Bagaimana Raja Ashoka 'Tiba'-tiba' Jadi Cinta Damai Justru karena Perang?

By Galih Pranata, Rabu, 23 Oktober 2024 | 14:00 WIB
Relief yang menggambarkan kunjungan Ashoka ke stupa Ramagrama. Setelah perang yang mengerikan, traumatiknya menjadikannya seorang raja bijaksana. (Wikimedia Commons)

Menurut catatan sejarah, pertempuran dengan Kalinga adalah salah satu pertempuran terbesar dan paling mematikan dalam sejarah India, yang menelan korban 100.000 hingga 300.000 jiwa.

Menyaksikan pertumpahan darah dan penderitaan besar yang terjadi setelahnya telah memberikan dampak emosional yang luar biasa bagi Ashoka. Trauma akibat perang telah mengubah cara pandangnya menjadi cinta damai dan bijaksana.

Lantas ia pun mulai menolak penaklukan militer dan kekerasan, hingga menulis dalam Dekrit Batu 13 bahwa "(ia) sangat sedih dengan pembunuhan, kematian, dan deportasi tawanan yang terjadi ketika negara yang belum ditaklukkannya (pada gilirannya) ditaklukkan."

Jika dahulu Kekaisaran Mauryan terbiasa dengan kebijakan luar negeri yang serba kekerasan dan pertumpahan darah sebagai ciri khas kerajaannya, lantas menggantinya dengan kebijakan hidup berdampingan secara damai.

Ashoka menuliskan kata-katanya yang mengesankan pada dekrit ke-4, ia mengatakan bahwa dengan pemerintahannya 'suara genderang perang telah digantikan oleh suara etika'.

Ashoka yang telah berubah memutuskan untuk membagikan pandangan barunya tentang kehidupan melalui pesan-pesan yang diukir di batu-batu berdiri dan pilar-pilar batu raksasa yang terletak di sekitar kekaisaran hingga sepanjang rute perdagangan yang sibuk.

Ia ingin kata-katanya dapat menginspirasi orang-orang lintas generasi. Di akhir prasasti batu kelima, Ashoka berkata, “Prasasti tentang etika ini ditulis di atas batu supaya bisa bertahan lama dan agar keturunanku dapat bertindak sesuai dengan prasasti tersebut.

Agama Buddha berkembang pesat pada Kekaisaran Maurya, terutama pada masa Ashoka. Terbukti dengan adanya pilar Ashoka yang tersebar dalam sejarah India, yang berfungsi menyebarkan darma Buddha ke seluruh negeri. (Bpilgrim/Wikimedia)

Pesan-pesan Ashoka yang terpahat pada prasasti tidak ditulis dalam bahasa Sansekerta (bahasa resmi), tetapi dalam dialek-dialek daerah seperti Brahmi dan Kharoshti sehingga dapat dipahami secara luas.

Misalnya juga di kawasan lain, dekrit Ashoka di dekat Kandahar modern di Afghanistan ditulis dalam bahasa Yunani dan Aram—itu adalah wilayah yang pernah berada di bawah kekuasaan Alexander Agung.

Melalui dekritnya, Ashoka juga mempromosikan kebijakan saling menghormati dan toleransi bagi orang-orang yang berbeda agama. Dalam dekritnya yang ke-7, ia mengatakan, "raja menginginkan agar semua tradisi berlaku di mana-mana."

Baca Juga: Nelayan Berlatih Mendata dan Mengidentifikasi Spesies Ikan Raja Ampat