Perseteruan Bahasa antara Pribumi dan Belanda dalam Dewan Rakyat Hindia

By Galih Pranata, Jumat, 1 November 2024 | 19:05 WIB
Sidang Volksraad atau Dewan Rakyat Hindia sekitar tahun 1927. Bahasa utama menjadi polemik hingga ketegangan yang memuncak pada 1930-an. (Nationaal Archief/Fotopersbureau ‘Holland’)

Nationalgeographic.co.id—Inggris dan Prancis berhasil memopulerkan bahasa Inggris ke negara-negara jajahannya. Namun Belanda dianggap gagal memperkenalkan bahasa mereka ke negara jajahannya, termasuk ke Hindia Belanda.

Ketidakinginan pemerintah kolonial Belanda untuk mempergunakan bahasanya sebagai bahasa utama di negara jajahannya menjadi kendala yang cukup serius.

Sampai abad ke-20, banyak penduduk pribumi yang "tidak dapat berbicara satu kata pun dalam bahasa Belanda dan sebagian besar hanya dapat memahami beberapa kata dalam bahasa Belanda," tulis Ronald Frisart.

Ronald menulisnya kepada Historiek dalam artikel berjudul "Konden leden van de Volksraad in Indië elkaar wel verstaan? (Opmerkelijk debat over voertaal in ‘parlement’ [1918])", yang diterbitkan pada 26 Oktober 2024.

Itulah sebabnya anggota Volksraad Dirk van Hinloopen segera mendesak Labberton pada tanggal 21 Mei 1918 untuk 'menjadikan persoalan bahasa utama sebagai hal yang mendesak', terlebih permasalahan dalam Dewan Rakyat Hindia atau Volksraad.

Pada tanggal 18 Mei 1918, Volksraad resmi berdiri di Batavia. Parlemen ini bukanlah parlemen yang sesungguhnya, karena ia diperbolehkan memberikan nasihat, tetapi tidak boleh mengambil keputusan.

Terlebih lagi, masyarakat Indonesia pada awalnya hanya menduduki sebagian kecil kursi. Namun, ini merupakan arena politik baru yang menarik, karena ada banyak hal yang perlu dibicarakan di koloni tersebut.

Akan tetapi, setelah beberapa tugas rumah tangga—pelantikan anggota, penunjukan komite, dan lain-lain—agenda substantif pertama adalah bahasa atau bahasa apa yang dapat diperdebatkan oleh para anggota.

Keputusan Kerajaan no.71 tanggal 30 Maret 1917 menyatakan: Bahasa Belanda akan digunakan dalam pertemuan-pertemuan umum Volksraad. Hal ini menjadi permasalahan bagi sebagian anggota Dewan Rakyat Hindia.

Untuk mengatasi hal ini, dua usulan diajukan pada tanggal 28 Mei 1918 untuk mengubah Dekrit Kerajaan. Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat mengusulkan diperbolehkannya bahasa Melayu selain Belanda.

Van Hinloopen Labberton melanjutkan. Dia ingin mengizinkan semua bahasa lain digunakan di Hindia selain bahasa Belanda. Lagipula, bahasa-bahasa daerah juga ditemukan di pelosok Hindia dan dituturkan oleh paling banyak puluhan ribu orang.

Namun Labberton menemui banyak perlawanan. Misalnya, JJE Teeuwen berpendapat bahwa "bahasa yang digunakan dalam keadaan apa pun tidak boleh bahasa Belanda, karena ini bukan bahasa yang umumnya digunakan oleh orang Hindia."