Perubahan Cuaca yang Tidak Biasa Sebabkan Sebagian Sahara Menghijau

By Sysilia Tanhati, Senin, 14 Oktober 2024 | 14:00 WIB
(Ilustrasi) Bagian-bagian Gurun Sahara berubah menjadi hijau. Hal ini disebabkan oleh perubahan cuaca yang tidak biasa. (Manu25/CC BY-SA 2.5)

Nationalgeographic.co.id—Merupakan salah satu wilayah terkering di bumi, beberapa bagian dari Gurun Sahara mulai menghijau. Hal ini disebabkan oleh hujan lebat menyebabkan tumbuhnya vegetasi di lanskap yang biasanya tandus.

Gambar satelit yang dirilis oleh NASA menunjukkan kantong-kantong kehidupan tanaman bermunculan di seluruh Gurun Sahara. Peristiwa ini terjadi setelah siklon ekstratropis membasahi sebagian besar wilayah Afrika Barat Laut pada tanggal 7 September dan 8 September.

Bentang alam tanpa pepohonan di Maroko, Aljazair, Tunisia, dan Libia merupakan wilayah yang jarang menerima hujan. Kini kita dapat menemukan jejak-jejak hijau bermunculan, menurut NASA Earth Observatory.

Tanaman tersebut meliputi semak dan pohon di daerah dataran rendah, seperti dasar sungai, ungkap Sylwia Trzaska, seorang peneliti variabilitas iklim di Columbia Climate School.

Bukanlah sesuatu yang aneh bagi tanaman untuk tumbuh di Sahara ketika hujan deras turun. Hal ini telah ditunjukkan oleh penelitian sebelumnya.

Ketika daerah-daerah kering di bagian Afrika ini mendapat hujan lebat, flora akan segera meresponsnya, kata Peter de Menocal, presiden dan direktur Woods Hole Oceanographic Institution.

“Ketika hujan yang sangat lebat terjadi, bukit pasir berubah menjadi padang yang sangat hijau dan berbunga. Tanaman akan tumbuh dengan cepat dalam waktu singkat,” katanya.

Sahara dulunya merupakan rumah permanen bagi tanaman hijau yang rimbun. Antara 11.000 dan 5.000 tahun yang lalu, Sahara ditutupi dengan vegetasi dan danau

“Tampak seperti gurun, dan kemudian ketika hujan turun, semuanya mulai menghijau dengan sangat cepat,” kata Trzaska.

Selain itu, danau-danau yang biasanya kosong kini terisi. Antara tahun 2000 dan 2021, Sebkha el Melah, sebuah dataran garam di Aljazair bagian tengah, hanya terisi enam kali di masa lalu.

Analisis satelit awal menunjukkan akumulasi curah hujan mencapai 15 cm di area yang terkena dampak. Beberapa area di Sahara hanya menerima beberapa inci hujan per tahun.

Baca Juga: Gurun Sahara Pernah Menjadi Sabana nan Hijau, Mengapa Berubah?

Curah hujan tertentu setiap musim panas adalah hal yang normal karena musim Monsun Afrika Barat. “Namun tidak biasa bagi Zona Konvergensi Intertropis (sabuk hujan tropis) untuk mencapai sejauh utara Sahara,” kata De Menocal.

Pergeseran jalur badai ke utara membantu sistem yang sedang berkembang membuang curah hujan selama setahun di beberapa area hanya dalam hitungan hari. Sistem tersebut terbentuk di atas Samudra Atlantik dan meluas jauh ke selatan.

Kemudian sistem itu menarik uap air dari Afrika khatulistiwa ke Sahara utara. Sejak pertengahan Juli, Zona Konvergensi Intertropis telah mengirimkan badai ke Sahara selatan.

Sebagian besar hujan deras turun di daerah yang jarang penduduknya. Namun hujan juga menelan korban.

Lebih dari 1.000 orang telah meninggal karena banjir di beberapa bagian Afrika Barat dan Tengah, termasuk Chad, Nigeria, Mali, dan Niger. Sekitar 4 juta orang di 14 negara Afrika telah terkena dampak banjir.

Suhu laut yang mencapai rekor tinggi di Samudra Atlantik utara berkontribusi terhadap pergeseran sabuk hujan. Pada akhirnya, membawa hujan lebat yang khas di wilayah khatulistiwa lebih jauh ke utara.

