Orang-orang Belanda masih bersikukuh jika bahasanya bukanlah bahasa umum, apalagi dituturkan oleh orang rendahan di Hindia atau sebangsanya. Maka dari banyak perdebatan, Labberton menyepakati penggunaan Melayu selain Belanda.
Achmad Djajadiningrat juga menganggap masuknya bahasa Melayu ke Volksraad merupakan solusi yang baik 'karena bahasa Melayu tidak hanya diucapkan dengan baik oleh semua anggota Pribumi, tetapi juga cukup dipahami oleh sebagian besar anggota non-pribumi'.
Abdul Rivai yang merupakan rekan seperjuangan dari Achmad Djajadiningrat di Eropa, memberikan dukungan yang besar terhadap usulan bahasa Melayu sebagai bahasa yang bisa digunakan dalam rapat-rapat Volksraad.
Bahkan, Abdul Rivai sampai mengecam dan telah memutuskan bahwa jika bahasa Melayu tidak diterima, dirinya akan mengundurkan diri sebagai anggota Volksraad.
Hanya ada sedikit pertentangan dan hampir hanya karena beberapa hal praktis. Misalnya, tokoh sosial demokrat Jozef Emanuel (Jo) Stokvis yang mendukung usulan dari Djajadiningrat.
Namun, ia juga menunjukkan bahwa pada kenyataannya orang Belanda di Volksraad yang belajar bahasa Melayu, mereka mempelajarinya dari tukang kebun dan pembantu dapur yang memasak untuk tuannya.
"Bahasa Melayu seperti itu cukup untuk melakukan tugas sehari-hari, namun mungkin tidak cukup untuk debat politik, ia khawatir," terus Ronald Frisart.
Namun, tak semua anggota Volksraad yang mendukung penggunaan Bahasa Melayu sebagai bahasa alternatif. Pieter Bergmeijer yang anti-revolusioner langsung menyatakan keberatannya.
Menurutnya, bahasa Melayu bisa menjadi muatan politik. Bergmeijer menyebut penggunaan bahasa Melayu dapat memberi ruang untuk Insulinde melaksanakan propagandanya.
Sebagaimana diketahui para pejabat kolonial, Insulinde adalah penerus Indische Partij yang radikal, didirikan pada tahun 1912 dan dilarang pada tahun 1913, karena memperjuangkan kemerdekaan bangsa Hindia dari pemerintahan kolonial.
Alhasil, dari pertentangan panjang dan hasil pemungutan suara, diputuskan bahwa Bahasa Melayu diizinkan untuk digunakan anggota Volksraad dari kalangan pribumi.
Sampai dengan tahun 1930-an, terus terjadi ketegangan di tubuh Volksraad akibat penggunaan dua bahasa dari dua bangsa mayoritas—pribumi dan Belanda—yang ada dalam Dewan Rakyat Hindia.