Tradisi 'Tabuik' Minangkabau Warisan Perang Karbala Era Kekhalifahan

By Muflika Nur Fuaddah, Minggu, 10 November 2024 | 16:00 WIB
Tabuik sekitar tahun 1910-1920 (wikipedia)

Tabuik setinggi lebih kurang 7-8 meter itu digoyang-goyang (oyak), keatas, kekiri dan kekanan serta diputar-putar. Setelah Tabuik Pasar dan Tabuik Subarang bergandengan, barulah dimulai maoyak tabuik secara berganti-gantian ataupun secara serentak.

Pada waktu ini peserta tabuik maupun penonton akan meneriakkan kata-kata “hoyak Hosen” berulang kali. Cara ma-oyak tabuik yaitu dengan menghentak-hentakan tabuik secara berulang-ulang dan dilakukan oleh anak tabuik, yang biasanya adalah para pemuda.

Festival Tabuik (wikipedia)

Ma-oyak tabuik tidak saja terjadi pada tempat tersebut tetapi di sepanjang jalan menuju pantai. Setiap jarak 100 meter, tabuik itu dioyak dengan diiringi oleh sorakan pendukung kedua tabuik itu.

Sekitar pukul 18.00 WIB ketika matahari mulai terbenam, iringan tabuik sampai ke tepi pantai untuk dibuang ke laut. Secara bersama-sama tabuik digotong ke laut, hingga kira-kira air laut mencapai sebatas dada tabuik dilepaskan seakan-akan burak terbang membawa arak-arakan ke langit.

Upacara pembuangan tabuik ditutup dengan doa pelepas arak-arakan, dan dengan dibuangnya tabuik ke laut berarti usailah sudah upacara tabuik. Setelah terbuangnya tabuik maka para penonton berbondong-bondong pulang dan dalam hati masing-masing mengenangkan peristiwa itu.

Ritual Keagamaan dan Budaya

Pelaksanaan upacara tabuik merefleksikan kesedihan atas kematian Imam Husein dan kekejaman tentara Yazid.

Rangkaian upacara tabuik tersebut melibatkan tokoh masyarakat (alim ulama, cerdik pandai, dan pemuka adat), pemimpin upacara, pawang, pemain musik, pemuda, pekerja tabuik dan penonton.

Para pemuda yang menjadi anggota penyelenggara tabuik lazim juga disebut dengan anak tabuik atau anak bijunu. Mereka berjumlah 40 orang dan memiliki pakaian seragam berwarna kuning.

Pakaian berwarna kuning itu merupakan pakaian kebesaran dari anak tabuik. Para anak tabuik itu pada waktu maarak panja menjadi pemegang (pembawa) bendera sebagai pertanda bagi masyarakat akan tabuiknya.

Bagi masyarakat Pariaman, upacara tabuik merupakan warisan budaya yang tetap dipelihara hingga sekarang, dan menjadi andalan di bidang pariwisata bagi pemerintah dan masyarakat setempat.