Transisi dari El Nino ke La Nina kemungkinan memengaruhi seberapa jauh Zona Konvergensi Intertropis bergerak ke utara.

Perubahan iklim dapat menyebabkan sabuk hujan bergeser lebih jauh ke utara di masa mendatang. Tapi apa yang terjadi jika suhu laut di belahan dunia lain mendekati suhu Atlantik? Bila itu terjadi, sabuk hujan kemungkinan akan bergeser kembali ke bawah, bahkan di selatan khatulistiwa.

“Beberapa dekade dari sekarang, saat lautan yang lebih besar menghangat secara lebih merata. Kami memperkirakan sabuk hujan akan benar-benar kembali ke posisi semula dan bahkan dapat bergeser ke belahan bumi lainnya,” tambah De Menocal.

Pergeseran Zona Konvergensi Intertropis ke utara di seluruh Afrika Barat kemungkinan berkontribusi terhadap berkurangnya aktivitas tropis di Cekungan Atlantik.

Gangguan yang bergerak melintasi wilayah ini kemudian memasuki Atlantik melalui perairan yang relatif lebih dingin. Dengan paparan udara kering yang lebih besar dari garis lintang tengah, kemungkinan terjadinya badai menjadi terhalang.

Perubahan dan bencana

Pergeseran ini tidak hanya mengubah gurun menjadi hijau, tetapi juga mengganggu musim badai Atlantik. Perubahan ini berdampak besar selama beberapa bulan terakhir bagi beberapa negara Afrika.

Negara-negara yang seharusnya mendapatkan lebih banyak curah hujan justru mendapatkan lebih sedikit curah hujan karena badai bergeser ke utara. Sebagian wilayah Nigeria dan Kamerun biasanya diguyur hujan setidaknya 50-75 cm dari Juli hingga September. Namun wilayah tersebut hanya menerima antara 50 dan 80% dari curah hujan biasanya sejak pertengahan Juli.

Lebih jauh ke utara, wilayah yang biasanya lebih kering telah menerima lebih dari 400% curah hujan biasanya sejak pertengahan Juli. Wilayah ini termasuk sebagian wilayah Niger, Chad, Sudan, Libya, dan Mesir selatan.

Ambil contoh wilayah utara Chad, yang merupakan bagian dari Gurun Sahara. Biasanya hanya turun hujan hingga 2,54 cm di sini dari sekitar pertengahan Juli hingga awal September. Namun, menurut data Climate Prediction Center, curah hujan antara 7,5 hingga 20 cm telah turun dalam jangka waktu yang sama tahun ini.

Curah hujan yang berlebihan menyebabkan banjir yang dahsyat yang menewaskan banyak orang. (Chad Staddon/CC BY-SA 4.0)

Curah hujan yang berlebihan ini menyebabkan banjir yang dahsyat di Chad. Hampir 1,5 juta orang telah terkena dampak. Sedikitnya 340 orang telah tewas akibat banjir di negara itu musim panas 2024.

Banjir yang mengerikan juga telah menewaskan lebih dari 220 orang dan membuat ratusan ribu orang mengungsi di Nigeria. Terutama di wilayah utara negara yang biasanya lebih kering.

Banjir yang mematikan juga mengguncang Sudan pada akhir Agustus, menewaskan sedikitnya 132 orang. Banjir tersebut juga menghancurkan lebih dari 12.000 rumah.

Peristiwa banjir seperti ini kemungkinan memiliki jejak perubahan iklim, menurut Karsten Haustein. Ia adalah peneliti iklim di Universitas Leipzig. Haustein melakukan studi atribusi untuk menentukan sejauh mana perubahan iklim telah memengaruhi peristiwa cuaca tertentu.

Saat bumi menghangat, bumi akan mampu menahan lebih banyak uap air, Haustien menjelaskan. Hal ini dapat menyebabkan musim hujan yang lebih basah secara keseluruhan dan banjir yang lebih dahsyat seperti musim ini.

Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan seberapa besar peran perubahan iklim dalam setiap kejadian banjir. Namun hal itu bisa menjadi pertanda akan terjadinya peristiwa-peristiwa yang akan datang.