Bagaimana Raja Ashoka 'Tiba'-tiba' Jadi Cinta Damai Justru karena Perang?

By Galih Pranata, Rabu, 23 Oktober 2024 | 14:00 WIB
Relief yang menggambarkan kunjungan Ashoka ke stupa Ramagrama. Setelah perang yang mengerikan, traumatiknya menjadikannya seorang raja bijaksana. (Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.grid.id—Di atas sebuah batu besar berwarna abu-abu di lembah Khyber, Pakistan yang tersapu angin sepoi-sepoi, tertulis sedikit kata untuk generasi mendatang: 'Melakukan kebaikan itu sulit—Bahkan memulai berbuat baik itu sulit.'

Ya, kata-kata bijaksana akan dituliskan, dikekalkan dalam prasasti titah seorang raja yang bijaksana dari Kekaisaran Maurya, Ashoka. Ialah kaisar ketiga yang memerintah salah satu kekaisaran terbesar, paling kosmopolitan, dan terkuat di Asia Selatan.

Ashoka dikenang sebagai salah satu penguasa paling teladan dalam sejarah dunia karena penaklukan geografisnya dan pesan-pesan toleransi yang ia sebarkan ke seluruh kekaisarannya yang luas, dan beberapa di antaranya dikekalkan dalam prasasti.

Namun, dari sekian besar jejaknya, dekrit Ashoka yang ditemukan pada abad ke-19 adalah kunci ketenarannya hari ini. Hingga tahun 1837, ketika sarjana orientalis James Princep menguraikan dekrit-dekrit ini, Ashoka hanyalah seorang kaisar India kuno.

Menariknya, "ketika dekrit tersebut mulai diuraikan oleh Princep, tidak seorang pun tahu siapa penulisnya. Karena prasasti pertama tidak menyebutkan Ashoka, prasasti tersebut menyebutkan 'Piyadasi' (Kekasih para Dewa)," tulis Sanchari Pal.

Pal menulisnya kepada The Better India dalam artikel berjudul Horrified by The Cruelty of War, Emperor Ashoka Built an Infrastructure of Goodness, yang diterbitkan pada 5 Desember 2021.

Butuh waktu lebih dari tujuh dekade bagi dunia untuk memahami bahwa Ashoka adalah Piyadasi. Hal ini dimungkinkan oleh penemuan prasasti lain pada tahun 1915 yang menyebutkan bahwa Kaisar menyebut dirinya sebagai 'Ashoka Piyadasi'.

Meskipun banyak permukaan batu tersebut telah terkikis, pesan Ashoka masih dapat ditemukan di bebatuan di seluruh India—di sepanjang perbatasan kerajaannya, dari lembah Khyber hingga India Selatan.

Untuk memahami pesan-pesan Ashoka, kita perlu menelusuri kisah transformasi yang luar biasa di baliknya—sebuah kisah yang dimulai pada tahun 270 SM, delapan tahun setelah Ashoka berkuasa.

Dalam perang pertamanya setelah naik takhta, Ashoka menyerbu Kalinga, sebuah kerajaan feodal independen yang terletak di pantai timur (meliputi Odisha saat ini dan Andhra Pradesh utara—berbeda dengan Kerajaan Kalingga di Pesisir Utara Jawa Tengah).

"Kemenangan itu memberinya kekaisaran yang lebih besar daripada pendahulunya, tetapi harus dibayar dengan harga yang mahal," terus Sanchari Pal.

Baca Juga: Bayangan 'Raja Kafir' Buat Melayu-Nusantara Menggandeng Ottoman

Menurut catatan sejarah, pertempuran dengan Kalinga adalah salah satu pertempuran terbesar dan paling mematikan dalam sejarah India, yang menelan korban 100.000 hingga 300.000 jiwa.

Menyaksikan pertumpahan darah dan penderitaan besar yang terjadi setelahnya telah memberikan dampak emosional yang luar biasa bagi Ashoka. Trauma akibat perang telah mengubah cara pandangnya menjadi cinta damai dan bijaksana.

Lantas ia pun mulai menolak penaklukan militer dan kekerasan, hingga menulis dalam Dekrit Batu 13 bahwa "(ia) sangat sedih dengan pembunuhan, kematian, dan deportasi tawanan yang terjadi ketika negara yang belum ditaklukkannya (pada gilirannya) ditaklukkan."

Jika dahulu Kekaisaran Mauryan terbiasa dengan kebijakan luar negeri yang serba kekerasan dan pertumpahan darah sebagai ciri khas kerajaannya, lantas menggantinya dengan kebijakan hidup berdampingan secara damai.

