Nationalgeographic.grid.id—Ekosistem pesisir, khususnya lamun, rawa garam, dan mangrove, berperan krusial dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Mereka dikenal sebagai "karbon biru".
Hal ini disebabkan oleh kemampuannya menyerap dan menyimpan karbon dioksida dalam jumlah besar secara alami. Proses yang dikenal juga dengan sekuestrasi karbon ini sangat penting karena membantu mengurangi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer, sehingga memperlambat laju pemanasan global.
Namun, keindahan dan fungsi ekosistem pesisir ini terancam oleh berbagai aktivitas manusia. Salah satu ancaman terbesar adalah polusi mikroplastik.
Partikel plastik berukuran sangat kecil, kurang dari 5 milimeter, ini berasal dari berbagai sumber, seperti mikrobead dalam produk kosmetik dan fragmen plastik yang terurai dari sampah-sampah plastik berukuran lebih besar. Mikroplastik yang terbawa oleh arus dan angin dapat menyebar ke seluruh lautan, termasuk kawasan mangrove.
Berdasarkan perkiraan, sekitar 12,7 juta ton sampah plastik masuk ke lautan pada tahun 2010. Jumlah ini diproyeksikan akan meningkat dua kali lipat pada tahun 2025 jika tidak ada upaya serius untuk mengatasinya.
Menelusuri akumulasi mikroplastik
Untuk itulah sebuah studi mendalam yang hasilnya diterbitkan di Frontiers in Marine Science, dilakukan oleh tim peneliti yang dipimpin oleh Profesor Madya Peng Zhang dari Guangdong Ocean University, China,
Dalam penelitiannya tersebut, seperti dilansir phys.org, Zhang menemukan bahwa dampak serius dari akumulasi mikroplastik terhadap kemampuan mangrove dalam menyerap dan menyimpan karbon. Penelitian ini berfokus pada mangrove di Teluk Zhanjiang, sebuah perairan semi-tertutup di China yang menghadapi tekanan lingkungan yang signifikan.
Mangrove, dengan sistem akarnya yang ekstensif dan kemampuannya untuk mengendapkan sedimen, telah lama diakui sebagai benteng pertahanan alami pesisir. Ekosistem ini memainkan peran krusial dalam siklus karbon global, meskipun hanya mencakup sebagian kecil dari wilayah pesisir dunia.
Mangrove yang hanya mencakup 0,5% wilayah pesisir mampu menyerap dan menyimpan karbon dalam jumlah yang sangat besar (5%), jauh melebihi hutan daratan. Proses ini sangat penting dalam mitigasi perubahan iklim.
Untuk mengungkap dampak polusi mikroplastik terhadap fungsi ekosistem mangrove ini, tim peneliti melakukan pengambilan sampel sedimen di lima lokasi berbeda di Teluk Zhanjiang.
Baca Juga: Apa Itu 'Blue Carbon'? Benarkah Lebih 'Sakti' dari 'Green Carbon'?
Lokasi-lokasi tersebut dipilih secara strategis untuk mewakili berbagai tingkat aktivitas manusia dan masukan polutan. Teluk Zhanjiang sendiri menerima masukan dari sungai Nanliu, Lvtang, dan Suixi, yang mengalir melalui kawasan perkotaan Zhanjiang dan area industri.
Akibatnya, teluk ini sering terpapar oleh limbah domestik, limbah pertanian, dan berbagai jenis polutan lainnya. Sebagai perbandingan, peneliti juga mengambil sampel di kawasan wisata Sino-Australian Garden dan Sekolah Dasar Potou.
Benteng yang tercemar
Melalui analisis mikroskopis terhadap sampel sedimen, para ilmuwan menemukan bahwa mangrove di kawasan ini telah menjadi "penampung" mikroplastik dalam jumlah yang signifikan.
Rata-rata, setiap kilogram sedimen mangrove mengandung 618,17 partikel mikroplastik, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sedimen non-mangrove yang hanya memiliki rata-rata 263,67 partikel per kilogram.
Ini menunjukkan bahwa mangrove, yang seharusnya menjadi benteng pertahanan alami pesisir, kini justru menjadi korban dari pencemaran plastik.
