Nationalgeographic.co.id—"Susu ikan" menjadi istilah yang kini ramai diperbincangkan di Indonesia. Dianggap bisa menjadi sebagai pengganti susu sapi untuk program makan gratis, sebenarnya dari mana awal mula terciptanya susu ikan dan mengapa dinamakan demikian?
Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Bioindustri Laut dan Perairan Darat Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Ekowati Chasanah, memberikan penjelasan mengenai riset inovatif terkait teknologi hidrolisat protein ikan (HPI) dalam acara Media Lounge Discussion (MELODI) yang digelar di Gedung BJ Habibie, Jakarta, Rabu (9/10).
Riset ini berfokus pada pengembangan HPI sebagai bubuk ikan larut air yang dapat dimanfaatkan sebagai susu ikan.
Riset tersebut dimulai sejak 2017 saat dirinya menjadi peneliti di Kementerian Kelautan dan Perikanan, yang kemudian dihilirisasi tahun 2023 oleh Berikan Protein Initiative. Istilah "susu ikan" kemudian ramai dibicarakan belakangan ini, karena menjadi salah satu menu alternatif program makan bergizi gratis.
Chasanah menjelaskan bahwa teknologi hidrolisat protein telah luas digunakan pada berbagai bahan pangan berprotein tinggi seperti susu sapi, kedelai, dan lain-lain.
Teknologi ini bermanfaat untuk mengurangi kandungan allergen dan antigizi, serta mengembangkan pangan fungsional melalui peptida yang dihasilkan dari proses hidrolisis.
"Penyebutan 'susu ikan' memang kurang tepat, mengingat istilah tersebut tidak merujuk pada susu yang dihasilkan oleh kelenjar susu seperti pada mamalia. Susu ikan ini sebenarnya lebih tepat disebut sebagai bubuk ikan atau fish powder, bukan susu yang berasal dari kelenjar ikan,” jelasnya seperti dikutip dari laman BRIN.
Teknologi produksi bubuk ikan ini, lanjut Chasanah, memiliki beberapa metode, seperti surimi, konsentrat ikan, dan hidrolisat protein ikan (HPI). Surimi dibuat dengan mencuci daging ikan yang telah dihancurkan hingga hanya menyisakan protein miofibril. Surimi ini kemudian bisa dikeringkan menjadi bubuk.
Adapun metode konsentrat ikan dapat dihasilkan melalui proses pencucian dengan alkohol untuk menghilangkan bau dan lemak, atau dengan cara pengukusan dan pengeringan. Namun, dua metode tersebut memiliki banyak kelemahan untuk menjadi bahan pangan karena tidak larut air.
Salah satu teknologi yang kini menjadi sorotan adalah hidrolisat protein ikan (HPI). Teknologi ini memanfaatkan enzim untuk memecah protein ikan menjadi peptida yang lebih pendek, sehingga lebih mudah diserap oleh tubuh. Hal ini memberikan keuntungan tambahan seperti kemampuan penyerapan yang lebih baik serta sifat fungsional seperti anti-hipertensi dan anti-mikroba.
“Dengan menggunakan teknologi hidrolisat ini, protein ikan dipotong-potong menggunakan enzim, menghasilkan produk yang larut air dan siap diserap oleh tubuh,” ungkapnya.
Baca Juga: Siput Usal, Sumber Protein Hewani Masyarakat Pesisir Gunungkidul