikan di beberapa poin. "Tapi dua yang utama adalah pertama di agenda transformasi ekonomi, bagaimana kita perlu meningkatkan produktivitas ekonomi kita, salah satunya melalui peningkatan produktivitas sektor pertanian. Kemudian ketahanan sosial, budaya, dan ekologi, ini lebih banyak tentang ketahanan pangan."

RPJPN juga memuat topik keberlanjutan produksi pangan yang mencakup pertanian konservasi yang adaptif, pangan lokal, pangan akuatik sebagai salah satu sumber pangan baru kita, dan juga sumber-sumber nutrisi yang lebih sesuai dengan potensi lokal. "Kemudian yang terakhir itu tata kelola sistem pangan," imbuh Ifan

Dia menegaskan bahwa RPJPN bersifat sangat makro dan hanya mencantumkan arah-arah kebijakan besar. "Secara detail, secara yang lebih operasional, [RPJPN] itu akan diterjemahkan di RPJMN [Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional] yang sifatnya lima tahunan dan lebih operasional lagi dengan budget yang lebih fix itu akan ada di rencana pembangunan yang sifatnya tahunan."

Ifan juga menegaskan bahwa pemerintah Indonesia akan melakukan regionalisasi sistem pangan. "Nggak lagi yang sifatnya nasional, tapi lebih lokal. Sesuai dengan potensi lokalnya, kearifan lokalnya, dan keanekaragaman pangannya."