Kain Batik Lasem Berusia Seabad Singkap Jejaring Perdagangan Selat Malaka

By Mahandis Yoanata Thamrin, Selasa, 29 Oktober 2024 | 07:00 WIB
Mami Kato (tengah) merupakan kolektor batik asal Magelang. Ia meminjamkan dua lusin koleksi batik Lasemnya yang berusia satu abad kepada Museum Nyah Lasem untuk pameran 'Kembali Lasem, Kembali ke Akar' yang digelar pada 25-26 Oktober 2024. Koleksi itu dihimpunnya dari penelusurannya di kota-kota tepian Selat Malaka—Sumatra dan Semenanjung Malaya. Pameran ini sekaligus meneguhkan arsip-arsip jaringan perdagangan batik Lasem milik Museum Nyah Lasem, yang telah diakui sebagai Memori Kolektif Bangsa. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Batik Lasem di Tepian Selat Malaka

Di ruangan berikutnya, yang berada di sisi kiri belakang ruang utama, ia menunjukkan sembilan koleksi batik Lasem era 1900 yang dihimpun dari pantai timur Sumatra, Singapura, dan Malaysia. Bahkan, terdapat salah satu koleksi batik yang berasal dari 1890-an.

Karya seniman-seniman maestro batik leluhur kita begitu indah, begitu halus, dan begitu langka!  Kita pun bertanya-tanya, mengapa keindahan corak-corak itu tidak berulang pada zaman sekarang sehingga membuatnya antik dan langka.

"Jadi bener-bener kain yang sangat berharga yang pernah dibuat di Lasem," ujar Agni, "dan kita bisa melihatnya walau cuma sebentar."

Batik Lasem lawasan dari Selat Malaka itu merupakan koleksi Mami Kato, seorang seniman dan pemerhati batik di Borobudur, Magelang. Perempuan asal Negeri Sakura itu istri dari budayawan Sutanto Mendut, yang keduanya bergiat dalam Studio Mendut dan Komunitas Lima Gunung. Aktivitas mereka, mempromosikan seni dan budaya di masyarakat sekitar.

Selama dua hari, batik-batiknya pulang kampung ke tanah asalnya. "Pulang kampung" bisa berarti kembali ke rumah, tetapi juga bisa menjadi simbol kembalinya seseorang ke akar budayanya, identitasnya, atau ke tempat di mana hati merasa berada. Frasa "pulang kampung" sering kali terkait perasaan hangat, kebersamaan, dan kedamaian yang dirindukan.

Agni Malagina, Sinolog dan Arsiparis Museum Nyah Lasem, memandu pengunjung hari pertama Pameran Kembali Lasem, Kembali ke Akar. Menurutnya, pameran temporer ini tergolong langka karena menampilkan 23 batik Lasem lawasan yang berkait jejaring perdagangan batik Nusantara. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Bennita Ciu, anak muda pemerhati batik dan pemandu pameran, menunjukkan kepada saya beragam corak batik lawasan yang tidak lagi ditemukan dalam kain-kain batik zaman sekarang.

Setidaknya, temuannya telah menyadarkan kepada kita bahwa kepiawaian dan teknik seniman batik zaman dahulu tampaknya tidak semuanya diwariskan kepada pembatik generasi kini. Ia juga mengungkapkan beberapa corak batik Lasem lawasan menyisakan misteri teknik membatiknya. "Saya pernah mencoba membuat corak [detail] seperti itu, tapi gagal," ujarnya.

Menurutnya, secara umum pameran ini menampilkan corak batik lawasan yang lebih rapi dan rapat, serta visualisasinya lebih halus. Perihal warna, ia mengungkapkan bahwa ⁠warna batik Lasem zaman sekarang tampaknya cenderung lebih gelap atau lebih tua.

"Batik Lasem yang sekarang lebih explorative untuk memenuhi kebutuhan pasar," Bennita menambahkan. "Banyak request pola-pola yang tidak lazim atau tidak ditemui di batik lawasan: Gambar shio, Tuhan Yesus, Bunda Maria."

Baca Juga: Sejarah Batik Lasem, Wastra Pesisir di Jalur Rempah Nusantara