Ashoka menuliskan kata-katanya yang mengesankan pada dekrit ke-4, ia mengatakan bahwa dengan pemerintahannya 'suara genderang perang telah digantikan oleh suara etika'.

Ashoka yang telah berubah memutuskan untuk membagikan pandangan barunya tentang kehidupan melalui pesan-pesan yang diukir di batu-batu berdiri dan pilar-pilar batu raksasa yang terletak di sekitar kekaisaran hingga sepanjang rute perdagangan yang sibuk.

Ia ingin kata-katanya dapat menginspirasi orang-orang lintas generasi. Di akhir prasasti batu kelima, Ashoka berkata, “Prasasti tentang etika ini ditulis di atas batu supaya bisa bertahan lama dan agar keturunanku dapat bertindak sesuai dengan prasasti tersebut.

Agama Buddha berkembang pesat pada Kekaisaran Maurya, terutama pada masa Ashoka. Terbukti dengan adanya pilar Ashoka yang tersebar dalam sejarah India, yang berfungsi menyebarkan darma Buddha ke seluruh negeri. (Bpilgrim/Wikimedia)

Pesan-pesan Ashoka yang terpahat pada prasasti tidak ditulis dalam bahasa Sansekerta (bahasa resmi), tetapi dalam dialek-dialek daerah seperti Brahmi dan Kharoshti sehingga dapat dipahami secara luas.

Misalnya juga di kawasan lain, dekrit Ashoka di dekat Kandahar modern di Afghanistan ditulis dalam bahasa Yunani dan Aram—itu adalah wilayah yang pernah berada di bawah kekuasaan Alexander Agung.

Melalui dekritnya, Ashoka juga mempromosikan kebijakan saling menghormati dan toleransi bagi orang-orang yang berbeda agama. Dalam dekritnya yang ke-7, ia mengatakan, "raja menginginkan agar semua tradisi berlaku di mana-mana."

Baca Juga: Nelayan Berlatih Mendata dan Mengidentifikasi Spesies Ikan Raja Ampat

Dalam dekritnya yang ke-11, Raja Ashoka menyatakan bahwa kebaikan mencakup kewajiban mengasihi dan menghargai kepada mereka yang secara sosial berada di bawah kita, dan kepada mereka yang setara dengan kita.

Inti dari dekrit tersebut, katanya, kita berutang 'rasa hormat kepada budak dan pelayan, dan kemurahan hati kepada teman dan kenalan.'

Akan tetapi, ia bukanlah seorang penguasa yang hanya peduli dengan etika spiritual dan filantropis.

Dengan mengelola kekaisaran secara efisien melalui pemerintahan terpusat dari ibu kota Maurya di Pataliputra, ia menunjukkan bagaimana infrastruktur dan tata kelola publik juga dapat menjadi masalah etika.

Pekerjaan umum Ashoka meliputi pembangunan jalan raya yang menghubungkan pusat-pusat perdagangan utama, penanaman pohon di sepanjang jalan tersebut untuk memberikan keteduhan, pembangunan kebun mangga, apotek botani, rumah peristirahatan, dan bahkan rumah sakit untuk manusia dan hewan.

Untuk memastikan bahwa inisiatif-inisiatif ini terlaksana, Ashoka melakukan inspeksi rutin dan mengharapkan para birokratnya melakukan hal yang sama. Trauma akibat perang juga mendorongnya sebagai pendukung konservasi hutan dan satwa liar.

Di India kuno, hewan liar dianggap sebagai milik kaisar. Ashoka melarang pesta perburuan dan pengorbanan hewan yang pada masa silam masih dianggap sebagai norma. Hutan dan cagar alam didirikan, dan kekejaman terhadap hewan peliharaan dilarang.

Kemudian, ia melangkah lebih jauh. Dalam tindakan yang tak tertandingi bahkan oleh negara-negara modern yang paling progresif, Ashoka mendirikan rumah sakit hewan dan apotek gratis.

Fa Hien, pengembara Tiongkok yang datang ke India pada masa pemerintahan Chandragupta II, telah menulis tentang rumah sakit hewan di Pataliputra, yang mungkin merupakan rumah sakit hewan pertama di dunia.

Bahkan hingga kini, warisannya berupa tanggung jawab kenegaraan, toleransi, dan kebaikan tetap terukir di bebatuan India yang menjadi cerita silang generasi tentang kebijaksanaan seorang raja bernama Ashoka.

Oleh karena itu, spirit kemerdekaan India telah mengadopsi lambang Ashoka—Ashok Chakra—untuk bendera barunya. Dunia modern pun sepatutnya selalu mengingat visi Raja Maurya ini tentang masyarakat yang manusiawi.