Konsentrasi mikroplastik tertinggi ditemukan di sedimen non-mangrove di sepanjang Sungai Nanliu, yang kemungkinan besar dipengaruhi oleh aktivitas industri dan pemukiman di sekitar sungai tersebut.
Di sisi lain, sampel yang diambil dari kawasan wisata Sino-Australian Garden, yang didominasi oleh ekosistem mangrove, justru mengandung jumlah mikroplastik yang lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi lainnya.
Fenomena ini diduga disebabkan oleh kurangnya fasilitas pengelolaan sampah yang memadai di kawasan wisata tersebut, sehingga sampah plastik, terutama dari sisa makanan dan minuman, terpapar cuaca dan terurai menjadi partikel mikroplastik yang lebih kecil.
Analisis lebih lanjut terhadap sampel mikroplastik menunjukkan bahwa ukuran partikel yang paling umum ditemukan adalah antara 100-330 mikrometer. Lebih dari setengah dari total partikel mikroplastik memiliki ukuran kurang dari 500 mikrometer.
Berdasarkan warna, mikroplastik yang ditemukan sangat beragam, dengan lima warna dominan pada sampel non-mangrove yaitu hijau, hitam, transparan, biru, dan multiwarna. Sementara itu, pada sampel mangrove, warna multiwarna mendominasi, diikuti oleh transparan dan biru.
Baca Juga: Blue Carbon: Sedimen Dasar Laut, 'Bintang Utama' Penyerapan Karbon yang Pantang Diusik
Dari segi bentuk, fragmen merupakan jenis mikroplastik yang paling banyak ditemukan baik di sedimen mangrove maupun non-mangrove. Fragmen mikroplastik ini diduga berasal dari berbagai sumber, seperti pecahan plastik yang lebih besar, serat dari pakaian sintetis, dan jaring ikan. Keberadaan serat mikroplastik juga cukup signifikan, terutama pada sampel non-mangrove.
Penyerapan karbon terganggu
Meskipun tidak ditemukan korelasi langsung antara peningkatan jumlah mikroplastik dengan penurunan kadar karbon organik partikulat di sedimen, para peneliti menekankan bahwa temuan ini perlu dikaji lebih lanjut dengan pengambilan sampel yang lebih intensif.
Hal ini mengingat sejumlah studi sebelumnya yang telah menunjukkan adanya hubungan negatif antara polusi mikroplastik dan kemampuan ekosistem mangrove dalam menyerap karbon.
Namun, penelitian ini tetap memberikan kontribusi yang signifikan dalam pemahaman kita tentang dampak mikroplastik terhadap ekosistem pesisir. Meskipun tidak secara langsung mempengaruhi kadar karbon organik partikulat, kehadiran mikroplastik dalam jumlah besar di sedimen mangrove dapat mengganggu berbagai proses ekologis yang penting.
Mikroplastik dapat menghambat penyerapan oksigen dan nutrisi oleh akar mangrove, sehingga menghambat pertumbuhan dan perkembangannya. Akibatnya, kemampuan mangrove dalam mengubah karbon dioksida menjadi biomassa melalui proses fotosintesis pun terganggu.
Hal ini dapat memperparah masalah perubahan iklim, karena semakin sedikit karbon dioksida yang dapat diserap oleh ekosistem.
Selain itu, keberadaan mikroplastik juga mengancam keberlangsungan hidup berbagai organisme yang hidup di ekosistem mangrove. Banyak organisme laut, baik yang berukuran kecil maupun besar, secara tidak sengaja menelan mikroplastik.
Hal ini dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan, seperti gangguan pencernaan, penyumbatan saluran pencernaan, dan bahkan kematian. Lebih jauh lagi, mikroplastik dapat menyerap polutan kimia berbahaya yang kemudian terakumulasi dalam tubuh organisme dan terkonsentrasi melalui rantai makanan.
Temuan penelitian ini menggarisbawahi urgensi untuk mengatasi masalah polusi mikroplastik. Strategi pengelolaan sampah yang lebih baik, pengurangan penggunaan plastik sekali pakai, serta upaya daur ulang yang lebih efektif merupakan langkah-langkah krusial untuk mengurangi masuknya mikroplastik ke lingkungan.
Selain itu, perlindungan dan restorasi ekosistem mangrove juga sangat penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem pesisir dan memperkuat kemampuan alam dalam menyerap karbon.