Industri Sawit Masih Picu Deforestasi, Lahan Gambut Tak Luput Jadi Sasaran

By Ade S, Jumat, 11 Oktober 2024 | 08:03 WIB
Industri sawit terus mengancam hutan Indonesia, terutama lahan gambut. Temukan fakta terbaru tentang dampaknya pada lingkungan dan iklim. (National Geographic Indonesia/Donny Fernando)

Nationalgeographic.co.id—Minyak sawit, komoditas yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia, ternyata menyimpan paradoks yang mendalam.

Di satu sisi, ia memberikan devisa negara dan lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Namun di sisi lain, ekspansi perkebunan sawit juga mengancam kelestarian lingkungan, terutama hutan dan lahan gambut.

Upaya untuk menekan laju deforestasi terkait industri minyak sawit memang sudah dilakukan. Bahkan bisa dibilang, upaya tersebut sudah jauh signifikan dibanding beberapa dekade lalu.

Namun, upaya tersebut masih jauh dari cukup untuk menekan laju kerusakan lingkungan termasuk sumbangannya terhadap perubahan iklim.

Bagaimana hal tersebut bisa terjadi? Mari kita simak uraian lengkap berdasarkan laporan dari Stockholm Environment Institute (SEI), suatu lembaga penelitian nirlaba internasional yang menangani tantangan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan, berikut ini.

Dua sisi mata uang industri minyak sawit

Dengan produksi minyak sawit mentah mencapai angka fantastis 47 juta ton pada tahun 2023, Indonesia semakin memantapkan posisinya sebagai pemimpin pasar global. Negara ini menyumbang 54% dari total ekspor minyak sawit dunia, sebuah prestasi yang menegaskan dominasinya di sektor ini.

Kontribusi industri minyak sawit terhadap perekonomian Indonesia pun sangat signifikan, yakni sebesar 4,5% dari total Produk Domestik Bruto (PDB). Lebih dari itu, sektor ini menjadi salah satu penyumbang lapangan pekerjaan terbesar, dengan melibatkan lebih dari 16,2 juta orang baik secara langsung maupun tidak langsung.

Pertumbuhan pesat ini didorong oleh tingginya permintaan global akan produk berbasis minyak sawit, meskipun pasar domestik juga menunjukkan peningkatan yang signifikan.

Meskipun perkebunan kelapa sawit telah menjadi motor penggerak perekonomian Indonesia, namun pertumbuhannya yang pesat telah menimbulkan dampak lingkungan yang serius. Dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, sekitar 3 juta hektar hutan tua telah ditebang untuk memenuhi kebutuhan industri kelapa sawit.

Deforestasi skala besar ini tidak hanya mengancam kelestarian hutan dan keanekaragaman hayati, tetapi juga berkontribusi pada perubahan iklim global melalui emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari pembakaran hutan dan pengeringan lahan gambut.

Baca Juga: Minyak Mikroba, Calon Penantang Minyak Sawit yang Diklaim Lebih Ramah Lingkungan

Selain itu, kualitas udara di sekitar kawasan perkebunan kelapa sawit juga cenderung memburuk akibat polusi udara.

Belakangan Indonesia diketahui telah berhasil mencapai kemajuan signifikan dalam upaya mengurangi laju deforestasi terkait industri minyak sawit dalam satu dekade terakhir.

Data menunjukkan bahwa rata-rata deforestasi untuk produksi minyak sawit industri pada periode 2018-2022 hanya sebesar 32.406 hektar per tahun. Angka tersebut jauh di bawah puncaknya pada periode 2008-2012, yang selalu berada di atas angka 100 ribu hektar setiap tahunnya.

Prestasi ini terbilang mengagumkan, mengingat produksi minyak sawit Indonesia terus meningkat selama periode tersebut. Meskipun penurunan harga minyak sawit sempat berkontribusi pada melambatnya laju deforestasi, namun lonjakan harga belakangan ini tidak memicu peningkatan deforestasi secara signifikan.

Namun demikian, data tahun 2022 menunjukkan sedikit peningkatan sebesar 18% dalam deforestasi terkait minyak sawit industri, meski tetap berada di bawah rata-rata tahun-tahun sebelumnya (2001-2021).

Meskipun demikian, tantangan masih tetap ada. Sekitar 2,4 juta hektar hutan utuh masih berada di dalam konsesi minyak sawit di Indonesia. Luas lahan hutan yang cukup besar ini menyimpan potensi risiko jika tidak dikelola dengan baik, mengingat permintaan global terhadap produk minyak sawit yang terus meningkat.

Oleh karena itu, tantangan utama ke depan adalah bagaimana memenuhi kebutuhan pasar yang terus berkembang tanpa mengorbankan kelestarian hutan dan lingkungan.

Upaya yang belum maksimal

Meskipun secara keseluruhan Indonesia telah berhasil mengurangi laju deforestasi untuk produksi minyak sawit, namun distribusi deforestasi di berbagai wilayah masih sangat tidak merata.

