Nationalgeographic.co.id—Inggris dan Prancis berhasil memopulerkan bahasa Inggris ke negara-negara jajahannya. Namun Belanda dianggap gagal memperkenalkan bahasa mereka ke negara jajahannya, termasuk ke Hindia Belanda.
Ketidakinginan pemerintah kolonial Belanda untuk mempergunakan bahasanya sebagai bahasa utama di negara jajahannya menjadi kendala yang cukup serius.
Sampai abad ke-20, banyak penduduk pribumi yang "tidak dapat berbicara satu kata pun dalam bahasa Belanda dan sebagian besar hanya dapat memahami beberapa kata dalam bahasa Belanda," tulis Ronald Frisart.
Ronald menulisnya kepada Historiek dalam artikel berjudul "Konden leden van de Volksraad in Indië elkaar wel verstaan? (Opmerkelijk debat over voertaal in ‘parlement’ [1918])", yang diterbitkan pada 26 Oktober 2024.
Itulah sebabnya anggota Volksraad Dirk van Hinloopen segera mendesak Labberton pada tanggal 21 Mei 1918 untuk 'menjadikan persoalan bahasa utama sebagai hal yang mendesak', terlebih permasalahan dalam Dewan Rakyat Hindia atau Volksraad.
Pada tanggal 18 Mei 1918, Volksraad resmi berdiri di Batavia. Parlemen ini bukanlah parlemen yang sesungguhnya, karena ia diperbolehkan memberikan nasihat, tetapi tidak boleh mengambil keputusan.
Terlebih lagi, masyarakat Indonesia pada awalnya hanya menduduki sebagian kecil kursi. Namun, ini merupakan arena politik baru yang menarik, karena ada banyak hal yang perlu dibicarakan di koloni tersebut.
Akan tetapi, setelah beberapa tugas rumah tangga—pelantikan anggota, penunjukan komite, dan lain-lain—agenda substantif pertama adalah bahasa atau bahasa apa yang dapat diperdebatkan oleh para anggota.
Keputusan Kerajaan no.71 tanggal 30 Maret 1917 menyatakan: Bahasa Belanda akan digunakan dalam pertemuan-pertemuan umum Volksraad. Hal ini menjadi permasalahan bagi sebagian anggota Dewan Rakyat Hindia.
Untuk mengatasi hal ini, dua usulan diajukan pada tanggal 28 Mei 1918 untuk mengubah Dekrit Kerajaan. Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat mengusulkan diperbolehkannya bahasa Melayu selain Belanda.
Van Hinloopen Labberton melanjutkan. Dia ingin mengizinkan semua bahasa lain digunakan di Hindia selain bahasa Belanda. Lagipula, bahasa-bahasa daerah juga ditemukan di pelosok Hindia dan dituturkan oleh paling banyak puluhan ribu orang.
Namun Labberton menemui banyak perlawanan. Misalnya, JJE Teeuwen berpendapat bahwa "bahasa yang digunakan dalam keadaan apa pun tidak boleh bahasa Belanda, karena ini bukan bahasa yang umumnya digunakan oleh orang Hindia."
Orang-orang Belanda masih bersikukuh jika bahasanya bukanlah bahasa umum, apalagi dituturkan oleh orang rendahan di Hindia atau sebangsanya. Maka dari banyak perdebatan, Labberton menyepakati penggunaan Melayu selain Belanda.
Achmad Djajadiningrat juga menganggap masuknya bahasa Melayu ke Volksraad merupakan solusi yang baik 'karena bahasa Melayu tidak hanya diucapkan dengan baik oleh semua anggota Pribumi, tetapi juga cukup dipahami oleh sebagian besar anggota non-pribumi'.
Abdul Rivai yang merupakan rekan seperjuangan dari Achmad Djajadiningrat di Eropa, memberikan dukungan yang besar terhadap usulan bahasa Melayu sebagai bahasa yang bisa digunakan dalam rapat-rapat Volksraad.
Bahkan, Abdul Rivai sampai mengecam dan telah memutuskan bahwa jika bahasa Melayu tidak diterima, dirinya akan mengundurkan diri sebagai anggota Volksraad.
Hanya ada sedikit pertentangan dan hampir hanya karena beberapa hal praktis. Misalnya, tokoh sosial demokrat Jozef Emanuel (Jo) Stokvis yang mendukung usulan dari Djajadiningrat.
Namun, ia juga menunjukkan bahwa pada kenyataannya orang Belanda di Volksraad yang belajar bahasa Melayu, mereka mempelajarinya dari tukang kebun dan pembantu dapur yang memasak untuk tuannya.
"Bahasa Melayu seperti itu cukup untuk melakukan tugas sehari-hari, namun mungkin tidak cukup untuk debat politik, ia khawatir," terus Ronald Frisart.
Namun, tak semua anggota Volksraad yang mendukung penggunaan Bahasa Melayu sebagai bahasa alternatif. Pieter Bergmeijer yang anti-revolusioner langsung menyatakan keberatannya.
Menurutnya, bahasa Melayu bisa menjadi muatan politik. Bergmeijer menyebut penggunaan bahasa Melayu dapat memberi ruang untuk Insulinde melaksanakan propagandanya.
Sebagaimana diketahui para pejabat kolonial, Insulinde adalah penerus Indische Partij yang radikal, didirikan pada tahun 1912 dan dilarang pada tahun 1913, karena memperjuangkan kemerdekaan bangsa Hindia dari pemerintahan kolonial.
Alhasil, dari pertentangan panjang dan hasil pemungutan suara, diputuskan bahwa Bahasa Melayu diizinkan untuk digunakan anggota Volksraad dari kalangan pribumi.
Sampai dengan tahun 1930-an, terus terjadi ketegangan di tubuh Volksraad akibat penggunaan dua bahasa dari dua bangsa mayoritas—pribumi dan Belanda—yang ada dalam Dewan Rakyat Hindia.