Riset 'Susu Ikan': Salah Kaprah Istilah dan Awal Mula Terciptanya

By Utomo Priyambodo, Kamis, 24 Oktober 2024 | 16:00 WIB
Peneliti BRIN menjelaskan sola 'susu ikan' kini jadi istilah yang ramai diperbincangkan sebagai menu alternatif program makan gratis di Indonesia. Benarkah bisa menggantikan susu sapi? (BRIN)

Nationalgeographic.co.id—"Susu ikan" menjadi istilah yang kini ramai diperbincangkan di Indonesia. Dianggap bisa menjadi sebagai pengganti susu sapi untuk program makan gratis, sebenarnya dari mana awal mula terciptanya susu ikan dan mengapa dinamakan demikian?

Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Bioindustri Laut dan Perairan Darat Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Ekowati Chasanah, memberikan penjelasan mengenai riset inovatif terkait teknologi hidrolisat protein ikan (HPI) dalam acara Media Lounge Discussion (MELODI) yang digelar di Gedung BJ Habibie, Jakarta, Rabu (9/10).

Riset ini berfokus pada pengembangan HPI sebagai bubuk ikan larut air yang dapat dimanfaatkan sebagai susu ikan.

Riset tersebut dimulai sejak 2017 saat dirinya menjadi peneliti di Kementerian Kelautan dan Perikanan, yang kemudian dihilirisasi tahun 2023 oleh Berikan Protein Initiative. Istilah "susu ikan" kemudian ramai dibicarakan belakangan ini, karena menjadi salah satu menu alternatif program makan bergizi gratis.

Chasanah menjelaskan bahwa teknologi hidrolisat protein telah luas digunakan pada berbagai bahan pangan berprotein tinggi seperti susu sapi, kedelai, dan lain-lain.

Teknologi ini bermanfaat untuk mengurangi kandungan allergen dan antigizi, serta mengembangkan pangan fungsional melalui peptida yang dihasilkan dari proses hidrolisis.

"Penyebutan 'susu ikan' memang kurang tepat, mengingat istilah tersebut tidak merujuk pada susu yang dihasilkan oleh kelenjar susu seperti pada mamalia. Susu ikan ini sebenarnya lebih tepat disebut sebagai bubuk ikan atau fish powder, bukan susu yang berasal dari kelenjar ikan,” jelasnya seperti dikutip dari laman BRIN.

Teknologi produksi bubuk ikan ini, lanjut Chasanah, memiliki beberapa metode, seperti surimi, konsentrat ikan, dan hidrolisat protein ikan (HPI). Surimi dibuat dengan mencuci daging ikan yang telah dihancurkan hingga hanya menyisakan protein miofibril. Surimi ini kemudian bisa dikeringkan menjadi bubuk.

Adapun metode konsentrat ikan dapat dihasilkan melalui proses pencucian dengan alkohol untuk menghilangkan bau dan lemak, atau dengan cara pengukusan dan pengeringan. Namun, dua metode tersebut memiliki banyak kelemahan untuk menjadi bahan pangan karena tidak larut air.

Salah satu teknologi yang kini menjadi sorotan adalah hidrolisat protein ikan (HPI). Teknologi ini memanfaatkan enzim untuk memecah protein ikan menjadi peptida yang lebih pendek, sehingga lebih mudah diserap oleh tubuh. Hal ini memberikan keuntungan tambahan seperti kemampuan penyerapan yang lebih baik serta sifat fungsional seperti anti-hipertensi dan anti-mikroba.

“Dengan menggunakan teknologi hidrolisat ini, protein ikan dipotong-potong menggunakan enzim, menghasilkan produk yang larut air dan siap diserap oleh tubuh,” ungkapnya.

Baca Juga: Siput Usal, Sumber Protein Hewani Masyarakat Pesisir Gunungkidul

Hidrolisat memang memiliki banyak keunggulan dibandingkan bentuk protein lainnya, terutama karena protein yang sudah terhidrolisis menjadi lebih pendek sehingga lebih mudah diserap oleh tubuh, dan memiliki berbagai manfaat kesehatan seperti anti-hipertensi dan sifat fungsional lainnya.

HPI juga memiliki potensi sebagai produk untuk mengatasi masalah gizi seperti stunting dan kebutuhan protein tinggi untuk pemulihan kesehatan.

Lebih jauh, proses produksi HPI dilakukan melalui proses hidrolisis enzimatik. Proses ini dimulai dengan mencuci dan melumatkan bahan baku ikan seperti selar, sarden, kuniran, dan lele sebelum dihidrolisis.

Hidrolisis dilakukan pada suhu 55°C selama 7 jam dengan enzim lokal yang memiliki aktivitas 500 U per 25 gram ikan. Setelah proses hidrolisis, enzim dihentikan dengan pemanasan pada suhu 90°C selama 10 menit, lalu campuran disentrifugasi. Supernatan yang dihasilkan merupakan HPI, sementara residunya berupa protein ikan yang tidak larut air.

"Tahap hidrolisis merupakan kunci utama dalam pembuatan HPI, di mana protein dipecah menjadi peptida dan asam amino yang lebih kecil. Faktor-faktor seperti jenis bahan baku, durasi hidrolisis, dan derajat hidrolisis (DH) berpengaruh pada karakteristik akhir HPI yang dihasilkan. Berbagai jenis ikan dan hasil laut dapat digunakan sebagai bahan baku, termasuk selar, petek, lemuru, dan kepala udang," bebernya.

CEO & Co-Founder Berikan Protein Initiative, Maqbulatin Nuha, menyampaikan bahwa salah satu produk inovatif Berikan Protein Initiative adalah "susu ikan" atau yang dikenal dengan nama Surikan.

Produk ini dikembangkan sejak 2023 dengan menggunakan teknologi hidrolisis protein ikan, yang mampu menghilangkan bau amis dan membuatnya bebas alergen.

Nuha menjelaskan bahwa Surikan bukanlah pengganti susu sapi, melainkan alternatif yang memanfaatkan sumber daya lokal. Surikan diharapkan dapat menjadi alternatif protein yang terjangkau dan lebih berkelanjutan, dibandingkan dengan ketergantungan pada susu sapi yang 80% masih diimpor.

“Untuk menghasilkan satu ekor sapi perah, dibutuhkan 50 liter air per hari, belum lagi emisi karbon yang dihasilkan. Dengan alternatif seperti Surikan, kami bisa menawarkan solusi yang lebih ramah lingkungan dan mendukung kemandirian protein nasional,” tambah Nuha.

Berikan Protein Initiative juga bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah dan organisasi internasional, untuk mengembangkan model produksi lokal berbasis "Autonomy Protein."

Model ini berupaya memberdayakan masyarakat lokal dalam mengolah hasil tangkapan ikan sehingga dapat menciptakan lapangan pekerjaan baru dan meningkatkan asupan gizi masyarakat setempat.

“Inisiatif kami di Indramayu telah menjadi model percontohan, dari hulu hingga hilir, mulai dari teknologi produksi, pengolahan, hingga distribusi kepada masyarakat," tutur Nuha. "Kami berharap model ini bisa direplikasi ke berbagai daerah lain di Indonesia agar kita bisa mewujudkan kemandirian protein nasional.”