Fokus deforestasi dalam beberapa tahun terakhir cenderung terpusat di pulau Kalimantan, khususnya di empat provinsi kaya hutan yang menyumbang 72% dari total deforestasi untuk minyak sawit di Indonesia pada periode 2018-2022.

Sementara itu, pulau Sumatera yang selama ini dikenal sebagai pusat produksi minyak sawit juga mengalami peningkatan signifikan dalam laju deforestasi pada tahun 2022, meningkat hingga 3,7 kali lipat dibandingkan tahun 2020. Kenaikan yang tajam ini terutama terjadi di sejumlah konsesi di Sumatera Utara.

Baca Juga: Mungkinkah Konsep Minyak Sawit Berkelanjutan Benar-benar Bisa Terwujud?

Meskipun demikian, jika dibandingkan dengan Kalimantan, kontribusi Sumatera dan Papua (sebagai wilayah baru pengembangan minyak sawit) terhadap total deforestasi nasional pada periode 2018-2022 hanya sebesar 22%.

Sektor minyak sawit Indonesia telah menunjukkan komitmen yang kuat terhadap pelestarian lingkungan dengan mengadopsi kebijakan nol deforestasi (ZDC) secara luas. Lebih dari 85% ekspor minyak sawit yang diperdagangkan saat ini berasal dari perusahaan yang telah secara resmi menyatakan komitmen mereka terhadap ZDC.

Transparansi menjadi kunci dalam mewujudkan komitmen ini. Perusahaan-perusahaan yang telah mengadopsi ZDC secara terbuka membagikan informasi mengenai asal-usul minyak sawit yang mereka produksi.

Pada tahun 2021-2022, sebanyak 91% ekspor minyak sawit olahan yang diamati dapat ditelusuri kembali ke kilang-kilang yang secara publik melaporkan sumber minyak sawit mentah mereka. Dengan memanfaatkan data ini dan mengintegrasikannya ke dalam model rantai pasok Trase, tim SEI dapat melakukan analisis yang lebih mendalam untuk membandingkan kinerja lingkungan antara perusahaan yang telah mengadopsi ZDC dengan mereka yang belum.

Trase sendiri merupakan sebuah inisiatif nirlaba yang didirikan pada tahun 2015 oleh Stockholm Environment Institute dan Global Canopy, bertujuan untuk membawa transparansi ke dalam isu deforestasi dan perdagangan komoditas pertanian.

Hasil analisis SEI menunjukkan bahwa tingkat deforestasi yang terkait dengan setiap ton minyak sawit yang diekspor tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan antara perusahaan yang telah mengadopsi komitmen nol deforestasi (ZDC) dengan perusahaan yang belum.

Rata-rata, setiap 1.000 ton minyak sawit yang diekspor oleh perusahaan dengan ZDC dikaitkan dengan deforestasi seluas 0,27 hektar, sedangkan untuk perusahaan tanpa ZDC angka ini adalah 0,23 hektar.

Temuan ini mengindikasikan bahwa upaya penurunan deforestasi telah berhasil diterapkan secara lebih luas di seluruh sektor minyak sawit Indonesia, bukan hanya pada perusahaan yang telah berkomitmen terhadap ZDC.

Hal ini terlihat jelas jika kita membandingkannya dengan tingkat deforestasi pada tahun 2012, di mana setiap 1.000 ton minyak sawit yang diekspor rata-rata dikaitkan dengan deforestasi seluas 8,7 hektar.

Kebutuhan domestik Indonesia yang meningkat

Selama periode 2013 hingga 2022, pasar ekspor minyak sawit Indonesia didominasi oleh tiga negara utama, yakni India, China, dan Uni Eropa. Ketiga negara ini secara kolektif menguasai sekitar 47% dari total ekspor minyak sawit Indonesia dalam periode tersebut.

Baca Juga: Ketika Hutan Sumatra Menjelma Perkebunan, Bagaimana Nasib Jaring Makanan?

Belakangan, dinamika perdagangan minyak sawit Indonesia ke ketiga negara ini mengalami perubahan yang signifikan. Pada tahun 2013, India dan Uni Eropa menjadi dua importir terbesar minyak sawit Indonesia, masing-masing menguasai 29% dan 17% dari total ekspor.

Namun, pada tahun 2022, pangsa pasar kedua negara ini mengalami penurunan menjadi 12% dan 10% saja. Sebaliknya, China berhasil meningkatkan pangsa pasarnya secara signifikan dari 11% pada tahun 2013 menjadi 14% pada tahun 2022, sehingga menjadikannya sebagai importir minyak sawit Indonesia terbesar.

Selain perubahan yang terjadi pada pasar ekspor, terdapat tren yang menarik dalam konsumsi minyak sawit di dalam negeri. Penggunaan minyak sawit dalam negeri mengalami peningkatan yang signifikan dari 32% dari total produksi pada tahun 2018 menjadi 44% pada tahun 2022.

