Nadia menilai, advokasi merupakan hal yang memerlukan kapasitas pemahaman lebih mendalam dan belum umum diberikan kepada orang muda. Untuk melakukan advokasi, diperlukan berbagai keterampilan.
“Tidak semua orang mau advokasi dan mencari pendanaan. Karena, kegiatan tersebut memerlukan akses informasi yang tidak banyak didapatkan oleh orang muda," kata Nadia.
"Beberapa di antaranya terkait dengan privilege. Misalnya, apakah punya koneksi, punya latar belakang pendidikan yang baik untuk memahami hal tersebut.”
Dalam pandangan Nadia, melakukan tugas advokasi sangat menantang bagi kesehatan mental. Advokasi tidak untuk semua orang, karena tidak mudah.
“Orang muda harus memahami dahulu apa yang kamu perjuangkan. Apakah perjuangan ini datang dari ego kamu atau kebutuhan ekosistem? Kalau memang kebutuhan ekosistem, ekosistem mana yang kamu perjuangkan. Jadi, memang harus punya kematangan berpikir seperti itu.”
Pentingnya pendanaan
Harus diakui, jika ingin menyelamatkan lingkungan, pasti ada biaya yang harus dikeluarkan. Biaya tersebut tidak hanya dalam bentuk finansial, tetapi juga dukungan nonfinansial.
Survei mengungkap, 72% orang muda di ASEAN sudah mendapatkan small grants dan pendanaan. Namun, ada 24% yang tidak mempunyai pendanaan. Rupanya, mereka belum memahami cara yang tepat untuk mendapatkan dana.
“Padahal, mekanisme finansial penting sekali. Ketika ada dana, berarti ada peluang untuk membuat kegiatan kita jadi lebih sustainable. Bukan hanya satu kali kegiatan, lalu selesai," ucap Nadia. "Di samping itu, ketika pendanaan mencukupi, kita bisa melakukan kegiatan-kegiatan yang memiliki dampak lebih besar."
Selain itu, Nadia memandang, orang muda perlu mendapatkan dukungan nonfinansial, misalnya area publik yang bisa diakses. Dengan begitu, ketika akan mengadakan pertemuan atau kegiatan, pilihannya tidak terbatas pada hotel atau ruangan pertemuan yang memerlukan sejumlah dana. Seandainya mereka bisa mengakses perpustakaan umum secara gratis, pasti akan lebih membantu.
“Mereka juga memerlukan akses informasi yang updated. Selama ini diskusi soal isu lingkungan biasanya hanya dari sudut pandang orang lapangan atau secara ilmiah," ujarnya.
"Padahal, banyak pihak lain yang bisa dieksplorasi. Kita perlu punya ruang untuk berdiskusi dengan orang dari latar belakang berbeda, sehingga kita bisa mendengarkan opini dari perspektif yang selama ini tidak kita miliki."
Kesadaran terhadap isu lingkungan
Dibandingkan dengan orang muda dari negara ASEAN lain, ternyata hasil survei terhadap orang muda Indonesia tak jauh berbeda. Misalnya, tentang kegiatan yang paling disukai dan yang paling tidak disukai.
“Di Indonesia kegiatannya menekankan pada penyelamatan hutan dan konservasi spesies. Tapi, bukan berarti mereka sebenarnya tidak melakukan hal lain. Banyak orang muda Indonesia yang menjalin kerja sama dengan media, banyak pula yang melakukan kegiatan lingkungan dari sudut pandang nonkonservasi,” kata Nadia.
Ia melihat, rata-rata orang muda Indonesia sudah paham terhadap isu lingkungan. Dari survei terlihat tak sedikit responden yang proyeknya berkisar di topik pengetahuan tradisional. Mereka mendokumentasikan praktik kearifan lokal, mereka belajar ngobrol dengan masyarakat adat.
“Lalu, apakah kita ingin orang muda Indonesia hanya punya pemahaman yang baik soal menjaga alam? Ataukah seharusnya mereka sudah memahami hal yang lebih jauh lagi?" tanya Nadia retoris.
"Contohnya, kita melihat biodiversitas merupakan sumber kehidupan. Kalau kita sudah menyadari hal tersebut, kenapa kita masih melihat biodiversitas sebagai komoditas? Betul, di satu sisi biodiversitas bisa menjadi komoditas. Tapi, adakah ruang-ruang yang memungkinkan kita untuk lebih berinovasi? Jangan-jangan praktik yang selama ini kita lakukan tidak efektif."