Meskipun terdapat kemajuan signifikan dalam pengakuan ekosida sebagai kejahatan, terdapat sejumlah tantangan yang mengiringi upaya ini. Salah satu tantangan yang disorot oleh para ahli hukum internasional adalah adanya tumpang tindih antara konsep ekosida dengan kejahatan perang internasional yang sudah ada sebelumnya.
Seperti yang ditegaskan oleh Rothwell, terdapat norma-norma hukum internasional yang mengatur kerusakan lingkungan yang terjadi dalam konteks konflik bersenjata.
Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana membedakan antara tindakan yang merupakan kejahatan perang dan tindakan yang merupakan ekosida.
Dalam sebuah artikel yang diterbitkan di Conversation, Filippos Proedrou, seorang ahli ekonomi politik global di University of South Wales, dan Maria Pournara, seorang ahli kriminologi di Swansea University, memperdalam analisis mengenai definisi ekosida yang telah diadopsi oleh Uni Eropa dan negara-negara lainnya.
Mereka berargumen bahwa definisi yang menggunakan kata "sembrono" untuk menggambarkan tindakan yang merusak lingkungan dapat menjadi penghalang dalam proses penuntutan.
Penggunaan kata "sembrono" ini menyiratkan bahwa pelaku harus menunjukkan tingkat kelalaian yang tinggi agar tindakannya dapat dikategorikan sebagai ekosida.
Proedrou dan Pournara berpendapat bahwa standar "sembrono" ini terlalu tinggi dan dapat dimanfaatkan oleh pelaku untuk menghindari tanggung jawab hukum.
Mereka berargumen bahwa pelaku dapat berdalih bahwa tindakan mereka, meskipun merusak lingkungan, memiliki manfaat ekonomi yang signifikan sehingga tindakan tersebut tidak dapat dianggap sembrono.
Dengan kata lain, pelaku dapat mengklaim bahwa mereka telah melakukan pertimbangan yang rasional sebelum mengambil tindakan, meskipun dampak lingkungannya sangat buruk.
Kisah negara-negara Pasifik melawan ekosida
Negara-negara kepulauan Pasifik, yang secara geografis rentan terhadap dampak perubahan iklim seperti kenaikan permukaan laut dan intensitas badai yang semakin meningkat, telah berada di garis depan perjuangan global untuk melindungi lingkungan.
Vanuatu, salah satu negara kepulauan ini, telah mengambil inisiatif yang berani dengan mengajukan proposal untuk memasukkan kejahatan ekosida ke dalam ICC pada tahun 2019.
Melalui proposal ini, Vanuatu berusaha untuk memberikan pengakuan hukum internasional terhadap kerusakan lingkungan yang parah dan meluas.
Ralph Regenvanu, utusan khusus Vanuatu untuk perubahan iklim dan lingkungan, dengan tegas menyatakan bahwa dampak perubahan iklim telah menimbulkan ancaman eksistensial bagi negara-negara kepulauan Pasifik.
Kenaikan permukaan laut dan bencana alam yang semakin sering terjadi tidak hanya merusak ekonomi pulau-pulau kecil, tetapi juga mengancam kelangsungan hidup masyarakat dan budaya mereka.
“Kerusakan lingkungan dan iklim di Vanuatu menghancurkan ekonomi pulau kami, menenggelamkan wilayah kami, dan mengancam mata pencaharian,” tegas Regenvanu.
Pernyataan ini menyoroti keseriusan masalah yang dihadapi oleh negara-negara kepulauan Pasifik akibat perubahan iklim yang diakibatkan oleh aktivitas manusia.
Dengan memasukkan ekosida sebagai kejahatan internasional, Vanuatu berharap dapat menciptakan mekanisme pertanggungjawaban bagi negara-negara dan korporasi yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan dalam skala besar.
“Pengakuan hukum terhadap kerusakan lingkungan yang parah dan luas memiliki potensi signifikan untuk memastikan keadilan dan, yang penting, untuk mencegah kerusakan lebih lanjut,” pungkas Regenvanu.