Data dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) tersebut menunjukan peningkatan konsumsi domestik ini didorong oleh meningkatnya permintaan untuk minyak sawit dalam industri biodiesel dan oleokimia, serta untuk produk makanan.

Keputusan pemerintah Indonesia untuk memprioritaskan penggunaan minyak sawit untuk memenuhi kebutuhan domestik, terutama untuk industri biodiesel dan oleokimia, telah memberikan dampak yang signifikan terhadap pasar minyak sawit.

Kebijakan-kebijakan yang dirancang untuk mengalihkan pasokan minyak sawit dari pasar ekspor ke pasar domestik, seperti kuota ekspor dan pungutan ekspor, telah berhasil menekan harga minyak sawit di tingkat produsen.

Namun, di sisi lain, kebijakan ini juga telah memicu kenaikan harga minyak goreng di tingkat konsumen, terutama pada akhir tahun 2021 dan awal tahun 2022.

Ini mendorong pemerintah untuk mengadopsi berbagai kebijakan yang bertujuan memfokuskan minyak sawit pada pasar domestik, termasuk penerapan kuota, pungutan, dan larangan ekspor. Kebijakan dan regulasi ini kemungkinan akan mendukung pertumbuhan konsumsi domestik yang berkelanjutan melebihi tahun 2022.

Meskipun demikian, pemerintah tetap berkomitmen untuk mendorong hilirisasi industri dan meningkatkan nilai tambah dari komoditas minyak sawit.

Dengan adanya kebijakan yang lebih terarah dan koordinasi yang baik antara pemerintah, pelaku industri, dan pemangku kepentingan lainnya, diharapkan dapat tercipta keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan domestik dan daya saing produk minyak sawit di pasar global.

Analisis SEI menunjukkan bahwa meskipun India, China, dan Indonesia sendiri merupakan pasar minyak sawit terbesar untuk minyak sawit Indonesia, namun ketiga negara ini juga memiliki jejak lingkungan yang lebih signifikan dibandingkan dengan pasar-pasar lainnya jika dikaitkan dengan sistem rantai pasok.

Baca Juga: Untuk Keberlanjutan Lingkungan, Pola Makan Vegan Bukanlah yang Terbaik

Data menunjukkan bahwa minyak sawit yang diekspor ke ketiga negara tersebut cenderung berasal dari rantai pasok dengan tingkat paparan deforestasi yang lebih tinggi, sekitar dua kali lipat dibandingkan dengan minyak sawit yang diekspor ke Uni Eropa.

Dengan volume impor yang besar, kontribusi ketiga negara ini terhadap total deforestasi akibat produksi minyak sawit di Indonesia sangat signifikan. Sekitar 75% dari total paparan deforestasi akibat produksi minyak sawit Indonesia dapat dikaitkan dengan minyak sawit yang diekspor ke India, China, dan Indonesia sendiri.

Sebaliknya, meskipun pasar Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Inggris memiliki persentase yang sangat tinggi dari minyak sawit yang bersumber dari perusahaan dengan komitmen nol deforestasi (98%), namun kontribusi ketiga pasar ini terhadap total produksi minyak sawit Indonesia hanya sebesar 9% pada tahun 2022.

Sumbangan besar terhadap emisi gas rumah kaca

Produksi minyak sawit di Indonesia telah diidentifikasi sebagai salah satu kontributor utama emisi gas rumah kaca (GRK) di negara ini. Praktik-praktik seperti pembukaan lahan gambut, pengeringan lahan gambut, dan kebakaran hutan telah menyebabkan pelepasan karbon dalam jumlah besar ke atmosfer.

Studi SEI menunjukkan bahwa sektor minyak sawit di Indonesia rata-rata melepaskan 220 juta ton setara karbon dioksida setiap tahunnya selama periode 2015-2022. Angka ini setara dengan hampir seperlima dari total emisi GRK Indonesia pada tahun 2022, yang mencapai 1,23 gigaton.

Analisis lebih lanjut mengungkapkan bahwa meskipun hanya 14% dari total perkebunan kelapa sawit (2,2 juta ha) di Indonesia yang berada di atas lahan gambut, namun lahan gambut ini berkontribusi secara signifikan terhadap total emisi sektor minyak sawit.

Penurunan permukaan tanah gambut dan kebakaran hutan yang sering terjadi di lahan gambut yang telah dikeringkan bertanggung jawab atas hampir 92% dari total emisi GRK sektor minyak sawit selama periode yang sama.

Fluktuasi emisi GRK sektor minyak sawit sebagian besar memang dipengaruhi oleh fenomena iklim seperti El Nino pada 2015 dan 2019 yang memicu kekeringan dan meningkatkan risiko kebakaran hutan. Namun, terlepas dari fluktuasi tahunan, tingkat emisi secara keseluruhan tetap relatif tinggi.

Tantangan ke depan adalah bagaimana pemerintah Indonesia dan industri minyak sawit dapat mengembangkan strategi yang efektif untuk mengurangi emisi GRK, sambil tetap menjaga keberlanjutan produksi dan memenuhi permintaan pasar yang terus meningkat.